Harianmomewntum.com--Keberadaan Medsos tampaknya
dimanfaatkan untuk memenangkan pasangan calon (Paslon) yang
diusungnya. Namun tidak sedikit penggunaan Medsos dimanfaatkan untuk
mendiskreditkan Paslon lain yang dikhawatirkan dapat menimbulkan bentrokan
antar massa pendukung yang dapat mengganggu maupun membatalkan pelaksanaan
Pilkada serantak 2018, serta terkait Pemilu dan Pilpres 2019.Sementara
keberpihakan media massa dan maraknya kampanye provokatif melalui Medsos
merefleksikan tingginya eskalasi politik di masyarakat yang dikhawatirkan akan
berimplikasi pada munculnya segregrasi sosial.
Para pendukung Paslon, seperti Tim pemenangan Paslon, Parpol pengusung dan
pendukung juga memanfaatkan masa kampanye dengan melakukan berbagai kegiatan.
Parpol pendukung menggerakkan instrumennya di masyarakat, diharapkan dengan
bergeraknya mesin politik akan meningkatkan elektabilitas Paslon yang
diusungnya. Dalam pelaksanaan kampanye Tim pendukung senada dengan para Paslon
dengan menyampaikan janji-janji yang menjadikan masyarakat senang.
Selain menggerakkan mesin politik, para pendukung Paslon juga memanfaatkan
basis massa di Pondok Pesantren untuk menarik dukungan guna
memenangkan Paslonnya. Hal ini wajar asal tidak berkembang
memanfaatkan isu agama untuk kepentingan politik Pilkada yang rawan menimbulkan
konflik yang bernuansa SARA.
Sementara itu, pada masa kampanye ini, masih marak munculnya
penyebaran konten yang
bernada provokatif di media sosial. Hal ini rawan
menimbulkan rasa kebencian antar pendukung Paslon, sehingga dapat memicu
perpecahan dan konflik antar pendukung Paslon, bahkan mengurangi hasrat
masyarakat mengikuti Pilkada.
Pemanfaatan isu kedaerahan oleh salah satu Cagub/Cawagub Bali dan kampanye
provokatif yang disampaikan oleh salah satu Cawabup Bolaang Mongondow Utara
saat berkampanye, serta dugaan permintaan gratifikasi oleh Cabup di
NTB merupakan salah satu bukti bahwa Paslon Peserta Pilkada Serentak 2018
belum dapat memberikan kontribusi positif bagi pendidikan politik masyarakat.
Disamping itu, adanya politisasi program Pemerintah yang digunakan untuk kampanye
Paslon tertentu, berpotensi menimbulkan sengketa Pilkada pada masa mendatang,
dikarenakan Pemerintah dan segala elemennya diwajibkan bersifat netral selama
penyelenggaraan Pilkada. Selain itu, politisasi tersebut membuat hasil Pilkada
dan kepala daerah terpilih mendapatkan delegitimasi, karena terpilih tidak
berdasarkan proses pemilihan yang jujur, adil dan transparan.
Unjuk rasa
Aksi unjuk rasa di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sebagai
bentuk kepedulian masyarakat terhadap adanya permainan money
politics di wilayah tersebut, sehingga perlu dilakukan pengawasan secara
maksimal oleh Panwaslu agar penyelenggaraan Pilkada dapat berlangsung dengan
baik. Bentrokan dalam aksi unjuk rasa antar pendukung Paslon seperti yang
terjadi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, merupakan bentuk euforia
dukungan yang berlebihan sehingga memunculkan sentimen negatif diantara
masyarakat yang memiliki dukungan berbeda.
Sementara, dukungan elemen masyarakat dengan menggelar aksi unjuk rasa dan
kegiatan sosialisasi merupakan bentuk partisipasi kepedulian publik agar
pelaksanaan Pilkada berlangsung secara demokratis, jurdil dan
damai. Sementara munculnya reaksi mahasiswa atas peningkatan konstelasi
politik di Kota Bandung, Jabar dan Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara,
perlu direspon positif oleh seluruh stakeholders penyelenggara dengan
mengedepankan profesionalisme dan netralitas dalam penyelenggaraan Pilkada 2018
maupun Pemilu 2019.
Munculnya aksi-aksi unjuk rasa yang diarahkan kepada penyelenggara Pilkada
(jajaran KPU dan Bawaslu) dan institusi penegak hukum, seperti di Kota
Palangkaraya Kalimantan Tengah, Kota Medan, Sumatera Utara, serta Gorontalo
dengan berbagai isu, selain sebagai bentuk pressure terhadap
pihak-pihak terkait yang terindikasi ditunggangi kelompok kepentingan pendukung
Paslon tertentu, juga berpotensi digunakan sebagai dasar melakukan gugatan
sengketa hasil Pilkada.
Begitu pula aksi unjuk rasa di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo mendesak
Kejaksaan atas proses hukum atas dugaan
pelanggaran oleh petahana terkait bantuan Rastra dan Kartu Sejahtera.
Pengungkapan kasus korupsi pada massa Pilkada dinilai efektif untuk menjatuhkan
elektabilitas calon petahana, sehingga aparat penegak hukum perlu bersikap
tegas dan profesional adanya keberpihakan.
Aksi unjuk rasa pendukung untuk membatalkan pencalonan Paslon lainnya dalam
Pilwakot Palembang dilatarbelakangi oleh adanya dugaan adanya manipulasi
identitas penggunaan KTP ganda Paslon Sarimuda-Rojak. Hal
tersebut cenderung sebagai upaya untuk menurunkan elektabilitas Paslon yang
dapat memicu konflik antar pendukung. Namun Panwaslu perlu merespos atas isu
tersebut agar isu tidak berkembang dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik
Pilkada.
Kegiatan aksi unjuk rasa yang dilakukan elemen Aliansi Pemerhati Demokrasi
Pinrang, Sulawesi Selatan menunjukkan kepeduliannya terhadap adanya
permainan politik uang di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, aksi tersebut dapat
menjadi bahan referensi bagi penyelenggara Pilkada agar terus mengawasi
adanya money politics yang dapat merusak citra Pilkada yang jujur,
adil, dan bersih. Aksi unjuk rasa beberapa elemen masyarakat yang
berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada, hingga saat ini masih dalam
tahap kewajaran guna menyuarakan tuntutan dan aspirasinya yang dinilai
merugikan kelompoknya. (
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com