Menyikapi Pernyataan Jokowi Secara Proporsional di Tahun Politik

Tanggal 15 Agu 2018 - Laporan - 1006 Views
ilustrasi.

Harianmomentum.com--Pernyataan atau ucapan tokoh apalagi Kepala Negara jelas akan sangat berpengaruh terhadap masyarakatnya, sehingga pemilihan diksi, kata-kata dan kalimat dalam pernyataan tersebut haruslah bukan yang bersifat multi tafsir, karena akan dipolitisasi apalagi di tahun politik seperti saat ini.

Dalam konteks ini, media massa termasuk Medsos akan memainkan posisi dan peranan yang penting terkait penciptaan opini publik, terutama di tahun-tahun politik seperti dikemukakan beberapa pakar.

Media massa sangat berpengaruh terhadap kualitas demokrasi. Media massa apabila tepat digunakan akan membantu perkembangan demokrasi bukan hanya pada tataran pembentukan ide-ide dan gagasan politik atau ideologi, melainkan juga pembentukan identitas politik.

Penggunaan media tidak hanya berpengaruh linier terhadap publik, tapi juga dialektika reversal dalam membentuk identitas subyek politik.

Kekuatan media massa ini digambarkan oleh Malcolm X dengan pernyataan bahwa “the media’s the most powerfull entity on earth.  They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses”. Sementara itu, Maxwell Mc Combs dalam bukunya Setting the Agenda: the Mass Media and Public Oppinion. Polity Press: Cambridge (2006) mengatakan, kemampuan mempengaruhi dan mengarahkan publik agar berpikir tentang isu tertentu, sehingga menjadi prioritas pemikiran dan topik pembicaraan dikenal sebagai peran penempatan agenda media.

Seperti diketahui, Jokowi tampil berpidato dalam rapat umum yang dihadiri ribuan orang relawan di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (4/8) lalu. Dalam pidatonya, Kepala Negara sempat mengatakan kepada para relawan agar tidak membangun permusuhan, mengujarkan kebencian, memfitnah, dan mencela. “Tapi kalau diajak berantem juga berani. Tapi jangan ngajak lho. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut,” sebut Jokowi dalam kesempatan itu, Sabtu (4/8).

Diksi “berantem” inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan. Pertanyaannya adalah apakah pernyataan Presiden Indonesia tersebut adalah pernyataan yang memprovokasi seperti tudingan kelompok “oposisi”? Atau malah Presiden Jokowi memberikan pelajaran “uslub” dibalik pernyataannya tersebut?

Tidak perlu berlebihan

Jika diksi “berantem” yang dipolitisasi oleh kubu “oposisi” adalah wajar, sebab menurut Bill Lucas, dalam prinsip penting memori manusia cenderung mengingat hal yang terdapat di bagian awal dan bagian akhir.

Hal ini terkadang disebut primacy and recently effect. Sedangkan, kalau melihat keseluruhan konteks pernyataan Presiden Jokowi ternyata tidak ada unsur memprovokasi melainkan ajakan untuk melakukan konsolidasi dan memupuk militansi.

Apalagi selama ini, Jokowi menawarkan partisipative government yang menurut Guy Peter (2001), ditunjukkan dengan memberikan ruang pelibatan masyarakat dalam berbagai hal, khususnya dalam konotasi dan konteks yang positif dan konstruktif.

Dalam konteks yang lebih mendalam, pernyataan Presiden Jokowi ini menggambarkan Kepala Negara memiliki “uslub” yang tinggi, dan untuk mengerti “uslub” Presiden maka para pengkritiknya harus memahami komunikasi secara lebih baik, karena sejatinya uslub tersebut lebih sulit dipahami dari makna komunikasi secara umum.

Uslub adalah suatu ciri khas, ketika seseorang berbicara atau menulis yang berbeda dengan orang lain.

Menurut "Buffon", seorang pemikir berkebangsaan Prancis pada abad 18 M, "uslub adalah manusia" atau –jika kita lebih teliti lagi- "uslub adalah manusia itu sendiri” artinya setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan sesuatu atau dengan kata lain uslub merupakan cerminan kepribadian dan moral seseorang. “Uslub” yang dimiliki Presiden Jokowi sebenarnya seperti pepatah dalam kultur dan bahasa Jawa yang berbunyi “Ngono yo ngono, ning ojo ngono” atau pepatah yang diusung salah satu perguruan silat yang berbunyi “Musuh jangan dicari, namun kalau ada jangan lari”.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak akademisi dan berbagai kalangan lainnya menilai “tidak perlu berlebihan menyikapi pernyataan Presiden” dan itu secara esensi memang benar adanya. Bahkan menurut Prof Rahayu Surtiati dari Universitas Indonesia (UI) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam suatu rapat umum dengan para relawannya bukanlah kiasan. Menurut guru besar linguistik itu, Kepala Negara sedang menyampaikan sebuah pengandaian. Pernyataan yang dimaksud adalah ucapan Presiden yang menganjurkan, relawan tidak takut kalau diajak berkelahi.

Akademisi UI itu lebih lanjut menjelaskan perbedaan antara pengandaian dan kiasan. Kalimat pengandaian juga disebut sebagai kalimat majemuk hubungan syarat. Hal itu ditandai dengan adanya konjungsi “kalau”, “jika”, “bila”, “seandainya”, atau yang semakna itu. Rahayu memandang, inti ujaran Jokowi mengajak para pendengarnya untuk menjadi berani. Mereka diajak untuk tidak mencari-cari musuh, tetapi bila suatu waktu ada yang menyerang, lawanlah penyerang itu.

Disamping itu, Presiden Joko Widodo juga terkesan “cool and wise” dalam menyikapi pro kontra atas pernyataannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa Presiden Joko Widodo sangat memahami jika pengawasan dan kritik merupakan keharusan dalam tatanan demokrasi sebagai wujud akuntabilitas publik. Tidak ada demokrasi tanpa akuntabilitas, dan tidak ada akuntabilitas tanpa pengawasan dan kritik (no democracy without public accountability and no public accountability without control and criticism). 

Serangkaian pro kontra, kritik dan “politisasi” terhadap pernyataan Joko Widodo tersebut haruslah dipandang sebagai proses bangsa Indonesia ingin membangun demokrasi yang substansial, karena sejauh ini demokrasi di Indonesia masih bersifat demokrasi prosedural. Demokrasi substansial adalah kondisi di mana masyarakat sudah dalam kondisi sadar dan mapan untuk memilih demokrasi sebagai civic virtue, jalan hidup bangsa (Stepen Macedo: 2001). Demokrasi substansial ini di tandai dengan munculnya sikap toleransi yang tinggi atas perbedaan, mengedepankan rasionalitas, dan standar pemahaman yang sama atas cara kerja pemerintahan (Lucien W Pye: 1965).

Dalam demokrasi substansial, semestinya tidak ada lagi terdengar kritik dan protes yang bersifat tendensius dan emosional atas cara kerja pemerintah. Semua kritik dan protes di ajukan atas dasar alasan rasional yang objektif, di mana data (quantitative value) dan fakta (qualitative value) menjadi parameter keberhasilan. 

Menurut Robert Dahl (2001), salah satu syarat utama bagi sebuah negara untuk sampai pada demokrasi substansial harus terbangun terlebih dulu “logika persamaan” di dalam masyarakat. Sebab, hal ini akan membawa suatu mekanisme perundingan yang adil (demokratis), karena setiap individu merasakan dirinya bebas dari keterikatan atas individu, kelompok, ataupun masyarakat lain. Pada puncaknya, logika persamaan ini harus menjadi ke bu dayaan warga negara (civic culture). Masyarakat dan komunitas apa pun harus memahami derajatnya di hadapan hukum adalah sama.(*)

Oleh : Toni Ervianto, penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI). Tinggal di Jakarta Timur.


Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com