Menunggu Poros Ketiga

Tanggal 30 Apr 2018 - Laporan - 767 Views
Tiga Poros Pilpres 2019.

Harianmomentum.com--Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika kekuatan politik di Indonesia saat ini terdiri dari tiga poros besar. Poros pertama dengan pemegang komando Megawati Soekarnoputri, poros kedua yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, dan poros ketiga di bawah Susilo Bambang Yudhoyono. Kelompok politik lainnya cenderung menjadi pengikut atau anggota dari poros politik yang sudah ada.

 

Menjelang Pilpres 2019, koalisi politik semakin mengkristal. Koalisi politik untuk mengusung capres dan cawapres ini sesuai dengan komposisi poros politik tersebut di atas. Poros pertama mengusung Joko Widodo sebagai Capres terdiri dari koalisi PDIP (109 kursi), Golkar (91 kursi), PPP (39 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dengan total 290 kursi atau 51,8 persen. Poros kedua yang memberikan mandat kepada Prabowo Subianto untuk keputusan Capres-Cawapres terdiri dari koalisi dua partai yaitu Gerindra (73 kursi) dan PKS (40 kursi) dengan total 113 kursi atau 20,2 persen dari total kursi di DPR.

 

Sisa kursi yang belum menentukan koalisi pengusung capres-cawapres dimiliki oleh tiga partai yaitu Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi) dan PKB (47 kursi) dengan total 28 persen dari jumlah kursi di DPR. Ketiga partai ini belum menentukan akan bergabung dengan poros pertama atau kedua, namun juga masih malu-malu untuk mengatakan membentuk poros ketiga.

 

Tokoh kuat dari ketiga partai yang belum menentukan sikap dalam Pilpres 2019 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Mantan Presiden Indonesia dua periode ini, seandainya akhirnya nanti membentuk poros ketiga, diduga kuat akan mengajukan puteranya sendiri yaitu Agus Harimurti Yudhoyono untuk maju dalam Pilpres.

 

Agus Harimurti akan lebih diuntungkan secara politik jika maju sendiri dalam poros ketiga atau bergabung dengan Joko Widodo dalam poros pertama. Pilihan untuk bergabung dengan poros kedua kurang menguntungkan secara politik bagi Agus Harimurti mengingat pada poros kedua ini Prabowo Subianto yang berlatar belakang militer menjadi ujung tombak, yang tentu saja jika maju menjadi capres akan memilih pasangan dengan latar belakang non militer.

 

Berdasarkan hitung-hitungan politik, hanya ada dua pilihan bagi Demokrat, PAN dan PKB. Pilihan pertama adalah bergabung dengan poros yang sudah ada (pertama atau kedua), artinya maksimal kader internal partainya hanya mendapatkan posisi sebagai cawapres. Pilihan kedua adalah membentuk poros sendiri yaitu poros ketiga dan melakukan bargaining antar tiga partai tersebut siapa yang menjadi capres dan cawapres.

 

Dua partai lainnya PAN dan PKB tentu akan bersaing untuk mendapatkan kursi cawapres jika nanti bersama-sama dengan Demokrat sepakat untuk membentu poros ketiga. Muhaimin Iskandar yang sudah melakukan promosi untuk menjadi cawapres, bisa memanfaatkan peluang ini jika nanti Joko Widodo atau Prabowo Subianto ternyata memilih calon lain. Jika ini terjadi tentu PAN akan menerima konsekuensi atau manfaat politik lainnya.

 

Dari analisis di atas bisa diperkirakan hanya ada dua skenario koalisis dalam Pilpres 2019. Skenario pertama adalah Pilpres 2018 akan diikuti oleh dua pasang calon, pasangan pertama adalah capres Joko Widodo dan cawapres yang akan diumumkan kemudian. Pasangan kedua adalah capres Prabowo Subianto atau orang yang ditunjuk dan cawapres akan diumumkan kemudian. Partai Demokrat, PAN dan PKB akan melebur dalam dua kubu pengusung tersebut.

 

Skenario kedua adalah Pilpres 2018 akan diikuti oleh tiga pasangan calon, dua pasang calon seperti pada skenario pertama ditambah dengan pasangan calon ketiga yang berasal dari Demokrat, PAN, dan PKB dengan kemungkinan kuat capres-cawapresnya adalah Agus Harimurti Yudhoyono dengan Muhaimin Iskandar. Dalam kondisi luar biasa, pasangan calon poros ketiga ini bisa saja adalah orang baru, seperti Gatot Nurmantyo dengan cawapres dari sipil. Hal ini bisa terjadi jika ada kompromi politik yang disepakati oleh Demokrat, PAN, PKB yang tentu saja tidak gampang dan memerlukan kekuatan yang besar untuk mewujdukannya.

 

Munculnya poros ketiga tidak perlu dijadikan ancaman atau hambatan dalam demokrasi di Indonesia. Selama aturan dan perundangannya masih memungkinkan, munculnya poros ketiga ini patut didukung. Poros ketiga juga menunjukkan bahwa ada kaderisasi dalam sistem politik di Indonesia. Manfaat lain dari munculnya poros ketiga dalam Pilpres 2019 adalah memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden.

 

Faktor lain yang menjadi pendorong pentingnya poros ketiga dalam Pilpres 2019 adalah mengurangi polarisasi politik yang bisa merambah ke kehidupan masyarakat sehari-hari. Pengalaman Pilkada DKI 2017 yang mengakibatkan polarisasi sangat kuat di masyarakat tidak perlu terjadi lagi pada Pilpres 2019 karena dampaknya akan lebih besar dalam skala nasional. Dengan berbagai kalkulasi dan pertimbangan tersebut tentu saja poros ketiga ini layak ditunggu. Oleh: Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com