Enam Senator Gugat UU Pilkada

Tanggal 26 Agu 2017 - Laporan - 898 Views
Ilustrasi/Net

Harianmomentum--Enam anggota DPD mengajukan gugatan peninjauan kembali atas UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota alias UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka minta MK membatalkan aturan yang mewajibkan pengunduran diri dari anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah.


Enam senator itu adalah Akhmad Muqowam (anggota DPD asal Jawa Tengah), M Mawardi (Kalimantan Tengah), Abdurrahman Lahabato (Maluku Utara), M Syukur (Jambi), Intsiawati Ayus (Riau), dan Ahmad Kanedi (Bengkulu). Bersamanya juga turut anggota DPRD Barito Utara, Kalimantan Tengan, Taufik Nugroho. Mereka melayangkan gugatan itu ke MK pada Jumat (25/8).


Akhmad Muqowam, jurubicara penggugat, menyatakan bahwa pihaknya ingin MK membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10/2016 yang mengatur soal kewajiban mengundurkan diri para anggota Dewan saat ditetapkan sebagai calon di Pilkada.

“Para pemohon merasa hak konstitusional, hak atas persamaan kesempatan dalam pemerintahan, dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif, dirugikan oleh ketentuan Pasal 7 ayat (2),” ujar Muqowam.

Dalam gugatan tersebut, Muqowan Cs juga menjelaskan hal yang berkaitan dengan lembaga politik, legislatif, eksekutif, jabatan publik, jabatan politik, dan jabatan karir. Kata Muqowan, penjelasan ini berkaitan dengan kerugian hak konstitusional yang dialami pihaknya maupun masyarakat Indonesia.

"Secara teoritik, dikenal dua jabatan, yakni jabatan publik politik dan jabatan publik eksekutif. Jabatan publik politik adalah jabatan publik yang ditetapkan melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat, mulai dari DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, DPRD Provinsi, Gubernur/Wakil Gubernur, DPD, dan DPR. Sementara, jabatan publik eksekutif ditetapkan melalui pengangkatan, seperti ASN, Kepolisian, dan TNI," jelas dia.

Melihat perbedaan tersebut, sambung Muqowam, pihaknya memohon MK memberikan putusan yang sesuai. Menurut dia, ruang jabatan publik politik itu menjadi ruang gerak dan ruang pengabdian para politisi, karena jabatan tersebut tak mengganggu ruang gerak jabatan publik eksekutif seperti ASN, Polisi, dan TNI.

"Jadi, sepanjang masyarakat masih memilih dalam pemilihan umum, pemegang jabatan publik politik tak perlu mundur. Namun, jika politisi mau jadi Polisi, TNI, atau ASN, mereka harus mundur dari jabatan publik politik. Sebab, jabatan ditetapkan melalui pengangkatan, bukan pemilihan," tandasnya. (rmol)


 


Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Pertemuan Surya Paloh dan Prabowo, Herman: Ja ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Pertemuan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh ...


Jelang Pilkada, Kepala Daerah Dilarang Rollin ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Beberapa bulan ke depan, sejumlah daerah ...


Gerindra Lampung Belum Fokus Pilkada 2024, Gi ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Nama-nama kader Gerindra Lampung kian ha ...


PAN Lampung Fokus Jaring Calon Kepala Daerah, ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Menghadapi pemilihan kepala daerah (pilk ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com