Mencari Keadilan

Tanggal 29 Sep 2020 - Laporan - 1856 Views
Andi Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM--Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mungkin peribahasa itu selaras dengan kondisi keluarga Harmen Marpaung, saat ini.

Panggilan video melalui aplikasi whatsapp (WA) malam itu dengan anaknya—ARM, akan menjadi kenangan terakhir.

Mungkin, tak pernah terlintas di benaknya, jika esok pagi putranya akan pulang menjadi mayat.

Ya, ARM yang lahir 29 tahun lalu di Kelurahan Guntingsaga, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) tewas di tangan aparat kepolisian.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dia diduga sempat dianiaya. Menurut penuturan keluarga, beberapa bagian tubuhnya memar.

Tangan kiri patah. Paha sebelah kanan terdapat luka bekas tembakan senjata api (senpi). Bagian batok kepala diduga remuk. Mulut, telinga dan hidung mengeluarkan darah. 

Begitulah kondisi jenazahnya saat diantarkan sopir ambulance ke rumah duka di lingkungan II Palang, Sabtu (26-9-2020). 


Ratusan warga yang sudah berkumpul sejak pagi langsung tersulut emosi. Mereka langsung membakar ban bekas di tengah jalan lintas Sumatera (Jalinsum). 

Tindakan yang mungkin dianggap anarkis itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kinerja polisi. Mereka berontak. Tidak terima atas kematian ARM yang dinilai janggal dan penuh misteri. 

Malam masih terlihat sehat dalam video, pagi sudah dinyatakan meninggal.

Terlebih, tidak satupun anggota Polsek Kualuh Hulu yang dapat menjelaskan secara gamblang penyebab kematian almarhum. 

Tak ayal, aksi blokade itu membuat salah satu ruas jalan nasional di Provinsi Sumatera Utara menjadi lumpuh. 

Kendaraan dari arah Rantau Prapat menuju Aek Kanopan tertahan hingga sepuluh kilometer. Pun begitu sebaliknya. 

Ratusan kendaraan yang melintasi jalan itu terpaksa berhenti. Tak bisa lewat. Kecuali sepeda motor. Kondisi mencekam itu berlangsung lebih dari tiga jam.  

Beruntung, Bupati Labura Khairuddin Syah Sitorus langsung turun ke lokasi. Di hadapan kerumunan massa dia berjanji akan mengawal kasus kematian ARM.

Bahkan, dia komitmen memfasilitasi proses autopsi jenazah agar penyebab kematian bisa diungkap. 

Setelah yakin dengan janji sang kepala daerah, massa kemudian memadamkan kobaran api, di tengah jalan. Dibantu anggota TNI yang bersiaga di lokasi. 

Esoknya, Kapolres Labuhanbatu AKBP Deni Kurniawan mengatakan ARM meninggal karena kehabisan darah.

Dia menjelaskan, pada Jumat (25-9-2020) malam, ARM yang merupakan tersangka pungutan liar (Pungli) berhasil diamankan jajaran Polres Tapanuli Utara di Siborong-borong.

Setelah berhasil ditangkap, Polres Labuhanbatu bersama anggota Polsek Kualuh Hulu menjemput tersangka. 

Saat akan dibawa kembali ke Labura, polisi meminta ARM menunjukkan lokasi persembunyian Awi, satu tersangka lainnya.

Rombongan polisi pun bergerak ke arah Kabupaten Asahan. Saat tiba di hutan Desa Padang Mahondang, polisi mengklaim jika ARM melawan dan berusaha melarikan diri. Saat itulah, polisi menembak paha kanannya. 

Satu regu polisi melanjutkan pencarian Awi, sedang regu lainnya mengantar ARM ke rumah sakit (RS) terdekat untuk mendapat perawatan medis. Sayang, dia dinyatakan meninggal dunia sebelum sempat dirawat. 

Banyak pihak yang meragukan alibi dari pihak kepolisian. Publik menganggap keterangan Kapolres terlalu mengada- ngada. Benarkah? 

Mungkin saja. Tapi saya tidak ingin berspekulasi. Terlebih menghakimi.Kita tunggu saja hasil autopsi dari RSUD Dr. Djasamen Saragih, Pematangsiantar.

Tapi, sembari menunggu hasil investigasi medis jenazah untuk memeriksa sebab kematian, ada baiknya pihak keluarga melaporkan kasus dugaan penganiayaan itu ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Sumut.

Bagaimana pun, tindakan kekerasan polisi terhadap tersangka kejahatan tidak dibenarkan. Sebagaimana diatur dalam peraturan kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009.

Terlepas dari itu semua, saya akui. ARM memang salah. Tindakan punglinya cukup meresahkan. Apalagi sampai berani melawan dan melukai petugas. Itu termasuk pelanggaran hukum berat.

Mungkin selama ini dia juga telah banyak mengganggu pengguna jalan. 

Tapi, haruskah dia meregang nyawa di tangan kalian tanpa proses peradilan? Saya rasa tidak.

Jika polisi saja sudah tak memiliki nurani, kemana lagi kami harus mencari keadilan? (**)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Pesan Khatib di Mimbar Jumat ...

MOMENTUM-- Pemilihan presiden (Pilpres) menjadi magnet tersendiri ...


Siklus Kehidupan ...

MOMENTUM-- Dulu, ketika beranjak remaja, saya selalu mendapat tug ...


Unila kembali Bergejolak ...

MOMENTUM-- Universitas Lampung (Unila) kembali jadi sorotan publi ...


Pasang Surut ...

MOMENTUM-- Tarik ulur dalam hubungan itu biasa. Entah itu pertema ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com