Implementasi Sila Kempat Pancasila Telah Gagal

Tanggal 18 Jul 2018 - Laporan - 943 Views
Illustrasi Foto: Google.

Harianmomentum.com--Salah satu sila dalam Pancasila yang penting dalam kerangka demokrsi, yaitu  bahwa  sesuatu Keputusan yang diambil bangsa Indonesia dalam  kerangka  kenegaraannya, harus didasarkan prinsip “Hikmat Kebijakanaan dalam Permusyawaratan / Pewakilan”. 

Sila dengan   prinsip seperti  itu  pernah ditekankan oleh Orde Baru untuk dilaksanakan dengan memodifikasikannya sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Terpimpin oleh Tujuan yang diatur perwujudannya berdasaran seluruh Sila dari Pancasila.

Namun upaya tersebut sejak era Reformasi dimatikan, bahkan Orde Baru dituduh telah memanipulasi Pancasila untuk mempertahankan kekuasaannya  bahkan  melaklsanakan otoriterisme. Namun ternyata perkembangan dalam era reformasi dewasa ini rasanya lebih mengecewakan. 

Dewasa ini didalam masyarakat khususnya diantara sementara kalangan partai politik telah terjadi  pergunjingan tentang UU Pemilu Tahun 2017  khususnya Pasal yang mengatur hak partai politik. 

Untuk ikut dalam pemilihan Presiden dimana ditetapkan adanya Presidential Threshold sebesar  20%  jumlah Wakil di DPR atau 25 % hasil suara dalam Pemilu 2014. Masalah political threshold ini serius, dewasa ini ada usulan agar Political Threshold untuk memiliki wakil di DPR bahkan akan dinaikkan.

Tujuannya adalah penyederhanaan jumlah partai. Dalam kerangka Pilpres, aturan ini dirasakan kurang menggambarkan Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan yang tentunya  perlu bahkan harus dilakukan DPR dalam memutuskan besarnya Presdential Threshold.

Dalam masa Orde Baru difahami ada prinsip musyawarah untuk Mufakat sebagai  hakikat falsafah kekeluargaan yang ada dalam azas hikmat kebijaksanaan  dalam permusyawaratan / yang dilakukan oleh lembaga perwakilan. 

Rakyat tentu tidak dapat mereview atau membuat visualisasi secara penuh apa dan bagaimana  sesuatu masalah cq pembahasan dan keputusan tentang sebuah Pasal dari sebuah RUU  telah dibahas  oleh DPR RI. 

Namun nampaknya penggunaan Pasal UUD yang menyatakan Keputusan DPR ditetapkan berdasar suara terbanyak telah menjadi salah  satu langkah yang dianggp lebih cepat untuk mengamabil keputusan  sehingga  prinsip  hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan ditinggalkan dan tidak menghasilkan keputusan berdasar musyawarah untuk mufakat yang mengakomodasi keinginan setiap Parpol, agar kader-kader terbaik Parpol baik yang besar maupun kecil mempunyai kesempatan mencalonkan diri sebagai Capres dalam suatu Pilpres. Prinsip yang hakikatnya kini berlaku  adalah keputusan ada ditangan kelompok mayoritas, the majority rules the games.

Dapat diyakini bahwa dalam pembahasan masalah Presidetial Threshold perdebatan yang seru tentang kebijaksanaan nasional yang menjadi agenda DPR RI tersebut telah terjadi dtingkat Siang Pleno DPR. Namun cukup meragukan bahwa setelah Pemandangan Umum ditingkat Sidang Pleno DPR dilakukan, permusyawaratan ditingkat Komisi telah  dilakukan dengan intensif, sehingga tercipta musyawarah untuk Mufakat sebagai hakikat hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan yang membahas pasal tentang Presidential Threshold yang diajukan Pemerintah,  sehingga dihasilkan penyempurnaan atas pasal tentang Presidential Threshold yang ajukan oleh Pemerintah tersebut. 

Demikian pula rasanya tidak ada catatan bahwa ada agenda di Sidang Pleno DPR RI bahwa Pasal tentang Presidential Threshold yang diajukan Pemerintah didampingi Pasal tentang Presidential Threshold hasil  pembahasan  Komisi terkait  telah diajukan kembali ke Sidang Pleno DPR untuk ditetapkan Pilihan  berdasar Suara terbanyak  sehingga dapat diputuskan menjadi Pasal UU Pemilu.

Pemikiran yang  mencoba membuat review atau visualisasi adanya agenda semacam itu didasarkan logika pemikiran bahwa untuk melaksanakan Pasal UUD yang menyatakan keputusan DPR didasarkan suara terbanyak didalam Sidang Pleno DPR RI tentu perlu adanya dua buah konsep Pasal tentang Presidential Threshold sebagai pilihan.

Dengan demikian Sidang Pleno DPR RI bukan sekedar mengadakan angket  untuk menolak atau menerima pasal tentang Presidential Threshold yang diajukan Pemerintah,tetapi harus memilih satu dari dua konsep pasal tentang Presidential Threshold yang dapat diperbandingkan, untuk menetapkan pasal yang mana yang wajar memperoleh suara terbanyak.

Pertimbangan logika tentu cukup memberikan keyakinan pasal yang diajukan Pemerintah setelah dilakukan perubahan-perubahan oleh Komisi DPR terkait tentu akan lebih sepurna sehingga menjadi pilihan dengan suara terbanyak. Namun fakta-fakta dewasa ini  menunjukkan  visualisasi seperti yang ada dalam review  nampaknya tidak pernah terjadi.

Peristiwa  inilah yang kini menjadi catatan kekecewaan dan  pergunjingan serta timbul kecurigaan konsep Presidential Threshold 20 % jumlah Wakil di DPR atau25 % hasil pertolehan suara dalam Pemilu Legislatif  2014 memang dikehendaki untuk menjadi keputusan DPR, sehingga dalam Pilpres 2019 hanya akan ada satu poros yang mampu tampil dalam Pilpres 2019, yaitu Poros Petahana. 

Pergunjingan yang terjadi dikhawatirkan mulaimengarah pada kekhawatiran bahwa dalam setiap proses pembuatan UU di DPR RI selalu ada sesuatu kepentingan yang yang tidak obyektif untuk terakomodasi dengan memanfaatkan prosedur pembuatan UU yang berlaku.

Ketegangan yang terjadi misalnya pada saat voting dengan aksi walk out, menimbulkan kekhawatiran bahwa pada hakikatya adaproses demokrsai yangtidak sesuai engan Pancasila yang bersifat  prinsipiil tidak benar dikandung oleh RUU yang akan disyahkan.Budaya Politik yang berkembang di DPR  dikhawatirkan telah menjadi pula budaya politik ditingkat daerah yang meniru tata cara yang berkembang di DPR, sehingga ada arahperekembangan budaya politik nasional yang mengkhawatirkan. 

Akibat lain, pengelompokan yang terjadi didalamlingkungan fraksi-fraksi DPR demi terwujudnya suara terbanyak juga telah mendorong terjadinya suasana dukung mendukung dan  pengelompokan-pengelompokan massa dalam masyarakat dengan nuansa konfrontasi dan adu kekuatan. Para pengamat politik tentu sepakat situasi nasional di bidang politik semacam itu jelas tidak sesuai dengan Pancasila  dan tidak favourable untuk mendukung Program Pembangunan Nasional. 

Ketika Presiden Jokowi membentuk BPIP, masyarakat bergembira karena berharap aza-azas Pancasila akan terwujut dalam kerhidupan bangsa Indonesia. Namun sayang peranan BPIP tersebut tidak terasa bahkan pergunjingan yang tidak menggembirakan terjadi. Setiap tanggal 1Juni hari lahirnya Pancasila diperingati tentu dengan tujuan popkok-pokok falsafah yang ada dalam Pancasila benar-benar terwujud dalam kehidupan bangsa Inonesia.(Penulis: A. Rahman pemerhati masalah ideologi dan Polkam. Tinggal di Pandeglang, Banten)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com