Harianmomentum-- Manuver politik
Vanuatu dan Kepulauan Solomon bersambut dengan menggeliatnya kegiatan politik
aktivis Papua merdeka.
Hal ini memperkuat sinyalemen koneksitas antara
aktivis separatis Papua di Indonesia, dan yang berada di luar negeri dengan
faksi-faksi politik di negara lain, terutama kawasan Pasifik.
Tidak lama berselang dengan pernyataan kontroversial
dan tidak berdasar yang dikeluarkan saat Sidang Dewan
HAM PBB Sesi ke-34 di Jenewa, Swiss pada Jum’at, 3 Maret 2017 oleh Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu,
Ronald Warsal, tentang isu pelanggaran HAM, dan permintaan misi khusus PBB
untuk menginvestigasi ke Papua, aktivis KNPB dan simpatisannya segera
meningkatkan propaganda politiknya dan menuntut pemisahan Papua dari NKRI.
Aksi Vanuatu itu jelas melanggar prinsip dalam Piagam
PBB untuk saling menghormati kedaulatan teritorial dan tidak mencampuri urusan
domestik negara lain.
Selain itu, aturan dalam Sidang Dewan HAM PBB juga melarang
politisasi isu HAM untuk mendiskreditkan serta menyerang kedaulatan negara lain
sesama anggota PBB.
Manuver negara di kawasan kepulauan Pasifik itu jelas
melanggar norma internasional dan ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia
dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya.
Langkah tidak bersahabat itu menuai kecaman dan reaksi
keras darinegara kawasan Afrika yang menilai Vanuatu telah mempolitisasi HAM
untuk kepentingan domestiknya. Begitupula dengan pernyataan negara kawasan
Amerika Latin, Venezuela yang juga merangkap Ketua Gerakan Non Blok, menyebut
tindakan Vanuatu sebagai bentuk campur tangan masalah domestik Indonesia
sebagai negara berdaulat.
Memanfaatkan Momentum
Manuver di forum internasional tentang isu pelanggaran
HAM di Papua pasti akan menjadi momentum politik bagi aktivis separatis Papua
dan simpatisannya untuk berkampanye di Indonesia. Targetnya adalah untuk
membentuk wacana seolah mendapat dukungan internasional sehingga dapat
menggalang massa yang lebih luas.
Dukungan juga mereka harapkan dari road show ke
negara lain yang dianggap mudah dimanipulasi dengan sentimen solidaritas
Melanesia, isu pelanggaran HAM, wacana tentang hak-hak penentuan nasib sendiri
atau self determination, sertanegara yang memiliki hidden
agenda di Papua.
Adalah Ketua KNPB Pusat, Viktor Yeimo yang segera
merespondengan instruksinya kepada Ketua KNPB Biak, Yulianus Mandowen, agar
pendukung dan simpatisanPapua merdeka, terutama wilayah Biak dan Supiori,
menggalang dana untuk operasionalYakob Rumbiak, aktivis NRFPB yang saat ini
berada di Australia dan menunggu bantuan biaya dari jaringannya di Papua untuk
berangkat ke Uganda.
Yakob Rumbiak diduga bermaksud mempengaruhi dan menggalang
simpati dari negara-negara Afrika yang selama ini justru menjadi sahabat baik
Indonesia.Hal ini juga sejalan dengan skenario pendukung separatisme Papua di
kawasan Pasifik untuk menarik simpatinegara kawasan Afrika lainnya.
Aksi serupa dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Papua
yang terlibat dalam jaringan aktivis pro Papua merdeka.Investigasi Kepolisian
pada aksi keributan 3 Maret 2017 di Tanah Hitam telah mengarahkan pada 4 orang
aktivis jaringan pendukung separatisme Papua, yakni Michael Yikwa, Anto Yikwa,
Friaki Mea, dan Lenius Kogoya.
Mereka diamankan oleh Polres Jayapura bersama sejumlah
senjata tajam yang diduga kuat sebelumnya digunakan dalam aksi kekerasan, dan
sejumlah kegiatan melanggar hukum yang menimbulkan gangguan keamanan serta
ketertiban umum.
Aksi Mahasiswa Papua juga berlangsung di
Jogjakartaoleh kelompok Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat
Indonesia untuk West Papua (FRIWP).
Mereka berunjuk rasa mendukung provokasi tujuh negara
Pasifik yang membawa masalah domestik Indonesia dalam Sidang Dewan HAM PBB di
Jenewa, Swiss.AMP menuding bahwa TNI/Polri dianggap telah melakukan tindakan
brutal dan melanggar HAM sejak 1980-1990-an, serta bertanggungjawab atas
sejumlah peristiwa yang kekerasan atas aktivis KNPB seperti penembakan terhadap
Mako Tabuni dan Hubertus Mabel.Mereka juga meminta agar pemerintah menarik
aparat TNI/Polri dari Papua.
Permintaan ini tentu tidak masuk akal karena TNI/Polri
justru akan terjadi anarki dan potensi chaos dalam masyarakat.Keberadaan PT.
Freeport dan legalitas Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia yang dianggap
tidak merepresentasikan masyarakat Papua juga menjadi sorotan AMP, termasuk isu
konflik Pilkada 2017 di Intan Jaya yang menimbulkan kekerasan dan memakan korban
jiwa.
Media massa lokal, Tabloid Jubi juga ambil peran dalam
memanaskan situasi di Papua. Kehadiran Victor Mambror, Pemimpin Redaksi
Koran Jubi, dalam Sidang Dewan HAM PBB 2017 sebetulnya tidak akan menjadi
persoalan jika pemberitaan yang dilakukan objektif sebagaimana kaidah
jurnalistik dan berkontribusi dalam membangun Papua.
Sayangnya, pemberitaan media Jubi justru ikut
mendiskreditkan Indonesia dan membela separatisme Papua.Secara sengaja,
masyarakat hanya disuguhi informasi yang dianggap perlu untuk diketahui dan
sejalan dengan agenda propaganda aktivis pro Papua merdeka.Metode framing ini
jelas bertentangan dengan kaidah jurnalistik yang menekankan objektifitas dan cover
both side.
Sejumlah isu yang dilansir media Jubi seperti seolah
Indonesia telah ditekan agar membuka akses bagi jurnalis internasional,
pengamat independen, organisasi HAM dan Palang Merah oleh Koalisi Internasional
untuk Papua (ICP) jelas merugikan integritas sebagai negara berdaulat.Tanpa
tekanan manapun, Indonesia selama ini telah membuka diri terhadap komunitas
internasional untuk mengakses Papua sebagai bentuk komitmen memajukan
perlindungan HAM di Papua.
Namun, tentu akses internasional ini tidak boleh
kontraproduktif dengan pembangunan dan kepentingan nasional Indonesia untuk
menjaga kedaulatan dan integritas wilayahnya.
Framing juga dilakukan dalam hal
pemberitaan mengenai Dewan Gereja Dunia yang menaruh perhatian terhadap isu-isu
kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.Menurut pemberitaan Jubi, Konferensi
Gereja-Gereja Pasifik menyatakan keprihatinannya tentang isu kekerasan di Papua
dan mendesak agar ada solidaritas dan aksi global untuk Papua.
Pemberitaan Jubi ini menjadi sangat tendensius karena
seolah bahwa persoalan Papua memiliki dimensi teologis yang secara vis
a vis melibatkan Gereja dan menghadapkan dengan pemerintah
Indonesia.
Selain itu, Jubi tidak mempublikasikan secara objektif
berbagai capaian perlindungan HAM, kemajuan pembangunan sosial, ekonomi,
infrastruktur dan SDM di Papua yang telah diraih sejak pemberlakuan Otonomi
Khusus tahun 2001.
Pemberitaan Jubi terkesan mendukung aksi yang
dilakukan oleh negara kawasan Pasifik seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon
yang merugikan Indonesia. Semestinya, Jubi juga mempublikasikan kecaman
yang muncul dari negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, serta dukungan yang
mereka berikan terhadap Indonesia.
Victor Mambror sebagai Pemred Jubi telah secara
manipulatif berlindung di balik kebebasan jurnalistik untuk mengkampanyekan
agenda terselubung mendukung aktivitas kelompok separatis di Papua.Sikap
tersebut tentu sangat tidak patriotik sebagai warga negara Indonesia yang
seharusnya mendukung negaranya sendiri.
Selain itu, siapapun individu warga negara, juga
terikat dengan kewajiban konstitusionalnya untuk melakukan bela negara ketika
dihadapkan pada kegiatan baik di dalam maupun luar negeri yang dengan
kepentingan nasional Indonesia.
Penegakan Hukum dan Fokus Pembangunan
Dukungan separatisme dan manuver asing terhadap
masalah dalam negeri Indonesia merupakan ancaman serius dan perlu direspon oleh
pemerintah dengan didukung oleh segenap komponen bangsa.
Aksi-aksi propaganda politik dalam negeri yang
dilakukan oleh aktivis mahasiswa sepanjang masih dalam koridor demokrasi,
otokritik terhadap kebijakan dan bersifat konstruktif dalam bingkai memperkuat
akses terhadap pembangunan dan NKRI tentu harus direspon persuasif dan
memperkaya gagasan untuk mengakselerasi kemajuan Papua sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Namun, jika aksi-aksi itu telah menjurus memecah
belah, menimbulkan gangguan ketertiban dan kegaduhan dalam masyarakat, serta
dapat menjadi ancaman bagi kepentingan masyarakat Papua khususnya, dan
Indonesia secara keseluruhan, maka pemerintah tidak boleh tinggal diam, hukum
harus ditegakan secara efektif agar menjamin kelangsungan pembangunan di Papua
dan memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Sementara itu, terkait dengan media massa yang justru
provokatif, dan dapat menimbulkan keresahan massa dan berkontribusi terhadap
kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat tentu
tidak hanya cukup dengan pembinaan saja dan berlindung di balik kebebasan pers.
Victor Mambror dalam pemberitaan Jubi yang justru
kerap merugikan Indonesia dan berpotensi meresahkan masyarakat tentu harus
diluruskan agar objektif dan sesuai dengan kaidah jurnalisme yang benar. Jika
langkah ini tidak efektif, pemerintah dapat mencekal seluruh akses Victor
Mambror untuk keluar negeri sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pencekalan Victor Mambror dibenarkan menurut hukum
jika dalam kerangka melindungi kepentingan nasional Indonesia.Pemerintah
memiliki legitimasi dan justifikasi untuk menata kehidupan pers agar sejalan
dengan kepentingan nasional dan aspirasi masyarakat Papua untuk meningkatkan
akses kesejahteraan dan ekonominya.
Apapun langkah pemerintah sepanjang untuk kepentingan
kemajuan masyarakat Papua tentu akan mendapat dukungan, tidak hanya dari
masyarakat Papua, tetapi seluruh Indonesia.
Editor: Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com