Harianmomentum.com--Memasuki tiga
bulan pelaksanaan kampanye, sejumlah pasangan calon (Paslon) kepala daerah
terus aktif memanfaatkan tahapan kampanye dengan melakukan sosialisasi visi dan
misi guna menggalang dukungan masyarakat. Kegiatan tersebut sejalan
dengan pemanfaatan untuk memperebutkan suara para pemilih di daerahnya
masing-masing.
Berbagai bentuk kegiatan kampanye seperti menghadiri
pertemuan pemberdayaan ekonomi, diskusi kedaulatan pangan, blusukan untuk tatap
muka dengan pendukung, kampanye dialogis, senam bersama dan lain sebagainya
dilakukan oleh para Paslon kepala daerah.
Komunikasi politik dengan masyarakat dalam berbagai bentuk
kegiatan tersebut diharapkan dapat menjalin hubungan psikologis tertentu
sehingga dapat menaikkan elektabilitas.
Namun dalam kegiatan kampanya rawan dilakukan agenda secara
terselubung yang perlu diwaspadai seperti bantuan sosial, bantuan usaha,
bantuan program lainnya yang mengarah money politic, sehingga melanggar
peraturan kampanye.
Massa kampanye terbuka tampaknya dimanfaatkan secara
maksimal oleh Paslon selain untuk mengampanyekan janji-janji politiknya kepada
masyarakat pemilih, juga untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat sekitar
tentang figur mereka.
Dalam hal ini, penyelenggara Plkada perlu mewaspadai
berbaga modus saat kempanye, seperti pemberian voucer belanja, pembagan
Sembako, karena dapat dimanfaatkan oleh Paslon yang kalah dalam Pilkada nanti
sebagai alat untuk melakukan gugatan sengketa Pilkada, dengan alasan terjadinya
pengabaian terhadap praktik money politics. Begitu pula dengan antisipasi
penggunaan rumah ibadah untuk berkampanye, agar tidak menimbulkan bentrokan
antar massa pendukung dengan mengangkat isu SARA.
Sejumlah Paslon kepala daerah terus aktif memanfaatkan
tahapan kampanye dengan melakukan sosialisasi visi dan misi guna menggalang
dukungan masyarakat. Kegiatan tersebut sejalan dengan tahapan Pilkada serentak
2018 yang tengah memasuki masa kampanye untuk memperebutkan suara para warga
dengan berlomba-lomba meningkatkan strateginya untuk menyejahterakan masyarakat
dan membangun daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan kegiatan politik pada tahap kampanye sepertinya
didukung oleh beberapa partai politik pendukung masing-masing Paslon yang
tentunya dengan mengoptimalkan mesin partai agar dapat berjalan maksimal dalam
menarik simpati masyarakat guna mendulang suara sebanyak-banyaknya. Namun
demikian, masih terdapat bentuk kampanye yang mengarah pada black campaign yang
cenderung menyudutkan Paslon lain, seperti yang terjadi di Kabupaten Sidrap.
Kampanye dengan menggunakan selebaran dan koran maupun
tabloid telah didiseminasikan pada khalayak ramai dengan menggunakan
kalimat-kalimat provokatif jelas akan menciderai netralitas komunitas media
massa. Apabila tidak ditangani secara serius, kampanye jenis tersebut dapat
memicu adanya gesekan antar pendukung masing-masing Paslon.
Para Paslon Pilkada melakukan kampanye dengan berbagai
bentuk kegiatan seperti blusukan untuk tatap muka dengan pendukung, kampanye
dialogis menawarkan program visi misi, memberikan janji-janji politik yang
bombastis, mengarahkan bantuan sosial kepada warga tertentu, dan lain
sebagainya, guna menarik simpati dan dukungan masyarakat dalam rangka menaikkan
elektabilitasnya.
Dalam kegiatan kampanye tersebut seringkali tidak berjalan
sesuai dengan aturan yang berlaku, dan kurangnya pengawasan oleh Panwaslu,
sehingga pelanggaran kampanye masih terus terjadi. Para Paslon juga sering
menjanjikan sesuatu kepada masyarakat baik program maupun bantuan modal usaha
ataupun lapangan kerja dan lain lain. Janji-janji dari Paslon yang sulit
terealisasi, perlu dipahami dan disadari oleh masyarakat, agar tidak kecewa
dalam menentukan pilihannya. Dengan pemahaman masyarakat secara cerdas, maka
para Paslon yang selalu berjanji secara hiperbolis justru diprediksi akan
merugikan peluangnya untuk terpilih.
Sosialisasi program masing-masing Paslon juga dikemas
dengan berbagai kegiatan yang dapat bersentuhan langsung dengan tataran grass
roots, misalnya dengan menggunakan kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial,
seperti ‘ngaji bareng’ dan program pendidikan gratis.
Pelaksanaan beberapa kegiatan tersebut menjadi ajang
pertemuan antara Paslon dan tim pemenangan Pilkadanya dengan masyarakat
pendukung, termasuk para partisipan yang dianggap dapat memudahkan sosialisasi
dan pengenalan mendalam terhadap calon kepala daerahnya. Kegiatan tersebut juga
dinilai lebih efisien dan tepat sasaran terutama langsung menyasar pada
masyarakat bawah.
Sementara, dugaan manipulasi dana kampanye Paslon
disampaikan penyelenggara dalam Pilkada Kabupaten Seruyan merupakan pelanggaran
terhadap UU Plkada. Kasus manipulasi dana kampanye dimaksudkan untuk menutupi
banyaknya sumber dana kampanye dari pihak-pihak tertentu sebaga modal dalam
berkampanye. Sikap tegas penyelenggara untuk menyelesakan masalah ini perlu
dilakukan agar, citra penyelenggara dimata masyarakat tetap terjaga.
Keterlibatan sejumlah kepala desa dalam politik praktis di
Maluku Utara, mengindikasikan rendahnya kesadaran aparatur negara dalam
mematuhi perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menjaga kualitas pelaksanaan Pilkada Serentak
2018, selaku pembina kepegawaian, Kepala Daerah setempat perlu memberikan
sanksi tegas bagi oknum kepala desa yang terlibat dalam kampanye salah satu
Paslon Peserta.
Masih maraknya pelanggaran kampanye yang terjadi berpotensi
menimbulkan gugatan/sengketa sehingga dapat meningkatkan kerawanan sosial dan
politik pada tingkat daerah maupun nasional. Selain itu, penyelenggara Pilkada
perlu bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran kampanye yang terjadi,
sehingga Pilkada 2018 dapat berjalan dengan jujur, adil, dan transparan.
Netralitas ASN
Persoalan netralitas ASN juga masih mengemuka, terutama di
Kabupaten Bima, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Mamasa. Persoalan tersebut
menjadi kasat mata ketika ASN ikut berpartisipasi dan terkesan mendukung salah
satu paslon tertentu. Kondisi tersebut tentu saja menjadi pelajaran buruk bagi
masyarakat yang terus mengedepankan slogan jujur dan berkeadilan dalam
berdemokrasi.
Di samping itu, ketidaknetralan ASN apabila tidak ditangani
secara maksimal dikhawatirkan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melakukan
hal yang sama, terutama pemanfaatan fasilitas negara yang dapat disalahgunakan
sebagai sarana dan prasarana kampanye. Oleh karena itu, sanksi yang tegas dan
berkeadilan perlu diterapkan sesuai dengan Undang-Undang ASN dan UU No. 10
tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Keterlibatan ASN dalam pilkada juga mendapat sorotan dari
elemen mahasiswa, yang mendesak agar para oknum ASN mendapat sanksi yang tegas
agar mereka mendapat efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Netralitas ASN dalam proses demokrasi sangat dibutuhkan,
guna kelancaran proses Pemilu yang adil. Ketidaknetralan ASN justru akan
menimbulkan kekisruhan internal, sehingga BKD bersama Panwaslu dapat terus
memonitor secara ketat. Keterlibatan ASN dalam berpolitik praktis memang cukup
rawan terjadi mengingat hal tersebut akan berpengaruh pada jabatan ASN yang
mendukung terhadap calon tertentu, apalagi calon yang didukungnya mampu
memenangkan Pilkada.
Selama ini, kendala dalam menangani permasalahan keterlibatan
ASN terkait dengan pembuktian sesuai dengan aturan yang ada, sehingga kasus
tersebut akan terhambat dan terhenti akibat kurangnya bukti-bukti untuk
mendukung penanganan kasus keterlibatan ASN dalam politik praktis.
Netralitas ASN diatur dalam UU No. 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin PNS dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta UU
No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bawaslu / Panwaslu, juga telah melakukan
sosialisasi secara masif di sejumlah wilayah, agar para ASN dapat memahami
aturan tersebut, sehingga tidak terlibat dalam politik praktis.
Sejumlah ASN yang terbukti terlibat dalam politik praktis
Pilkada Serentak 2018 secara umum telah ditindaklanjuti oleh Bawaslu /
Panwaslu, dan sebagian telah diberikan sanksi atas rekomendasi KASN.
Keterlibatan sejumlah ASN dalam Pilkada Serentak 2018
tersebut pada umumnya terjadi di wilayah yang diikuti oleh calon incumbent, dan
hal tersebut relatif sulit dihindari, mengingat peran para ASN dalam Pilkada
akan menentukan jabatan selanjutnya.
Pelanggaran ASN dalam Pilkada Serentak 2018 sudah diatur
dalam melalui Undang-Undang No. 10 tahun 2016 dengan memberi kewenangan kepada
Bawaslu/Panwaslu untuk melaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, Kemenpan
RB dan Kemendagri.
Sedangkan penjatuhan hukuman disiplin oleh pejabat yang
berwenang menghukum oknum ASN mengacu kepada tata cara yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010. Jika kewenangan penyelenggara
dalam hal ini Bawaslu/Panwaslu sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan
tidak dijalankan secara profesional, justru akan memunculkan pertanyaan bahkan
berpotensi menjadi sumber konflik politik.
Hingga saat ini banyak aparatur negara yang melanggar PP
No.42. Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS dan UU No 10
tahun 2016 tentang penetapan PP No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah. Disamping itu, proses penegakan hukum masih mengedepankan toleransi dan
budaya sehingga hukum tidak berjalan dengan semestinya.
Ketidaknetralan ASN, selain tidak terlepas dari konflik
kepentingan di lingkungan Pemda maupun lembaga politik di daerah serta masih
rendahnya kesadaran ASN untuk mematuhi aturan yang berlaku, juga karena adanya
aspek ikatan sosial maupun struktural, menjadikan salah satu faktor yang cukup
signifikan dalam mempengaruhi sikap politik ASN dan elite politik di daerah.
Adanya proses hukum yang hasilnya pemberlakuan punishment
akan menjadi efek jera sehingga dapat meminimalisir potensi berlanjutnya
pelanggaran serupa dimasa mendatang. (Penulis: Amril Jambak )
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com