Berkah Pandemi

Tanggal 25 Okt 2020 - Laporan - 907 Views
Martini (40), pengusaha masker dadakan ketika pandemi datang saat melakukan rutunitan menyablon di kedimannya, Jalan ZA Pagaralam, Kedaton, Labuhanratu, Bandarlampung. Foto: acw

MOMENTUM, Bandarlampung--Tahun 2020 menjadi momen tak terlupakan bagi jutaan orang di dunia. Pun di Indonesia. Juga bagi warga di wilayah Lampung.

Pandemi corona virus disease 2019 atau covid-19 datang dan menyisakan duka mendalam.

Kesehatan terdampak. Pendidikan terdampak. Sosial terdampak. Psikologi terdampak. Ekonomi juga turut terdampak.

Mirisnya lagi, memasuki bulan Maret, masker pun menjadi barang mewah. Harganya yang semula hanya di kisaran Rp1000, mendadak menjulang tinggi, sampai pada kisaran Rp25 ribu.

Sementara masyarakat sangat membutuhkan masker untuk perlindungan diri dari Covid-19.

Sulitnya membeli masker di masa pandemi juga dirasakan oleh Martini (40), wanita yang kini berprofesi sebagai pembuat masker di Kota Bandarlampung.

“Saat itu boro-boro mau beli masker. Harganya mahal. Kalau pun duitnya ada, tetap sulit mendapatkannya. Langka,” tutur Martini kepada harianmomentum.com, Minggu (25-10-2020).

Sebagai seorang ibu dari empat orang anaknya, Martini tentunya sangat mencemaskan sang buah hati. Apalagi seorang anaknya bekerja di luar kota dan anak menantunya yang biasa beraktifitas di lapangan. 

“Mau membelikan mereka masker, harganya mahal. Kalau pun duitnya ada, tapi barangnya pun sulit. Bahkan, di apotek pun saat itu langka. Sementara saya khawatir dengan anak-anak. Takutnyakan kena corona,” ungkapnya.

Langkanya masker memaksa warga yang kini bermukim di Jalan ZA Pagaralam, Kelurahan Labuhanratu, Kecamatan Kedaton, Kota Bandarlampung itu berfikir keras. Tapi Martini tetap berpegang tegus pada keyakinannya. 

“Kan ada pepatah 'Dibalik Musibah, Pasti ada Jalan Keluarnya. Dibalik Kesulitan, Pasti ada Kemudahan,” ungkapnya.

Berbekal keyakinan itu, Martini dan keluarganya pun mendapat solusi. Ide kreatif mulai bermunculan, dari anak-anaknya. Salah satunya untuk membuat masker sendiri, berbahan kain.

“Anak saya ngomong, bagaimana kalau kita membuat masker saja. Untuk kakang—sebutan kakak—,” ujarnya.

Ketika itu, mereka pun mulai mencari bahan baku. Maulai dari kain bekas, hinga kain baru yang dibeli dari toko.

“Kami cari kain paling murah di toko. Dapatlah kain sponbond. Itu yang paling murah, dan paling baik untuk dibuat masker,” katanya.

Mulanya, masker dibuat dengan menjahit secara manual. “Awal-awal jadi masker hanya beberapa, untuk anak-anak saja. Belum dijual. Bikinnya pun cuma pakai jahit tangan,” tuturnya.

Setiap hari, Martini dan anak-anaknya pun rutin membuat masker. Hingga jumlah masker yang berhasil dibuat, melebihi kebutahan keluarga mereka.

“Anak-anak kerfikir, bagaimana kalau dijual saja. Tapi harganya jangan mahal-mahal. Itung-itung kita beramal, membantu warga,” ucapnya.

Beranjak dari niat yang tulus, usaha itu pun ternyata mendapat sambutan hangat dari banyak warga setempat. “Teman-taman anak-anak banyak yang pesan,” ujarnya.

Lama-kelamaan, pesanan pun makin banyak. Semula hanya di kisaran puluhan, memasuki April 2020, pesanan sudah mencapai ratusan masker.

“Kami jual harga murah. Saat itu harga masker masih Rp15-Rp25 ribu. Kami jual satu paket isi tiga masker hanya Rp10 ribu. Alhamdulillah berkah,” ungkapnya.

Pesanan semakin banyak, keluarga ibu Martini pun mulai membuat masker dengan mesin jahit ukuran kecil dan mesin pres kain sponbon. 

“Per harinya bisa membuat ratusan masker, karena sudah pakai mesin,” ujarnya.

Kini, anak-anaknya pun sudah makin mahir membuat masker. Semula mereka hanya menjual masker polos. Sekarang, sudah merima juga orderan masker bergambar dengan teknik sablon.

“Sekarang kita siap menerima orderan masker kain jenis apa pun. Di sablon juga bisa,” katanya.

Wanita berhijab itu bersyukur, di tengah kesulitan, masih ada kemudahan. “Itu cara Allah ya,” ujarnya.

Dari berjualan masker, kini dua anaknya yang masih berkuliah pun mampu mencari uang jajannya sendiri. 

“Alhamdulillah kalau ekonomi cukup lah. Sampai-sampai kami sempat minta tolong keluarga lainnya, untuk membuat masker karena orderan makin banyak,” tuturnya.

Menurut Martini, itu adalah pembuktian dari Allah. Dibalik musibah, pasti ada jalan keluarnya. Dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan.

“Intinya pasrah. Ikhlas menerima cobaan. Jangan mengeluh. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” ungkapnya.

Jehaniza (19), anak ketiga ibu Martini menuturkan, pada mulanya sulit untuk membuat masker. 

Apalagi ketika pertama, dia harus menjahit secara manual. "Ketusuk jarum itu sudah biasa," ujarnya.

Berkat kesungguhanya, gadis yang masih menempuh pendidikan di Umitra (Universitas Mitra Indonesia) Bandarlampung itu, kini mahir membuat masker. 

Apalagi ketika dibantu dengan alat sederhana, mesin pres kain sponbond. Cara kerja mesin itu pun, awalnya didapatkannya dari belajar melalui chanel Youtube.

"Belajar nyablon masker seperti sekarang pun belajarnya dari Youtube," bebernya.

Menurut dia, kalau ada kemauan, pasti ada jalan. "Asal mau belajar, pasti bisa. Tidak ada yang sulit," kata mahasiswi jurusan hukum itu.(**)

Laporan: Agung Chandra Widi

Editor: Munizar

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Komisaris PTPN I: Waspadai Pestalotiopsis dan ...

MOMENTUM, Palembang -- Roda bisnis PT Perkebunan Nusantara (PTPN) ...


PT RPN Salurkan Dana TJSL kepada Anak Yatim d ...

MOMENTUM, Bogor – Dalam setiap proses bisnis, PT Riset Perkebun ...


Kebun Cinta Manis Siap Pasok Tebu Berkualitas ...

MOMENTUM, Ogan Ilir--Kebun tebu Cinta Manis yang dikelola PT Buma ...


Trafik Internet Naik 12.87 Persen, Telkomsel ...

MOMENTUM, Jakarta--Telkomsel sukses mengawal momen Ramadan dan Id ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com