Harianmomentum--Ledakan
keras terjadi di Taman Pandawa kawasan Cicendo, Senin 27 Februari 2017 pukul
09.00 WIB. Informasi dari sumber di lapangan, pelaku bernama Yayat Cahdiyat,
lahir di Purwakarta, 24 Juni 1975 yang beralamat di kampung Cukanggenteng
Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung.
Aksi dilakukan dengan menggunakan bom panci
berkekuatan rendah (low explosive). Setelah meledakkan bom, yang diduga dengan
bahan dasar pupuk urea dan chasing panci berdaya ledak rendah, pelaku berlari
ke kelurahan dan menuntut sejumlah orang yang ditahan oleh Densus 88
dibebaskan.
Meskipun aksi pelaku tidak menimbulkan korban dari
pihak masyarakat namun hal ini sangat berbahaya.
Pelaku diketahui adalah residivis kasus pelatihan
bersenjata di Aceh dari jaringan Jamaah Anshar Tauhid (JAT). Dalam organisasi
JAT pelaku diketahui bukan seorang eksekutor lapangan tetapi lebih dikenal
sebagai ideolog atau orang yang ahli dalam pengkaderan/penggalangan.
Ketika pelaku yang dikenal sebagai seorang ideolog
kemudian menjadi pelaku teror maka telah terjadi down grade. Hal ini
menunjukkan adanya adaptasi untuk melakukan aksi secara fleksibel dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. Kemungkinan lain JAT belum menemukan
eksekutor atau pengantin yang siap melakukan aksi, namun pesan untuk
membebaskan teman-temannya yang ditahan Densus 88 dan kebutuhan eksistensi
harus ditunjukkan dengan segera.
Aksi Cicendo ini menarik karena peristiwa yang mirip
pernah terjadi pada tanggal 11 Maret 1981. Pada saat itu dini hari kantor
Kosekta 65 Bandung diserbu oleh 14 orang anggota Jamaah Imran yang
mengakibatkan empat anggota Polri terbunuh. Jamaah Imran melakukan serangan di
Kantor Polisi Cicendo ini untuk membebaskan anggota Jamaan Imran yang ditangkap
anggota Polsek tersebut.
Dari lokasi dan pesan, serta daya pendorong ideologi
yang hampir sama maka aksi Cicendo ini menarik untuk dikaji lebih dalam apakah kejadian
Cicendo 1981 menjadi inspirasi bagi aksi Cicendo 2017.
JAT di Indonesia saat ini diduga dipengaruhi secara
kuat oleh Maman Abdurahman yang sekarang berada di Nusa Kambangan. Jaringan JAT
pimpinan Maman Abdurahman secara ideologis terus diasah lewat kegiatan-kegiatan
dan penyebaran doktrin-doktrin yang disebarkan melalui pengunjung Maman di
lembaga pemasyarakatan.
Pengikut JAT masih cukup banyak kekuatannya menyebar
menjadi sel-sel kecil yang saat ini sedang 'tidur'. Sel-sel ini jika
momentumnya tepat, sumber dayanya ada maka bisa menjadi sumber ancaman serisus.
Aksi yang bertujuan eksistensi cenderung lebih lemah.
Tujuannya memang tidak menghancurkan atau menyerang tetapi menarik perhatian.
Jika banyak orang terutama media masa melakukan pemberitaan atas aksi tersebut
apalagi jika berita hingga mendunia maka aksi tergolong sukses, bahkan supaya
pesan yang disampaikan lebih mengena maka identitas pelaku dan kelompoknya
sengaja ditampilkan supaya mudah diketahui. Motif eksistensi sangat kuat dalam
aksi ini.
Aksi teror akan terus terjadi selama pemikiran radikal
masih ada dalam benak orang. Keinginannya dipaksakan supaya terjadi walaupun
risiko tinggi hingga kematian harus dijalani.
Kelompok-kelompok radikal di Indonesia, walaupun
pemerintah gencar melakukan penanganan, tetap masih ada. Mereka saat ini
menjadi sel-sel tidur yang tersebar di banyak tempat dan bergerak dalam gerakan
perorangan atau kelompok kecil. Ketika momentum untuk melakukan aksi mereka
dapatkan maka aksi akan terjadi.
Terdesaknya ISIS di Suriah dan gencarnya pemerintah
melakukan perlawanan terhadap kelompok radikal berpengaruh terhadap gerakan
kelompok ini. Komunikasi menjadi terbatas karena khawatir jika tersadap,
transaksi keuangan juga hati-hati karena bisa terendus oleh aparat. Dampaknya
kelompok radikal bermigrasi menjadi sel-sel kecil supaya survive dan tidak
terbaca gerakannya oleh aparat keamanan.
Pemerintah dapat mencegah aksi-aksi seperti ini
melalui penguatan intelijen. Operasi intelijen yang dilakukan tidak hanya
melakukan pengawasan melekat terhadap orang yang dicurigai dan berpotensi
menjadi pelaku teror.
Selain itu pemerintah perlu mengawasi aliran dana yang
berasal dari negara-negara yang diduga terdapat kelompok radikal yang
berafiliasi dengan kelompok radikal di Indonesia.
Pencegahan aksi teror paling efektif tentu saja jika
masyarakat mempunyai kesadaran atas bahaya aksi teror. Jika masyarakat bisa
menjadi pendeteksi dini dan pencegah dini atas ancaman teror maka gerak
kelompok radikal akan sangat terbatas dan secara langsung akan mengurangi
peluang aksi teror terjadi.
Sebaliknya jika masyarakat justru memberi peluang
kepada kelompok-kelompok radikal, termasuk bibit-bibit intoleran dan sektarian
untuk tumbuh subur, bahkan dipuja-puja maka jalan tol menuju aksi teror justru
dibangun sendiri oleh masyarakat.
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa ancaman aksi
teror sudah sering terjadi di Indonesia, dan aksi ini kemungkinan terjadi lagi
sangat besar. Bahaya arus balik WNI simpatisan ISIS dari Suriah ada di depan
mata pasca pasukan multinasional melakukan serangan kepada ISIS di Irak dan
Suriah. Jika arus balik ini berkolaborasi dengan kelompok radikal yang eksis di
Indonesia maka kekuatan besar kelompok radikal siap beraksi.
Intelijen dan penanganan terorisme harus dikuatkan.
Tidak perlu orang curiga berlebihan dengan intelijen dan penanganan teror.
Kecurigaan berlebihan justru akan melemahkan pemerintah melakukan deteksi dan
pencegahan dini. (**)
Editor: Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com