Harianmomentum--Bangsa
Indonesia sudah sepakat untuk berperang melawan isu-isu radikalisme. Radikalisme
butuh media untuk mengupload dan media butuh rating, sehingga kita menjadi
konsumsi media tidak heran apabila 5 sampai 10 tahun ke depan Indonesia tidak
dapat dikendalikan apabila kita tidak bisa membentengi diri dan menangkal arus
radikalisme.
Secara garis besar,
radikalisme di Indonesia terdiri dari radikal kanan: kelompok yang memaksakan
diri untuk menerapkan ajaran agamanya di negara Indonesia yang bersifat plural.
Kedua, radikal kiri melalui kelompok PKI
tua untuk eksis kembali melalui upaya perubahan UU Kebenaran dan Rekonsiliasi
dan The New Left, karena komunis tidak akan pernah berhenti dan tetap akan
menunjukkan eksistensinya. Ketiga, kelompok radikal lainnya, termasuk didalamnya
adalah para koruptor.
Dalam konteks global,
ISIS saat ini sangat terjepit. Wilayah Irak dan Syiria dari 97% dikuasai
tinggal 28% saja. Bila mereka tamat di Syiria dan Irak maka mereka akan pindah
ke Afghanistan perbatasan Rusia, sebab pendukung utama ISIS adalah negara
bagian Rusia.
Taliban berbeda
dengan ISIS dan bila ISIS pindah ke Afghanistan maka Taliban akan memindahkan
medan perjuangan ke Asia Bawah, terindikasi ke Indonesia.
Sementara ISIS lebih
tertarik ke Philipina, dan menjadi walaiyat (Propinsi ISIS di Timur Jauh). Hoax
yang sekarang ditebar kelompok ISIS adalah menyerang keamanan nasional. Hal ini
merupakan dilema Medsos. Oleh sebab itu, harus dapat mengcounter aksi mereka di
Medsos.
Menurut Septiaji Eko
Nugroho, Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia anti Hoax menyatakan, pengguna
internet di Indonesia (survey 2016): 28 juta adalah wiraswasta, 22 juta ibu
Rumah Tangga dan 10 juta mahasiswa. 54 % (71 juta) pengguna Medsos
Facebook.
Munculnya fenomena
hoax menyebabkan konflik terjadi karena Hoax. Jenis hoax yaitu 91% sosial
politik, 88,6% SARA. Indonesia mempunyai sekat alamiah karena perbedaan agama
dan suku. Bangsa Indonesia mudah sekali terprovokasi oleh Hoax.
Penyebabnya yaitu
literasi (kemampuan membaca) bangsa Indonesia nomor dua dari bawah diantara
bangsa di dunia. Bangsa Indonesia lebih senang ngrumpi daripada membaca. Ada
kebanggaan bila menjadi orang pertama yang membagikan suatu berita tanpa
mencari tahu benar tidaknya berita tersebut.
Kedua, polarisasi
internet tidak membuat masyarakat cerdas tetapi malah membuat rakyat masuk
dalam kotak kotak kosong. Mereka lebih percaya apa yang diberitakan orang dlm
kelompoknya. Dampaknya adalah hoax digunakan untuk propaganda
negatif, provokasi dan agitasi. Contoh : kasus lambang PKI pada uang
kertas Rupiah.
Diakui atau tidak,
munculnya krisis kepercayaan publik terhadap netralitas pers dan kebenaran isi
media disebabkan banyak pemilik media membuat partai, memaksa media pers yang
dimiliki sebagai corong kampanyenya, sejumlah wartawan merangkap jadi tim
sukses, politis menarik narik wartawan mengunjungi media/organisasi wartawan.
Disamping itu, ada
rumors yang berkembang mayoritas wartawan saat ini memilih jalan paling mudah
untuk menulis, menulis dan memverifikasi berita melalui media sosial.
Model hoax melalui
berita hoax dan model hoax (foto). Yang agak sulit adalah klarifikasi model
hoax atau foto. Sedangkan pola penyebaran hoax yaitu reflektif (tulisan dan
gambar yang mempengaruhi emosi secara mendalam) dan refleksi (tulisan dan
gambar mempengaruhi emosi seketika).
Penekanan Presiden
kepada seluruh jajaran pemerintahan adalah tentang perlunya menangkal berita
bohong di dunia maya, perilaku negatif dan kontra produktif di dunia
maya. Akhir-akhir ini muncul berita bohong (hoax) di Medsos yang sangat
mengkhawatirkan. Adanya kemalasan untuk mengklarifikasi kebenaran berita dan
justru memviralkan berita yang ada seolah benar adanya.
Berita hoax digunakan
oleh kelompok radikal untuk membangun narasi dan propaganda kelompok teroris.
Hal ini adalah fenomena baru dan merupakan pola rekrutmen baru yaitu dengan
terbuka dan pembaiatan tidak langsung. Oleh karena itu, negara mengharapkan
adanya penguatan peran dan kontribusi masyarakat sehingga konten damai dan
sejuk dapat disebarkn atau diviralkan.
Cara
Menangkal
Ada beberapa cara
menangkal radikalisme yaitu
memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Bagaimana pelajar menggunakan
smart phone dengan benar, tidak ada kata lain selain belajar.
Kita sedang
dibenturkan dan dicekoke dengan isu Pancasila tidak final dan bagaimana kita
ikut mensosialisasikan bahaya radikalisme dengan mengikuti perkembangan dan isu
kekinian yang valid di Medsos.
Cara-cara ampuh
lainnya untuk menangkal paham radikalisme yaitu jangan tinggalkan ibadah berdasarkan
agama masing-masing. Menghormati orang tua, menghindari perbuatan tercela demi
mengejar eksistensi di Medsos. Tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu di
Medsos. Tidak mudah terpengaruh oleh ajakan yang menentang Pancasila, terus
menjaga persatuan dan kesatuan NKRI serta meningkatkan gotong royong.
Disamping itu, cara
penyebaran radikalisme dengan langsung melalui kegiatan keagamaan yang bersifat
tertutup atau inklusif serta tidak langsung melalui media internet/medsos. Oleh
karena itu, pengaruh media sosial dapat menimbulkan kerentanan terhadap
perkembangan dan pola pikir generasi muda untuk itu kita harus waspada terhadap
berita-berita hoax dan menyesatkan.
Saat ini, pemerintah
melalui kementerian dan lembaga telah membentuk badan Cyber Crime untuk itu
mengingatkan kepada generasi muda jangan sampai membuat isu/upload yang
bernuansa SARA di Medsos, hal ini penting karena diakui atau tidak saat ini
Indonesia sudah dipecah belah melalui proxy war.
Langkah konkrit untuk
memerangi Medsos antara lain perlu dilakukan kerjasama dengan kalangan media
massa guna belajar bidang jurnalistik, melakukan deklarasi pelajar Anti Hoax
untuk menangkal radikalisme pelajar.
Disamping itu, cara
kita menghadapi paham komunis dan radikalisme dengan baju Islam yaitu tabayun
atau mengklarifikasi atau cross check. Selanjutnya tidak mudah terpengaruh
dengan isu-isu radikal yang berkembang. Dengan keterbukaan informasi di media
diharapkan para pelajar dan pemuda untuk lebih berhati-hati dan meningkatkan
kewaspadaan. (**)
Editor: Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com