Serukah Duel Politik Dalam Pilpres 2019?

Tanggal 18 Apr 2018 - Laporan - 872 Views
Ilustrasi. Pilpres 2019./net

Harianmomentum.com--Persaingan dan “duel politik” dalam Pilpres 2019 diperkirakan akan semakin memanas, namun bisa saja tensi politik tersebut mereda jika saja figur yang paling banyak mendapatkan prosentase dukungan dalam berbagai survei yaitu Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto dapat bersatu atau maju dalam paket bersama yaitu Joko Widodo-Prabowo Subianto menjadi paket capres dan cawapres dalam kontestasi politik di tahun 2019 mendatang.

 

Apakah memungkinkan menduetkan Joko Widodo dengan Prabowo Subianto? Karena dalam politik dikenal dengan istilah “art and possibility” maka mungkin saja menduetkan kedua tokoh besar tersebut dalam satu paket dalam Pilpres 2019. Jika duet Jokowi-Prabowo dapat direalisasikan, maka hampir dapat dipastikan Pilpres 2019 akan berjalan dengan sangat efisien dan lancar, karena tidak ada figur kuat lainnya yang mampu berhadapan head to head dengan kedua “politisi handal” tersebut.

 

Potret hasil survei

 

Kuatnya nama Jokowi dan Prabowo juga termanifestasikan dalam berbagai hasil survei, walaupun mengalami penurunan keduanya tetap paling ngetop diantara kandidat lainnya. Lembaga Survei Median menyebut elektabilitas dua kandidat calon presiden terkuat di Pemilu 2019 yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengalami penurunan pada Februari 2018. Median mencatat elektabilitas Jokowi menurun dari 36,2 persen dari bulan Oktober 2017 menjadi 35 persen di Februari 2018. Sementara suara Prabowo juga mengalami penurunan dari 23,2 persen dari Oktober 2017 menjadi 21,2 persen di Februari 2018. Turunnya suara kedua sosok itu berpindah ke kandidat capres lain karena menginginkan adanya sosok alternatif. Menurut Median, ada tiga tokoh yang mengalami kenaikan elektabilitas saat suara Jokowi dan Prabowo turun yaitu mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Gubernur Jakarta Anies Baswedan, dan Ketua Tim Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

 

“Gatot Nurmantyo dipilih karena tegas (21,4 persen), berpihak pada umat Islam (14,3 persen), diperlakukan adil dan dipecat mendadak (10,6 persen), bijaksana (7,1 persen), dan memiliki mentalitas menjaga NKRI (7,1 persen). Sementara Anies Baswedan memiliki modal kepribadian baik (18,5 persen), baik kepemimpinannya (13 persen), peduli dan membantu rakyat kecil (11,1 persen), cerdas atau pintar (7,4 persen), dan gagah serta berwibawa (5,6 persen). AHY memiliki modal dipilih karena masih muda (17,9 persen), berasal dari militer (10,7 persen), dipengaruhi sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan ayahnya (7,1 persen), sudah terkenal (3,6 persen), dan dianggap bisa menjaga stabilitas keamanan (3,6 persen),” pungkasnya.

 

Sementara, Lembaga Survei Poltracking Indonesia merilis hasil survei terkait Peta Elektoral Kandidat dan Prediksi Skenario Koalisi Pilpres 2019. Populasi survei tersebut adalah warga negara Indonesia yang sudah punya hak pilih berdasarkan peraturan yang berlaku, yaitu warga minmal berusia 17 tahun atau sudah menikah, dan bukan anggota TNI/Polri. Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan simulasi kandidat capres menunjukkan hanya ada dua figur dengan elektabilitas tertinggi, yaitu Presiden Joko Widodo dan mantan rivalnya saat pemilihan presiden 2014: Prabowo Subianto. Tren dan gap elektabilitas kedua figur tersebut juga tak terlalu beda dengan survei Poltracking sebelumnya (November 2017), yaitu berjarak antara 20-25 persen dengan elektabilitas Prabowo di angka 20-33 persen dan elektabilitas Jokowi di angka 45-57 persen. Dalam simulasi head to head kedua figur tersebut, Jokowi unggul 57,6 persen dibanding Prabowo 33,7 persen.

 

Kemunculan poros ketiga dinilai bisa membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Presiden Joko Widodo, waswas. "Pertarungan bisa lebih panjang, distribusi suara juga bisa terbelah," ujar Direktur Political Communication Institute Heri Budianto saat merilis hasil survei lembaganya tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, di Jakarta, Ahad, 25 Maret 2018. Poros ketiga bahkan berpotensi membuat Pilpres menjadi dua putaran.

 

Pada survei dengan 1200 responden di 34 provinsi pada 18-21 Maret 2018 itu, sebanyak 30,45 persen yakin bahwa poros ketiga akan terbentuk. Sebanyak 20,19 persen menyatakan tidak yakin bahwa poros alternatif itu bisa terbentuk dan 49,63 persen responden menjawab tidak tahu. Survei ini dilakukan dengan tatap muka, sampel dipilih dengan metode acak berjenjang (multistage random sampling) dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2, 73 persen.

 

Meski poros ketiga ramai diperbincangkan, survei menunjukkan publik lebih menginginkan pertarungan diikuti dua calon saja. "Sebanyak 41,15 persen menjawab sebaiknya dua pasang calon," kata Heri. Sedangkan 37,47 persen responden menginginkan ada tiga pasangan calon dalam Pilpres mendatang.

 

Jika pada akhirnya pertarungan hanya mempertemukan dua pasangan calon saja, yakni inkumben Joko Widodo dan rivalnya Prabowo Subianto, kemungkinan menang bekas Wali Kota Solo itu lebih tinggi. Saat ini, elektabilitas Jokowi mencapai 49,08 persen sedangkan Prabowo 29,67 persen.

 

Lain lagi dengan hasil survei Polcomm Institute. Menurut surveinya, Ketua Umum Prabowo Subianto dinilai tidak perlu kembali maju di Pemilihan Presiden 2018. Dalam hasil survei yang digelar Political Communication (Polcomm) Institute, sebanyak 20 persen dari 1.200 responden ingin agar Prabowo tidak mencalonkan lagi. Direktur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto mengatakan persentase tersebut lebih tinggi dibanding responden yang mengidamkan Prabowo maju kembali menantang Presiden Joko Widodo. "Sebesar 20 persen menyatakan tidak perlu maju kembali dan sebanyak 14,58 persen menyatakan maju kembali menantang Jokowi, " kata Heri di Cikini, Jakarta, Minggu (25/3/2018). Menurut responden, kata Heri, Prabowo dan Gerindra sebaiknya mengusung calon presiden dengan latar belakang profesional. Mereka yang menyarankan hal tersebut mencapai 21,43 persen.

 

Kemudian, responden yang menyarankan Prabowo mengusung calon presiden berlatar belakang militer sebesar 19,54 persen, tokoh politik 14,29 persen dan tokoh agama 6,55 persen. Sementara apabila ingin menjadi capres kembali, kata Heri, responden menyarankan Prabowo untuk menggaet calon wakil presiden dari tokoh dengan latar belakang kelompok agama. Responden yang menyarankan hal tersebut mencapai 28,20 persen. Kemudian mereka yang menyarankan Prabowo menggaet tokoh politik sebesar, 17,83 persen, kalangan profesional 15,40 persen, dan militer 15,24 persen.

 

Surveri Polcomm Institute menyebut elektabilitas Prabowo sebesar 29,67 persen. Sementara Jokowi sebesar 49,08 persen. Sementara survei Populi Center bulan lalu menyebut elektabilitas Prabowo sebesar 25,3 persen, masih jauh di bawah Jokowi yang punya elektabilitas 64,3 persen.

 

Indo Barometer kembali merilis skenario untuk Pemilihan Presiden 2019. Dalam survei tersebut terbagi menjadi tiga skenario yaitu yaitu skenario pertama, dua pasangan calon antara Joko Widodo melawan Prabowo Subianto, kemudian skenario kedua dua pasang yaitu Jokowi dan Prabowo bersatu, Skenario ketiga, Jokowi melawan Mr X.

 

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari menilai jika jika Jokowi dipasangkan dengan Prabowo suara yang akan didapat meningkat pesat. Dan dia mengklaim bahwa Pilpres selesai jika mereka benar berpasangan. "Kalau ini terjadi saya bisa katakan Pilpres usai," kata Qodari.

 

Poros di luar Jokowi dan Prabowo

 

Poros baru untuk pencalonan presiden pada pilpres 2019 terus diwacanakan sejumlah kalangan. Kalangan analis politik dan lembaga survei juga mengusulkan adanya poros alternatif sehingga tidak lagi terjadi pengulangan pilpres 2014 pada pilpres 2019. Dalam hal ini, hanya dua capres yang maju, yakni Jokowi versus Prabowo. Itu pun jika Prabowo benar-benar akan maju.

 

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN), Muslim Ayub, mengakui nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih mendominasi di berbagai survei calon presiden. Namun, menurut dia, peluang munculnya nama-nama baru pada pilpres 2019 mendatang masih terbuka, seperti duet Gatot Nurmantyo dan Zulkifli Hasan bisa dipertimbangkan untuk diusung sebagai pasangan capres/cawapres.

 

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya, Malang, Anang Sudjoko, mengatakan, pilpres 2019 sangat memungkinkan munculnya poros baru. Salah satunya adalah yang dimotori oleh Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat ini belum menentukan arah. Akan tetapi, poros alternatif ini belum bisa menandingi koalisi pengusung Presiden Jokowi. Apabila dua partai ini tetap membuat poros baru, mereka harus menggugah kembali kekuatan Koalisi Merah Putih yang loyalis untuk memunculkan kekuatan baru. Bahkan, jika Partai Bulan Bintang turut bergabung ke dalam poros ini bakal memberikan kontribusi yang signifikan secara emosional religius.

 

Politikus PKB, Lukman Edy, mengatakan, terbentuknya poros partai Islam bisa saja terjadi jika partai-partai Islam di luar PPP (yang telah lebih dulu mendukung Jokowi) yang belum menentukan arahnya, seperti PKB, PAN, PKS, dan PBB, dapat bergabung membentuk poros partai Islam. "Ada psikologi emosionalnya yang bisa membuat kesepakatan itu. Walaupun sulit, tapi yang namanya peluang tetap ada," kata Lukman. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai secara proporsional presidential treshold, yaitu syarat pengusungan calon presiden sebesar 20 persen suara nasional, poros Islam bisa dibentuk. Untuk figur yang kemungkinan diusung, Ray memprediksi tokoh yang memiliki peluang adalah Ketua Umum PKB Muhaimim Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB), Afriansyah Ferry Noer, menyambut baik terkait peluang adanya poros Islam tersebut. Menurut dia, poros tersebut dinilai baik dalam memberikan alternatif kepada rakyat untuk memberikan pilihan selain Jokowi dan Prabowo.

 

Walaupun masih bisa berubah karena maneuver politik, deal-deal politik ataupun mediasi politik, berbagai kalangan juga sudah ada yang menarik kesimpulan setidaknya sudah ada peta koalisi yang mengarah kepada tiga poros. Pertama, poros koalisi pendukung Presiden Joko Widodo sebagai petahana. Lima partai politik sudah mendeklarasikan secara resmi dukungan ke Jokowi, yakni PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. PPP dan Partai Golkar baru bergabung ke pemerintah belakangan, setelah kedua parpol tersebut dilanda dualisme kepemimpinan. Jika ditotal, koalisi Jokowi adalah yang paling gemuk dengan mengantongi 290 kursi atau 51,77 persen. Jumlah itu sudah jauh lebih cukup dari syarat ambang batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemilu yang hanya 20 persen kursi DPR.

 

Poros kedua yakni Partai Gerindra dan PKS. Kedua partai politik ini sejak awal pemerintahan Jokowi menyatakan diri sebagai oposisi dan masih konsisten hingga saat ini. Hubungan kedua parpol semakin dekat setelah berkoalisi di sejumlah pemilihan kepala daerah, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berhasil dimenangkan. Pada 8 Maret 2018, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sudah memastikan bahwa Partai Gerindra akan berkoalisi dengan PKS di Pilpres 2019. Pernyataan Fadli diamini oleh Wakil Sekjen PKS Mardani Ali Sera.

 

PKS sendiri sebelumnya sudah mendeklarasikan sembilan tokoh partainya untuk menjadi capres atau cawapres di 2019.

 

Para bakal capres/cawapres jagoan PKS itu ialah Hidayat Nur Wahid, Ahmad Heryawan, Irwan Prayitno, Salim Segaf Aljufri, Sohibul Iman, Anis Matta, Tifatul Sembiring, dan Al Muzamil Yusuf dan Mardani Ali Sera. Mardani berharap, salah satu dari sembilan nama itu bisa menjadi cawapres bagi Prabowo.

Saat ini Partai Gerindra memiliki 73 kursi dan PKS memiliki 40 kursi di parlemen. Dengan total 113 kursi, maka Prabowo telah mengantongi 20,17 persen atau memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden.

 

Poros ketiga kemungkinan terdiri dari Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Dua partai yang disebut terakhir sebenarnya saat ini adalah pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. PKB yang mendukung Jokowi-JK sejak Pilpres 2014 memiliki tiga kader di kabinet kerja. Sementara PAN yang bergabung belakangan punya satu kader di kabinet. Namun, kedua parpol ini sama-sama belum mendeklarasikan dukungan ke Jokowi untuk Pilpres 2019. Bahkan, PAN kerap kali mengambil kebijakan yang berseberangan dengan pemerintah. Kedua parpol ini juga sama-sama berambisi mengusung ketua umumnya sebagai capres atau cawapres. Sementara, Partai Demokrat sejak awal pemerintahan Jokowi-JK, menempatkan diri sebagai partai penyeimbang. Belakangan, partai berlambang mercy ini gencar menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai capres 2019. Apabila digabungkan, ketiga partai ini memiliki 27,85 persen kursi di DPR.

 

Prediksi adanya poros-poros ini bisa berlanjut atau kandas, tergantung Sikon politik mendatang, apalagi menurut Jeffrey A. Winters (2011) menyebut terjadi pergeseran pola oligarki pasca-Orde Baru, yang sebelumnya bersifat sultanistik dengan sosok sentral Presiden Soeharto, menjadi penguasaan kolektif. Relasi yang dibentuk adalah memanfaatkan patronase yang menyebar, koalisi yang cair, dan sekaligus saling bersaing.

 

Faktor-faktor menentukan

 

Hasil survei apalagi yang dilakukan secara kredibel dalam artian independen,

metodologi penelitian/surveinya benar dan jelas terkait anggaran untuk melaksanakan

survei, akan sangat bermanfaat untuk memetakan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan persaingan politik yang akan terjadi. Namun, selain hasil survei ada beberapa faktor lainnya yang menentukan kemenangan dalam Pilpres.

 

Faktor pertama adalah elektabilitas capres dan cawapres yang diusung. Elektabilitas menurut Donald Stokes (1963) merujuk pada kekuatan atomik calon dalam menarik dukungan (karisma, popularitas atau reputasi bersih dari korupsi). Indikator ini harus menjadi pegangan penting bagi Parpol atau koalisi Parpol untuk menentukan capres dan cawapres agar bersih dari praktik korupsi, karena kita sebagai masyarakat tidak ingin sejarah nasional kita pernah dicatat ada Presiden atau Wapres yang terkena “OTT” oleh KPK.

 

Kedua, faktor kedua yaitu dukungan pasangan capres-cawapres dari kalangan Parpol baru. Hal ini penting, walaupun mereka masih baru namun memiliki basis massa buktinya lolos dalam verifikasi yang dilakukan KPU RI. Perindo merupakan partai yang baru didirikan pada 7 Februari 2015 yang lalu oleh pengusaha MNC Group yang juga menjabat sebagai ketua umum, Hary Tanoesoedibjo. Sebagai partai baru Perindo memang terhitung cukup populer di antara keempat partai baru yang ada. Menurut survei yang dilakukan oleh lembaga Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dilakukan pada 23-30 Agustus 2017, popularitas Perindo berada di urutan keenam dengan persentase 81,5 persen, mengungguli PSI di posisi 15 dengan 11,5 persen, dan dua partai lainnya. Perindo memang terbantu dengan pengenalan dari TV yang mendongkrak popularitas mereka. Belum lagi, Perindo juga aktif dalam mendorong kegiatan ekonomi masyarakat bawah seperti usaha mikro, kecil, menengah (UMKM).

 

Selanjutnya ada Partai Solidaritas Indonesi (PSI). Partai ini didirikan 16 November 2014 yang diketuai mantan presenter berita, Grace Natalie. PSI cukup beda dibandingkan dengan parpol-parpol lain. Partai ini ingin menampilkan ciri dekat dengan anak muda dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan yang mencapai 66 persen. Parpol yang identik dengan warna merah ini juga menerima orang baru di dunia politik. PSI dianggap dapat mewakili generasi millenial yang ingin berpolitik. Hal ini dibuktikan dengan Tsara Amany, mahasisiwi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, yang duduk di jajaran elite Ketua DPP PSI, yang mana hal tersebut Tampaknya akan sulit ditemukan dalam partai lain, yang sekaligus menjadi nilai plus PSI di hadapan anak muda zaman now.

 

Partai Berkarya didirikan pada 15 Juli 2016, dipimpin oleh Neneng A. Tutty, seorang politikus yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasional Republik (NASREP) sebelum pada akhirnya melebur menjadi Partai Berkarya pada Oktober 2016. Putra Presiden ke-2 RI Soeharto, Tommy Soeharto menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi dan Dewan Pembina Partai Berkarya. Partai ini memiliki logo dan warna dominan kuning seperti Partai Golkar. Ada partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) yang didirikan pada 16 april 2015. Posisi ketua umum diisi Ahmad Ridha Sabana yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Setelah resmi menjadi partai peserta Pemilu 2019, Garuda pastinya harus bekerja keras untuk meraih suara rakyat, karena partai ini boleh dikatakan kalah populer dibandingkan tiga partai baru yang lain. Terakhir ada PKPI yang dikomandani mantan Kepala BIN, Prof. DR. AM Hendropriyono, SH, MH, MBA.

 

Faktor ketiga yaitu kekuatan media massa dan keberhasilan “menggalang” media massa. Saat ini, media yang paling elit di Indonesia adalah media cetak yang mencapai 1.324 terdiri dari 694 tabloid dan majalah dan 630 harian atau mingguan. Total sirkulasinya sekitar 23,3 juta dengan 9,4 juta eksemplar surat kabat harian untuk 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers 2012-2013). Penetrasi internet di beberapa negara yaitu Singapura 77,2% dari 3,6 juta orang, Jerman 82,7% (67,7 juta orang), Taiwan 70% (16,1 juta orang), Malaysia 61,7% (17,7 juta orang), China 38,4% (513 juta orang), Philipina 33% (33,6 juta orang), Thailand 27,4% (18,3 juta orang), Indonesia 22,4% (55 juta orang). Mayoritas stasiun TV swasta yang sekitar 200 dari 300 stasiun dikuasai oleh 10 televisi Jakarta/nasional berdasarkan rating Nielsen.  Terdapat sekitar 1178 stasiun radio dengan 775 radio komersial anggota PRSSNI, sisanya adalah radio publik lokal, radio komunitas dan radio komersial non PRRSNI, serta 77 stasiun RRI.

 

Kekuatan media massa ini digambarkan oleh Malcolm X dengan pernyataan bahwa “the media’s the most powerfull entity on earth.  They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power.  Because they control the minds of the masses”. 

 

Sedangkan, hipotesis Mutz & Reeves (2005) tentang media massa dan kepentingan politik setidaknya menjelaskan bahwa penggambaran politik di media massa memiliki kecenderungan untuk menyederhanakan, kecenderungan untuk menyalahkan pihak tertentu, menempatkan politik selalu negatif, maupun sebaliknya.

 

Menurut Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Kedua, level rutinitas media. Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Rutinitas media juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketiga, level organiasasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu. Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi kasus pemberitaan media. Diantaranya sumber berita, sumber penghasilan, pemerintah dan lingkungan bisnis. Kelima, level ideologi. Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Pada level ini akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.

 

Keempat, kecerdasan dalam mengelola isu-isu politik dan membuat janji-janji politik yang bukan bersifat “populisme peyoratif” Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Firmanzah (2011) dalam bukunya Mengelola Partai Politik menyebut inovasi politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai temuan atau perbaikan atas isu-isu atau program kerja politik yang disesuaikan dengan setiap perubahan yang ada dalam masyarakat. Mengelola isu politik secara baik, benar dan beradab akan dapat mencegah penguasa bermental buruk ataupun keruhnya demokrasi, sebab demokrasi bukan mengenai memilih yang terbaik, melainkan mengenai mencegah yang paling buruk berkuasa (Franz Magnis Soeseno dalam buku Iman dan Hati Nurani, 2004).

 

Faktor terakhir adalah mengelola dinamika Parpol agar tidak terjebak penyakit kronis elitis dan mengalami konflik internal. Robert Michels (1912) bahwa partai politik nyaris tidak ada yang mampu keluar dari penyakit kronis elitis. Elite politik akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal partai politik. Kalangan fungsionaris dan kader Parpol harus ingat dengan pesan yang berbunyi “Concordia parvae res crescunt discordia maximae dilabuntur (persatuan memperkuat yang kecil, pertikaian mencerai-beraikan yang besar). Tapi konon banyak Parpol yang hanya solid di tingkat DPPnya namun mengalami konflik internal yang berkepanjangan. Setidaknya hanya Parpol baru yang belum terdengar mengalami konflik internal, sedangkan Parpol lama termasuk beberapa Parpol yang saat ini mewarnai peta politik di Indonesia justru sedang dilanda konflik internal, setidaknya terlihat dalam dinamika menyongsong Pilkada 2018.

 

Konflik internal yang melanda sejumlah Parpol menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 dapat dianalisis dari banyak teori. Pertama, social identification theory. Menurut teori ini, konflik internal secara umum dipahami sebagai hubungan yang muncul antara dua pihak atau lebih yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Keadaan ini diindikasikan dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat disinergiskan yang kemudian membawa pada fenomena pertikaian secara terus menerus. Tajfel dan Turner (dalam Brown & Gaertner, 2003) berpendapat bahwa anggota kelompok yang memiliki status rendah dapat berusaha meninggalkan kelompok mereka dengan maksud memperoleh status outgroup yang lebih tinggi, atau berusaha meningkatkan perbandingan status dari disadvantaged ingroup.

 

Kedua, system justification theory. Terbelahnya Parpol yang menghadapi konflik internal menjadi dua kepengurusan nampak terlihat di masing-masing kubu saling mengklaim dengan saling menjustifiksi. Jost & Banaji (2004) menjelaskan bahwa System Justification Theory adalah sebagai upaya merasionalisasi terhadap system yang sudah ada, sedangkan dinamika kelompok inferior ditandai dengan adanya upaya untuk meningkatkan status yang bisa menimbulkan ketidakcocokan sehingga lebih memilih menjustifikasi system dan adanya keyakinan bahwa keadilan akan dapat dicapai.

 

Ketiga, prasangka. Selain itu, konflik yang melibatkan massa simpatisan di masing-masing kubu adalah karena adanya prasangka yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan persepsi dan tidak adanya kehendak bersama, sehingga yang terjadi adalah saling berkompetisi untuk mengklaim kepengurusan mana yang sah, dan adanya indikasi untuk saling mendominasi dalam tubuh partai yang berkonflik. Brown (1995) mengartikan prasangka sebagai suatu bentuk dukungan untuk menghina sikap sosial atau keyakinan secara kognitif, ekspresi dari pengaruh negatif, atau tampilan kekerasan dan perilaku mendiskriminasi anggota kelompok. Sikap, kepercayaan, pengaruh, atau perilaku seseorang menunjukkan sudah sejauh mana prasangka antar kelompoknya yang hanya menerima satu jenis informasi tentang orang lain, yaitu keanggotaannya dalam kelompok.

 

Keempat, social dominance theory. Konflik yang membelah PKB menjadi in-group dan out-group cenderung berkembang ke dalam bentuk kekerasan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai aksi atau sikap terstruktur sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan secara fisik, mental, dan sosial. Menurut teori dominasi sosial (dalam Sidanius dkk, 2004) kelompok cenderung untuk mendiskriminasi orang berdasarkan ideologi sosial yang ada dalam status kelompoknya, dimana kelompok yang lebih kuat cenderung bertingkah untuk kepentingan mereka sendiri dan berupaya untuk mendiskriminasi kelompok lemah.

 

Kelima, procedural justice theory. Faturochman (1999) menjelaskan bahwa keadilan prosedural terkait dengan berbagai proses dan perlakuan terhadap orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Untuk mencapai keadilan prosedural, Minton dkk. 1994 (dalam Faturochman, 1999) mengajukan tiga syarat pokok yang harus dipenuhi. Pertama, dalam prosedur tersebut terjadi proses pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa orang, bukan tunggal. Di samping itu, beberapa orang yang terlibat di dalamnya akan saling menukar informasi sehingga pendapat dan keputusan yang muncul lebih akurat. Kedua, tim pengambil keputusan memiliki kekuatan yang merata di antara para anggotanya. Ketiga, setiap anggota tim yang terlibat pengambilan keputusan harus berkesempatan mendapatkan masukan yang sama.

 

Kemungkinan skenario Pilpres 2019

 

Dalam ilmu politik, ilmu strategi ataupun kajian strategis, setidaknya dikenal adanya 3 (tiga) skenario yaitu : pertama, skenario pesimis. Jika skenario ini terjadi, maka vacuum of power  akan terjadi di Indonesia. Indikasi dari terealisasinya skenario ini antara lain konflik internal Parpol terus berlanjut, Pilkada 2018 tidak aman dan tertunda, padahal banyak pihak menyakini hasil Pilkada 2018 adalah salah satu gambaran hasil Pilpres 2019 dan munculnya banyak poros-poros politik yang saling tidak mau bekerjasama ataupun berkomunikasi untuk menghentikan konflik-konflik politik yang muncul. Presiden tidak ada yang terpilih.

 

Kedua, skenario optimis. Skenario ini terjadi jika Pilkada 2018 di 171 daerah berjalan dengan aman, lancar dan tidak tertunda. Disamping itu, tahapan-tahapan Pilpres 2019 tidak mengalami gangguan dan hambatan yang cukup berarti. Kedewasaan berpolitik elit, massa dan Parpol semakin membaik dengan menyelesaikan semua masalah dan ketegangan melalui musyawarah dan mediasi. Terpilihnya presiden yang didukung semua orang, serta jalannya Pilpres 2019 secara efektif dan efisien.

 

Ketiga, skenario transformatif. Skenario ini terjadi dengan indikasi yang paling kuat jika semua kepentingan dan kelompok politik berhasil menyandingkan atau menduetkan Joko Widodo-Prabowo Subianto sebagai capres dan cawapres periode 2019 s.d 2024. Untuk menciptakan skenario ini, sejauh ini masih banyak kendala-kendalanya seperti banyaknya “pemain politik” yang merasa dirugikan jika kedua tokoh besar ini maju dalam satu paket pencalonan kepresidenan; banyak pihak belum menyadari sisi baik bersatu/berduetnya Jokowi-Prabowo dalam Pilpres baik kemajuan bangsa dan negara ini ke depan serta last but not least banyak prominent figure ataupun nama-nama besar lainnya yang berdasarkan hasil survei berpotensi menjadi “capres” dan ‘cawapres” yang tidak mau melepaskan kesempatan emasnya, sehingga secara tidak langsung mereka lupa dengan pendapat Manuel L Quezon, “My loyalty to my party ends when my loyalty to mycountry begins”. Jika berhasil memasangkan Jokowi-Prabowo Subianto dalam satu paket, memang Pilpres 2019 tidak berlangsung seru namun hal tersebut baik bagi bangsa ini ke depan. Semoga.


Penulis: Toni Ervianto, konsultan politik dan bisnis. Alumnus FISIP Universitas Jember (Unej), Jawa Timur dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com