Harianmomentum.com--Tinggal beberapa bulan
lagi waktu yang tersisa bagi partai politik untuk mengusung capres dan
cawapresnya sebagai syarat bertanding pada Pilpres 2019.
Joko Widodo sudah
memastikan diri untuk maju pada Pilpres 2019. Tidak hanya klaim personal, namun
Joko Widodo sebagai petahana didukung oleh koalisi partai yang cukup kuat yaitu
PDIP (109 kursi), Golkar (91 kursi), PPP (39 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura
(16 kursi), dengan total 290 atau 51,8 persen total kursi di DPR.
Joko Widodo yang maju
dengan percaya diri tidak diimbangi oleh munculnya penantang yang sepadan
kekuatannya. Prabowo Subianto adalah salah satu penantang Joko Widodo yang
sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pilpres 2019. Deklarasi yang mundur
beberapa kali ini membuktikan sulitnya Prabowo untuk membentuk koalisi.
Kepastian Prabowo untuk menerima mandat dari Partai Gerindra, yang mempunyai 73
kursi di Senayan, didukung oleh PKS dengan kepemilikan 40 kursi. Total kekuatan
untuk mendukung mandat bagi Prabowo dalam Pilpres 2019 adalah 113 kursi atau
20,2 persen dari total kursi di DPR.
Koalisi minimalis yang
memberikan mandat kepada Prabowo Subianto ini masih terlihat lemah sebagai
penantang Joko Widodo. Platform sebagai kubu koalisi pemerintah belum terlalu
kuat untuk menggalang massa melawan kubu Joko Widodo, yang secara koalisi lebih
lengkap mewakili keragaman Indonesia. Faktor lain yang menjadi alasan lemahnya
kekuatan koalisi minimalis pengusung Prabowo adalah adanya permasalahan di
internal PKS, yang tentu akan berpengaruh terhadap maksimalnya kinerja mesin
partai dalam mendukung calon yang diusung.
Penantang Joko Widodo
lainnya, yang menyatakan siap untuk maju pada Pilpres, adalah Gatot Nurmantyo.
Pensiunan Jendral TNI, dengan jabatan terakhirnya adalah Panglima TNI, dalam
berbagai kesempatan menyatakan siap untuk maju sebagai Capres pada Pilpres
2019. Namun keinginan Gatot Nurmantyo tersebut masih sulit untuk diwujudkan.
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satupun partai politik pemilik kursi di
Senayan yang secara resmi akan mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres maupun
cawapres.
Anies Baswedan,
Gubernur DKI saat ini, disebut oleh banyak pihak sebagai salah satu orang yang
mempunyai kesempatan untuk melawan Joko Widodo pada Pilpres 2018. Kekuatan
Anies sebagai Gubernur DKI, merupakan penguasan daerah strategis di
jantung politik Indonesia. Prediksi bahwa Anies akan menjadi salah satu lawan
Joko Widodo dalam Pilpres 2019 cukup masuk akal, mengingat sudah terjadi
propaganda-propaganda terkait peluang bagi Anies untuk maju dalam Pilpres 2019.
Namun permasalahan Anies Baswedan adalah sama dengan Gatot Nurmantyo, yaitu
belum ada satu pun partai politik yang mau mengusungnya.
Kabar burung yang
akhirnya beredar mengabarkan bahwa Gatot Nurmantyo akan menggunakan perahu
Gerindra dan koalisinya sebagai kendaraan menuju Pilpres 2019. Namun tentut
saja kabar ini belum bisa dipastikan kebenarannya mengingat belum ada penyataan
resmi dari Gerindra dan koalisinya termasuk dari Gatot Nurmantyo dan Prabowo
Subianto yang diperkirakan akan menjadi king maker.
Berbagai pertemuan
tokoh politik yang menjadi perbincangan dan sorotan publik seperti antara Gatot
Nurmantyo dengan Prabowo Subianto, Luhut B Panjaitan dengan Prabowo Subianto,
maupun antara Sandiaga Uno dengan Romahurmuziy, menunjukkan betapa rumitnya
untuk membangun koalisi politik penantang Joko Widodo. Bahkan
pertemuan-pertemuan seperti inilah yang akhirnya menimbulkan persepsi akan
muncul koalisi miring antara Joko Widodo-Prabowo Subianto. Persepsi ini
muncul, sekali lagi, sebagai bukti bahwa penantang Joko Widodo mempunyai
kekuatan yang lemah.
Joko Widodo memang
masih terlalu kuat untuk dilawan pada Pilpres 2019. Berbagai survei menunjukkan
elektabilitas Joko Widodo masih sangat tinggi. Kelompok oposisi yang gagal
menaikkan angka elektabilitasnya akhirnya terpaksa menggunakan cara lain dengan
menurunkan elektabilitas Joko Widodo. Cara untuk menurunkan elektabilitas Joko
Widodo adalah dengan melakukan propaganda, memengaruhi persepsi masyarakat
dengan menyebarkan berita atau kabar tertentu yang negatif tentang Joko Widodo
dan pemerintah. Materi propaganda yang disebarkan ini berkaitan hal-hal yang
menjadi titik lemah Joko Widodo seperti isu-isu ketidakberpihakan Joko Widodo
dan pemerintah terhadap kelompok mayoritas, isu tenaga kerja asing, isu hutang
negara, dan isu-isu lain, bahkan ditemukan propaganda untuk melemahkan
Joko Widodo dalam framming agama.
Hingga saat ini, para
penantang Joko Widodo, yang sudah resmi dengan dukungan partai, maupun yang
hanya sekedar mengajukan diri, belum menunjukkan program-program unggulan untuk
menggalang dukungan dari masyarakat. Belum siapnya partai pengusung dan program
kerja yang akan dijadikan daya tarik utama tersebut semakin jelas menunjukkan
bahwa para penantang tersebut masih terlalu lemah untuk menjadi lawan tanding
Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Kekuatan Joko Widodo
sebagai petahana yang memiliki koalisi kuat, memang tidak terbantahkan, dan
pasti disadari oleh lawan-lawan politik Joko Widodo. Akhirnya lawan politik
tersebut mencoba melemahkan kekuatan Joko Widodo dengan segala cara. Hal inilah
yang akhirnya membuyarkan fokus perhatian kelompok oposisi, yang seharusnya
membangun koalisisi dan menyiapkan program kerja, tetapi justru sibuk melakukan
manuver-manuver yang tujuannya adalah melemahkan elektabilitas Joko Widodo.
Sebagai kubu petahana
yang cukup kuat, Joko Widodo dan tim suksesnya tidak boleh jumawa dan takabur.
Berbagai isu sensitif akan diarahkan kepada Joko Widodo untuk menggerus
kekuatan politiknya. Meskipun lawannya secara aturan kursi masih lemah, namun
tim sukses dari kubu penantang adalah tim-tim militan.
Joko Widodo perlu
menguatkan tim suksesnya agar mampu menangkal dan melakukan kontra atas
serangan-serangan terhadap dirinya. Kemampuan kontra-propaganda mutlak dimiliki
oleh tim sukses Joko Widodo agar tidak menjadi bulan-bulanan kelompok opisisi.
Meskipun lemah namun kelompok oposisi ini cukup militan. Lemahnya kekuatan
penantang Joko Widodo harus tetap dihadapi dengan kewaspadaan dan kesiapan yang
cukup tinggi. (*)
Penulis: Stanislaus
Riyanta, pengamat intelijen, saat ini sedang studi Doktoral di bidang
kebijakan, di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com