Ketidaknetralan ASN dan Pelanggaran Kampanye: Noda Pilkada 2018

Tanggal 14 Apr 2018 - Laporan - 1200 Views
Ilustrasi. Foto: ist

Harianmomentum.com--Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebagai bentuk perwujudan demokrasi dalam era otonomi daerah, secara nyata telah membawa aparatur daerah/ASN pada pusaran pertarungan kekuasaan.

 

Efek kondisi tersebut sangat tidak produktif dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik di daerah. Banyak terjadi penyalahgunaan wewenang jabatan oleh pejabat birokrasi daerah untuk membantu proses pemenangan calon yang didukung.

 

Tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dalam bentuk ketidaknetralan dengan ikut terlibat secara langsung maupun tidak langsung, dapat dijadikan shock therapy yang bisa menimbulkan efek jera bagi ASN di daerah lain, sehingga perlu adanya koordinasi dengan pihak Polri dalam menindaklanjuti ke tahap pelanggaran pidana.

 

Sementara disadari bahwa sosialisasi kepemiluan di pelosok daerah masih sangat kurang, fakta memperlihatkan adanya pemberian dari pasangan calon tertentu yang diasumsikan sebagai bantuan kepada masyarakat. Padahal, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai politik uang.

 

Kasus tersebut merupakan akibat dari ketidakpahaman mereka tentang adanya regulasi yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu. Politik uang sangat berbahaya dalam membangun sebuah proses demokrasi yang bersih karena perannya yang sangat berdampak merusak.

 

Masih ditemukannya keterlibatan sejumlah ASN dan Kades dalam politik praktis, mengindikasikan rendahnya kesadaran ASN dalam mematuhi kode etik dan perundang-undangan yang berlaku.

 

Sementara maraknya kampanye provokatif melalui Sosmed merefleksikan tinggi eskalasi politik di masyarakat dan dikhawatirkan akan berimplikasi pada munculnya segregrasi sosial, bahkan terjadinya ketegangan diametral diantara massa Paslon yang dapat merusak tenun kebangsaan dan kenegaraan.

 

Terkait ketidaknetralan ASN atau PNS di banyak daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak 2018, tampaknya telah membuat jajaran Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi beserta Panwaslu/Panwaskab/Panwaslih termasuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bahkan jajaran Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi seolah-olah “mati kutu” untuk mengatasinya.

 

Bahkan dibilang gagal walaupun dalam taraf pencegahan atau meminimalisirnya, akhirnya ketidaknetralan ASN/PNS terus terjadi di sepanjang massa. Langkah mencegah ketidaknetralan ASN/PNS yang konon sudah disiapkan dua draft Instruksi Presidennya juga tidak jelas kabar juntrungannya.

 

Pelanggaran Kampanye

 

Dalam masa kampanye, ditemukan berbagai masalah hukum yang membuat Pilkada serentak 2018 tidak stabil dan tumbuh tidak sehat.

 

 Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Masalah itu dapat digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok dalam menekan Paslon pada saat sudah memenangkan Pilkada. Budaya yang tidak sehat inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak berkualitas, hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini.

 

Sementara terkait rencana pembekalan bersama oleh KPK bersama Polri, Kejaksaan Agung dan Kemendagri yang akan melakukan pembekalan pencegahan korupsi terhadap 428 pasangan calon kepala daerah di 15 provinsi ditenggarai, karena masih masifnya OTT yang dilakukan KPK terhadap Kepala Daerah maupun Paslon Kepala Daerah.

 

 Sedangkan unjuk rasa untuk menyuarakan kepentingan dan pelanggaran penggunaan tempat ibadah yang dikemas untuk kampanye dan penyebaran konten provokatif masih marak dilakukan, karena dianggap sebagai metode yang paling efektif dan langsung berdampak terhadap simpatisan.

 

Penggunaan tempat ibadah sebagai sarana kampanye menunjukan Paslon masih memanfaatkan komunitas keagamaan untuk mobilisasi dukungan guna mendulang suara, namun demikian sangat mungkin terjadinya eksploitasi isu-isu sektarian bernuansa SARA yang dikhawatirkan menjadi pemicu gesekan massa masing-masing pendukung yang dapat mengarah kepada konflik horizontal.

 

Sedangkan pelanggaran pada saat kampanye di beberapa daerah dengan penggunaan politik uang untuk memenangkan kontestasi maka Pilkada tidak akan menghasilkan para pemimpin daerah terbaik karena tersandera untuk mengembalikan modal ketimbang menjalankan kinerja yang baik kepada masyarakat.

 

Oleh karena itu, rencana pembekalan bersama oleh KPK bersama Polri, Kejaksaan Agung dan Kemendagri terhadap 428 pasangan calon kepala daerah di 15 provinsi diharapkan dapat efektif dalam pencegahan tindakan korupuptif.

 

Terkait laporan dugaan pelanggaran kampanye oleh Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur di wilayah Sumut mengindikasikan tingginya dinamika kontestasi Paslon dalam upaya menarik dukungan dan simpatik masyarakat dengan berbagai cara.

 

Demikian pula fenomena dugaan money politics di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan indikasi black campaign di Kabupaten Merangin, Jambi, cenderung dimanfaatkan oleh masing-masing tim pemenangan Paslon sebagai “alat untuk menyerang” satu sama lain.

 

Kondisi tersebut akan semakin meningkatkan potensi terjadinya gesekan antar massa pendukung yang pada akhirnya dapat mencederai kualitas demokrasi yang bermartabat dalam proses Pilkada serentak 2018. 

 

Kasus-kasus kekerasan dan vandalisme politik diestimasikan akan semakin meningkat menjelang hari-hari pemilihan, hal ini terlihat dengan beberapa indikasi seperti aksi perusakan sarana milik lembaga penyelenggara Pilkada.

 

Ancaman melalui telephone dan pesan SMS terhadap salah satu pengawas di Kabupaten Nagekeo, NTT, juga mewarnai kasus kekerasan dalam pelaksanaan Pilkada 2018, perusakan APK. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya praktik politik menghalalkan segala cara untuk memenangkan Pilkada.

 

Kondisi paradoks muncul ditengah masyarakat seperti ungkapan kekecewaan kalangan aktifis lingkungan atau kekhawatiran menurunnya partisipasi politik masyarakat menggambarkan hajatan politik dinilai tidak equivalen atau kurang dapat menyelesaikan permasalahan masyakarat, atau dengan kata lain Pilkada kurang menghasilkan “direct influence” atas persoalan keseharian masyarakat.

 

 

Penulis:  Johannes Nyoman Oetoro  pengamat masalah reformasi birokrasi.

 

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com