Harianmomentum--Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
pertumbuhan ekonomi kuartal II-2017 sebesar 5,01 persen.
Pertumbuhan
ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,18 persen.
Penyebabnya, kalangan menengah ke atas masih menahan belanjanya.
"Angka
5,01 persen ini masih di bawah ekspektasi, tetapi saya bilang pertumbuhan ini
lumayan bagus, tapi masih harus diperhatikan," ujar Kepala BPS Kecuk
Suhariyanto di kantornya, Jakarta, Senin (7/8).
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi
pada 2017 sebesar 5,1 persen. Kemudian target pertumbuhan dinaikkan menjadi 5,2
persen.
Menurutnya, perekonomian Indonesia yang sebesar 5,01 persen
masih di bawah pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,9 persen. Tapi masih
di atas pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sebesar 2,1 persen,
Singapura yang sebesar 2,5 persen, dan Korea Selatan yang tumbuh 2,5 persen.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,
bukan hanya pemerintah, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan atau
stakeholder dengan seksama memperhatikan kendala-kendala yang dihadapi.
"Kita berharap ke depannya harus lebih bagus," tutup dia.
Kecuk menuturkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi selama kuartal II. Di antaranya harga komoditas migas dan
nonmigas yang mengalami penurunan dibandingkan kuartal sebelumnya, seperti
batu bara turun 1,87 persen dan palm oil turun 9,84 persen.
"Secara umum komoditas migas dan nonmigas kuartal kedua
tahun ini turun dibandingkan kuartal I. Kalau secara tahunan masih agak
meningkat, hanya kuartalan turun," ujarnya.
Dia membantah, jika daya beli masyarakat turun. Berdasarkan
survei BPS, sampai saat ini daya beli masyarakat masih baik. Hal itu tercermin
dari konsumsi rumah tangga 4,95 persen yang berhasil menopang pertumbuhan
ekonomi kuartal II-2017 sebesar 5,01 persen.
Namun, dia mengakui, kalangan menengah ke atas masih menahan
belanja. Selain itu, fenomena pergeseran pola belanja dari konvensional ke
online memang benar terjadi. Pergeseran hanya terjadi di kalangan menengah ke
atas, dan persentasenya juga relatif kecil.
"Angka riset belum menunjukkan angka pasti, tapi itu
totalnya kecil," paparnya.
Menanggapi rilis BPS, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, gaji ke-13 dan
tunjangan hari raya (THR) aparatur sipil tidak maksimal mendongkrak konsumsi
rumah tangga. Faktanya, capaian tersebut tidak mampu menyentuh lima persen. (rmol)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com