Harianmomentum.com--Masa depan pluralisme, multikulturalisme dan sikap
kenegaraan bahkan eksistensi ideologi Pancasila akan berada dalam wilayah yang
berbahaya, jika eksistensi Ormas radikal dan ajaran “sesat” yang dipromosikan
oleh mereka akan terus berjalan.
Tanpa masyarakat sadari bahwa ternyata beberapa Ormas berideologi radikal
dan tidak sesuai dengan Pancasila semakin meluas dan berkembang pengaruhnya di
kalangan masyarakat. Ada Ormas yang mengusung khilafah Islamiyah ini masih
intens melakukan pertemuan dan konsolidasi di beberapa daerah membahas masalah
kekinian.
Kelompok Ormas radikal sejauh ini dalam rangka memperluas pengaruh dan
eksistensinya terus melakukan kegiatan dakwah dan kemasyarakatan walaupun
banyak yang dilakukan secara tertutup atau terbatas, seperti dalam berbagai
dakwahnya, banyak pendakwah dikalangan Ormas radikal yang menilai saat ini para
pendakwah sudah dicap sebagai teror, penyebar kebencian dan berupaya makar
terhadap pemerintah.
Kelompok Ormas radikal juga masih ngotot untuk memperjuangkan ideologi lain
yang akan “menggusur” Pancasila yang disebut dengan ideologi khilafah
Islamiyah.
Ideologi ini secara pelan namun pasti sudah berkembang di beberapa daerah
antara lain Balikpapan, Lampung, Palopo, Tanjungpinang, Berau, Sragen, Kota
Bima, Cianjur, Banda Aceh, Meulaboh, Bengkulu, Bogor, Tulangbawang,
Tasikmalaya, Labuhanhaji, Sumbawa Barat dan Mojokerto. Mereka juga mengeluarkan
media komunikasi dan sosialisasi seperti bulletin, radio, selebaran,
menggunakan media sosial dan lain-lain.
Momentum Pilkada serentak baik di tahun 2017 ataupun Pilkada tahun 2018
juga dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan bargaining politik dengan
kalangan pasangan calon yang dinilai mereka seideologi, seaspirasi dan
seafiliasi politik, agar tujuan pragmatis mereka ke depan mudah diterapkan di
Indonesia. Bahkan, dalam Pilpres 2019, banyak analisis kajian intelijen ataupun
kajian keamanan nasional memprediksi kelompok radikal juga akan bermanuver,
pada umumnya mereka akan menentang atau melawan reelected atau terpilih
kembalinya petahana/incumbent.
Pelajaran penting yang perlu kita pelajari dari kelompok Ormas radikal ini
adalah komitmen, kesetiaan, kepercayaan dan kemantapan mereka dalam berideologi
diluar Pancasila, yang selama ini telah membuat mereka bersikap militan dan
pantang mundur untuk membela organisasi dan ideologinya.
Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan paling serius dan urgen dalam
mengimplementasikan Pancasila untuk menghalau dominasi pengaruh Ormas radikal
yang sudah mulai bersemi dan meluas di Indonesia.
Implementasi Pancasila di era milenial sekarang ini tentunya tidak sama
dengan yang dilakukan di era Orde Baru. Implementasi Pancasila di era saat ini
juga menggunakan kemajuan teknologi komunikasi dan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, keberadaan meme, pembuatan bot-bot di medsos terutama twitter,
youtube dan lain-lain untuk menyolisasikan Pancasila dan menyakinkan generasi
milenial yang memiliki ciri khusus yang connected, concern dan communication.
Pesan-pesan sosialisasi
Pancasila di era kekinian juga harus dilakukan dengan bahasa-bahasa yang
mudah dimengerti sekaligus merupakan “bahasa gaul” di kalangan generasi muda,
sehingga mereka dapat menyerap pesan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup
yang paling cocok diterapkan untuk mengelola keberagaman di Indonesia dapat
diterima oleh mereka tanpa perasaan mereka merasa digalang atau terkena
“psychological intervention”.
Tantangan berikutnya dalam implementasi Pancasila di era kekinian adalah
mengacu kepada sinyalemen sosiolog Inggris Giddens, terkait globalisasi.
Anthony Giddens menyebutkan setidaknya ada tiga dampak penetrasi globalisasi,
yaitu pertama mengendurnya ikatan negara bangsa (makin banyak wilayah yang
ingin merdeka); kedua, penguatan nilai-nilai lokal (etnonasionalisme); ketiga,
liberalisasi ekonomi.
Indonesia juga mengalami tantangan serius di ketiga dampak yang disebutkan
Giddens tersebut, seperti masalah separatisme Papua belum dapat terselesaikan
seutuhnya, walaupun kemakmuran ekonomi semakin membaik dewasa ini; sikap etno
nasionalisme juga semakin mengemuka, dapat dilihat dalam materi-materi kampanye
selama Pilkada 2018, termasuk di saat Pilgub DKI Jakarta 2017 yang menjadi
“turning point” memburuknya situasi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia.
Bagaimanapun juga, implementasi Pancasila akan semakin mudah diterapkan
jika ada keadilan dan kesejahteraan, dua hal yang masih harus diakui atau tidak
diakui menjadi barang mewah di negeri plural ini. Keadilan dan kesejahteraan
adalah kunci menimbulkan kepercayaan terhadap pemerintah, ideology negara dan
mampu menciptakan perdamaian. Hal ini selaras dengan adagium Romawi Kuno
berbunyi & quot;Pacem Cole Lustitian" (kalau mau damai dan
sejahtera, tumbuhkan keadilan).
Untuk mengimplementasikan Pancasila termasuk adagium Romawi kuno tersebut,
maka sikap positif, kepemimpinan, kewibawaan dan komitmen elit politik untuk
mengedepankan high politics dibandingkan low politics atau politik praktis akan
menjadi kunci strategis mewujudkannya. Semoga.
Oleh: Torkis T Lubis
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com