Harianmomentum.com--Setelah “berhasil” dilaksanakan tanggal 27
Juni 2018 yang lalu, ternyata Pilkada 2018 masih menyisakan sejumlah
permasalahan yang membutuhkan atensi khusus antara lain soal mundurnya
pelaksanaan Pilkada susulan di Kabupaten Paniai, Papua lebih disebabkan masih
belum kondusifnya situasi keamanan di wilayah tersebut.
Kondisi tersebut mengakibatkan pihak
penyelenggara Pilkada akan terlebih dahulu untuk mendapatkan kepastian keamanan
sebelum memutuskan untuk melanjutkan tahapan pemungutan suara di Kabupaten
Paniai.
Selain itu,
banyaknya pasangan calon (Paslon, red) yang kalah dalam Pilkada 2018 belum
dapat menerima kekalahannya telah melakukan gugatan sengketa Pilkada 2018 di
Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai 12 Juli 2018, sudah tercatat 60 Paslon telah
mendaftarkan gugatannya.
Penulis memperkirakan rasa kecewa Paslon maupun Timses yang kalah
dalam Pilkada akan terus terjadi di daerah lain. Hal seperti ini menunjukkan
para paslon yang kalah dalam Pilkada belum dapat menerima hasil demokrasi yang
berlangsung saat ini, ataupun karena mereka telah melakukan mahar
politik/hutang uang kepada pihak lain sehingga berupaya melakukan protes.
Penolakan hasil
Pilkada 2018 di beberapa daerah yang dilakukan sejumlah orang melalui aksi
unjuk rasa merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap penyelenggara Pilkada
yang dinilai melakukan kecurangan maupun ketidaknetralan dalam menyelenggarakan
Pilkada.
Selain itu, penolakan hasil Pilkada juga sangat bermuatan politis
terkait kalahnya Paslon yang mereka usung dalam Pilkada, sehingga mereka
berupaya membatalkan hasil perolehan suara, bahkan mengajukan gugatan sengketa
Pilkada ke MK.
Selain itu, munculnya isu kecurangan lebih banyak dikeluarkan oleh
pihak Paslon yang diprediksi gagal meraih suara terbanyak dalam Pilkada
serentak 2018. Hal ini dapat disebabkan kekhawatiran Paslon maupun pendukung
tidak dapat menerima kekalahan, meski proses penghitungan suara masih
berlangsung.
Masalah serius
lainnya adalah terkait dugaan money politics atau politik uang yang terjadi
dalam Pilkada 2018, perlu ditindak lanjut oleh penyelenggara dan pengawas
Pilkada secara profesional. Dugaan politik uang yang disuarakan dalam
pelaksanaan Pilkada 2018 tidak terlepas dari upaya pihak-pihak tertentu untuk
me urunkan citra penyelenggaraan, sekaligus dijadikan “entry poin” sengketa
Pilkada.
Selain itu, munculnya isu kecurangan lebih banyak dikeluarkan oleh
pihak Paslon yang diprediksi gagal meraih suara terbanyak dalam Pilkada
serentak 2018. Hal ini dapat disebabkan kekhawatiran Paslon maupun pendukung
tidak dapat menerima kekalahan, meski proses penghitungan suara masih
berlangsung. Dalam laporan kasus dugaan money politics yang terjadi dalam
Pilkada Serentak 2018, perlu ditindak lanjut oleh penyelenggara dan pengawas
Pilkada secara profesional.
Sejumlah permasalahan
pasca pemungutan suara sejauh ini berhulu pada dugaan money politics dan
isu kecurangan dalam proses pemungutan suara. Dalam laporan kasus dugaan money
politics yang terjadi dalam Pilkada 2018 telah ditindak lanjut oleh
penyelenggara dan pengawas Pilkada secara profesional.
Namun dalam prosesnya, tidak semua laporan tersebut dapat
diteruskan ke ranah hukum disebabkan minimnya saksi dan bukti yang mendukung.
Sementara itu munculnya isu kecurangan dan isu suap dalam proses pemungutan
suara lebih banyak dikeluarkan oleh pihak Paslon yang diprediksi gagal meraih
suara terbanyak dalam Pilkada 2018. Hal ini dapat disebabkan kekhawatiran
Paslon maupun pendukung tidak dapat menerima kekalahan, meski proses
penghitungan suara masih berlangsung.
Semakin meningkatnya
laporan dugaan money politics dan berbagai bentuk kecurangan dalam proses
pemungutan dan penghitungan suara diperkirakan disebabkan ketidakpuasan Paslon
atau pendukungnya terhadap hasil pemungutan suara meskipun proses penghitungan
secara resmi oleh KPU belum selesai.
Isu ini akan menjadi alat pressure untuk menekan KPU maupun
Bawaslu dan diperkirakan akan terus digulirkan untuk menolak hasil pemungutan
suara jika Paslon yang diusung kalah dalam Pilkada 2018.
Sejauh ini proses
penanganan terhadap laporan terjadinya palanggaran money politics dan
pelanggaran lainnya telah ditangani secara profesional oleh KPU, Bawaslu maupun
aparat penegak hukum. Namun yang perlu menjadi atensi khusus bagi Apkam adalah
terjadinya aksi dengan mengerahkan massa dalam jumlah besar yang dapat
berdampak pada kelancaran pelaksanaan tahapan Pilkada selanjutnya dan situasi
Kamtibmas.
Riak-riak
permasalahan lainnya adalah dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan
penyelenggara Pilkada di beberapa daerah menunjukkan rendahnya moral beberapa
penyelenggara dalam menjalankan pelaksanaan Pilkada.
Meskipun masalah ini belum berdampak kepada terjadinya penolakan
hasil Pilkada, namun Panwaslu perlu bertindak tegas memberikan sanksi kepada
mereka yang melakukan pelanggaran kode etik. Hal ini bertujuan selain untuk
memberikan efek jera, sekaligus meningkatkan citra Panwaslu dalam melakukan
pengawasan. Selain itu, keberadaan DKPP RI juga perlu dimaksimalkan guna
memberi hukuman terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara.
Adanya pernyataan
penyelenggara Pilkada di beberapa daerah terkait rendahnya tingkat partisipasi
warga dalam menggunakan hak pilihnya memperlihatkan bahwa pesta demokrasi ini
masih dinilai kurang penting dalam mencari pimpinan di daerah.
Namun demikian, rendahnya partisipasi ini juga tidak tertutup
kemungkinan terkait belum selesainya permasalahan KTP elektronik serta buruknya
data kependudukan di wilayah tersebut yang berdampak pada penetapan DPT
Pilkada. Selain itu, rendanya partisipasi juga disebabkan kurangnya sosialisasi
yang dilakukan penyelenggara maupun pemerintah terhadap pelaksanaan Pilkada
2018.
Tingkat partisipasi
pemilih dapat disebabkan banyak faktor, baik karena faktor politis seperti
ketidakpercayaan terhadap petahana, apatisme politik ataupun karena rendahnya
literasi politik akibat sosialisasi yang kurang tepat sasaran dan kurang
massif.
Sedangkan faktor lainnya yang juga signifikan adalahu faktor
pragmatisme politik ketika partisipasi pemilih akan meningkat jika ada
“political electoralship” bagi pemilih sehingga masyarakat merasa terwakili
atau faktor primordial karena calon kepala daerah memiliki kesamaan unsur
daerah ataupun SARA.
Sementara itu, dalam kasus di Halmahera Barat Maluku Utara,
permasalahan administratif terkait sengketa wilayah di pemerintahan daerah
justru menyebabkan masyarakat menolak untuk memberikan suara dalam Pilkada.
Hal in seharusnya sudah dapat diantisipasi mengingat permasalahan
tersebut sudah diketahui sebelum proses tahapan Pilkada berjalan. Lemahnya
koordinasi antara penyelenggara Pilkada dan Pemerintah Daerah pada akhirnya
menyebabkan suara pemilih di wilayah yang menjadi sengketa tidak terakomodir.
Hal lainnya adalah
penyebaran konten provokatif di Medsos Facebook yang dilakukan pihak-pihak tertentu
bertujuan selain untuk mendiskreditkan penyelenggara terkait pelaksanaan
Pilkada 2018, sekaligus sebagai upaya menimbulkan konflik antar massa pendukung
terutama menjelang pelaksanaan pengumuman rekapitulasi yang dilakukan KPU.
Meningkatnya
berbagai aksi yang dilakukan massa pendukung Paslon di Papua tidak terlepas
dari bentuk ketidakpuasan terhadap proses tahapan yang telah berjalan. Isu-isu
ketidaknetralan penyelenggara maupun kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan
oleh Paslon tertentu diperkirakan akan terus digulirkan untuk menolak
penyelenggaraan Pilkada di Papua yang telah berjalan. (**) Penulis:
Wulandari Dewi Setyaningsih
pemerhati masalah politik. Tinggal di Mengwi, Bali.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com