Sejatinya Kita Belum Pernah Berkurban

Tanggal 21 Agu 2018 - Laporan - 2203 Views
Illustrasi Foto: Google.

Harianmomentum.com--Hari raya kurban atau dikenal oleh kalangan umat Islam di dunia dengan Hari Raya Idul Adha akan dilaksanakan pada 22 Agustus 2018. Esensi dari hari raya ini adalah kesediaan kita untuk berkorban bagi kesejahteraan keluarga, negara dan agama, walaupun yang dikorbankan adalah kepentingan pribadi.

Hari raya ini mengajarkan kepada umat Islam untuk terus dapat memupuk semangat toleransi, kasih sayang, berbagi dan empati terhadap warga bangsa yang kurang beruntung, direpresentasikan dengan menyembelih hewan kurban seperti sapi, kambing, domba ataupun unta. Menyembelih hewan kurban juga merupakan perwujudan dari keikhlasan kita memberantas sikap tamak, moral hazard dan egoisme.

Peringatan Idul Adha di Indonesia tahun ini sangat mendalam esensinya apalagi banyak bencana alam yang menghantam beberapa wilayah di Indonesia seperti erupsi Gunung Agung di Bali dan Gunung Sinabung di Sumatera Utara dan gempa bumi antara lain di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali.

Disinilah semangat berkorban sedang diuji, karena pada dasarnya esensi Idhul Adha itu mengedepankan toleransi dan kecintaan kebangsaan dan paradoksnya kedua hal ini menghadapi tantangan berat di era milenial.

Apalagi semangat toleransi dan kecintaan kebangsaan di era milenial mendapatkan tantangan yang cukup berat, dimana semangat menyebarkan berita hoax, bigotry, dan hate-speech masih sangat intens terjadi terutama di ranah media sosial. Menurut Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination, merumuskan hate-speech sebagai penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi ras dan kebencian ras yang berujung pada kekerasan terhadap ras.

Sementara itu, mengacu kepada hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) menjadi ancaman besar untuk Pemilu 2019. Isu SARA menjadi besar karena dikapitalisasi dan dimanipulasi elite politik.

Dari hasil survei ahli yang dilakukan tim peneliti LIPI, tindakan persekusi yang marak terjadi di masyarakat, mayoritas disebabkan penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme. Selain itu, kesenjangan sosial juga menjadi penyebab terjadinya persekusi. Beberapa faktor menjadi penyebab (persekusi) antara lain, kesenjangan sosial (75,2%), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1%), aspek religiusitas (67,6%) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6%).

Sedangkan, hasil survei Litbang Kompas menyebutkan 44% responsden menyakini bahwa isu SARA masih akan digunakan dan dipercaya orang dalam Pilpres 2019, sekitar 18% responden sangat khawatir dan lebih dari 51% yang merasa khawatir kampanye hitam akan marak selama masa kampanye.

Disamping itu, 51,5% responden merasa khawatir dan lebih dari 14% sangat khawatir akan terjadi konflik dalam masa kampanye mendatang, bahkan 34% responden berpendapat kondisi bangsa yang seakan terbelah saat Pilpres 2014 akan terulang dalam Pilpres 2019.

Kemudian, berdasar data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap saluran penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40%), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga menduduki posisi paling tinggi (91,80%) menyusul soal SARA, dan rentang waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30%). Sementara itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk tulisan (62,10%), menyusul gambar (37,50%), dan video (0,40%).

Kedua hasil survei dan data tersebut jelas merupakan tantangan bagi umat Islam sebagai pemilik “deviden politik” terbesar di Indonesia untuk mengimplementasikan nilai-nilai agung yang tersurat dan tersirat dalam esensi Idul Adha, agar bangsa ini tidak mudah terkoyak-koyak, sehingga ukhuwah watoniyah tetap terjaga. Jika hal ini terjaga, maka Islam akan semakin harum dan berwibawa di Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah semuanya sudah dilaksanakan? Apakah tantangannya semakin berat? dan bagaimana menjaga asa semangat berkorban di generasi milenial yang memiliki ciri-ciri seperti ditulis Tom Brokaw dalam The Greatest Generation (1998) menyebutkan ada 5 ciri generasi milenial yaitu, melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada multimedia dan membuat konten internet. Sedang, Hasanudin Ali dan Lili Purwandi dalam buku berjudul Indonesia 2020: The Urban Middle Class Milenial (2016) menyebutkan urban middle class milenial memiliki ciri 3C yakni creative, connected and confidence.

“Berkorban prosedural” Semangat berkorban yang benar sesuai ajaran Islam adalah berkorban yang esensial yaitu dengan berkorban maka pelakunya dalam mensublimasikan nilai-nilai agung berkorban tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. 

Diakui atau tidak, berkorban yang dilakukan kita selama ini masih bertaraf berkorban secara prosedural (membeli hewan korban, menyerahkan ke panitia korban dan membagikan daging korban kepada kalangan dhuafa), tapi kita tetap kurang peduli dengan nasib sesama dan nasib bangsa pasca Idul Adha, padahal tantangan dan ancamannya tidak mudah untuk diantisipasi seperti munculnya kejutan-kejutan politik (political surprises) dipicu menguatnya libido politik di kalangan elit politik dan Parpol di tahun politik.

Betapa tidak, saling serang argumen, psy-war dan propaganda bahkan “saling mengejek” antar kedua kubu yang bersaing dalam Pilpres 2019 semakin menguat, bahkan yang lebih seru dan “kurang beradab” malah terjadi di ranah media sosial.

Fenomena tersebut selaras dengan pendapat Graham Jones, seorang psikolog internet mengatakan, agresivitas dan kekasaran di dunia maya antara lain karena anomalitas yang bersuara keras tanpa ada risiko langsung.

Sedangkan Jhon Suller Martin (2013) mengatakan, 6 hal yang mengubah perilaku pengguna internet yaitu disassosiative anonymity (anda tidak tahu saya); invisibility ( anda tidak bisa melihat); asynchronicity (urusan nanti saja); solipsistic introjection (semua ada di kepala, tidak ada orang lain); dissosiative imagination (bukan dunia nyata, hanya permainan) dan minimalizing authority (tidak ada otoritas lebih, semua setara).

Sejauh ini, generasi milenial juga belum mendapatkan pembelajaran dalam perkembangan situasi nasional kontemporer yang menggambarkan bahwa elit bangsa ini sudah memiliki semangat berkorban. Hal ini terlihat jelas bagaimana sinisme dan sarkasme menyertai terpilihnya K.H. Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno sebagai Cawapresnya Jokowi dan Cawapresnya Prabowo Subianto.

Elit-elit politik terlihat dalam framing pemberitaan saling “jegal menjegal” walaupun dalam satu koalisi sebelum nama Cawapres diumumkan. Banyak semangat libido politik dan moral hazard yang ditayangkan mereka, sehingga bertolak belakang dengan semangat berkorban sesuai Idhul Adha.

Sebenarnya, semangat berkorban juga equivalen dengan semangat membangun demokrasi, sebab sama dengan Idul Adha yang merefleksikan sikap toleransi dan kesabaran dalam berkorban selaras dengan intisari demokrasi substansial yang dikemukakan Stepen Macedo yaitu demokrasi sebagai jalan hidup bangsa. Demokrasi substansial ditandai dengan munculnya sikap toleransi yang tinggi atas perbedaan (Lucien W Pye: 1965).

Oleh karena itu, akan semakin sulit memperkenalkan semangat berkorban di kalangan generasi milenial jika elit-elit bangsa kurang dapat memberikan contoh yang signifikan dan konstruktif baik dalam berdemokrasi yang beradab (substansial) ataupun mengedepankan semangat berkorban yang esensial bukan prosedural sesuai dengan semangat kolektif yang dikenal dengan adagium politik terkenal “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begin”.

Last but not leastnya adalah apakah semua sudah terealisasikan di era milenial saat ini? Tampaknya belum, sebab diakui atau tidak, kita belum mampu merefleksikan semangat berkorban dengan semangat kita untuk “menyembelih” sikap tamak, moral hazard dan egoisme. Sejatinya, kita belum pernah berkorban. Berkorban yang esensial dan penuh makna, bukan berkorban secara prosedural semata. (Penulis:  Toni Ervianto alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI))

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com