Adaptasi Model Teror JAD dan Prediksi Kekuatan Pasca Bom Surabaya

Tanggal 21 Mei 2018 - Laporan - 801 Views
Ilustrasi Foto: Google

Harianmomentum.com--Jamaah Ansharut Daulah (JAD) adalah kelompok radikal di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS. Pimpinan JAD saat ini adalah Aman Abdurahman, yang saat ini diduga juga sebagai anggota langsung ISIS yang ditugaskan untuk memimpin kelompok teroris di Indonesia. Aman Abdurahaman saat ini sedang dalam proses hukum dengan tuntutan mati.

 

JAD adalah kelompok radikal pelaku teror terkuat di Indonesia saat ini. Sejak awal dibentuk, JAD bersumpah setia kepada pemimpin ISIS yaitu Abu Bakr al-Baghdadi. Tidak mengherankan jika aksi-aksi teror yang dilakukan oleh JAD akan diklaim sebagai aksi ISIS. Hal ini tentu juga berhubungan dengan aliran dana bantuan dari ISIS kepada JAD.

 

Berbagai aksi teror telah dilakukan oleh JAD antara lain di Thamrin (Januari 2016), Samarinda (November 2016), Kampung Melayu (Mei 2017), dan Surabaya (Mei 2018).  Dari berbagai aksi teror tersebut diketahui JAD telah melakukan perubahan model teror di setiap aksinya.

 

Aksi JAD pertama yaitu bom Thamrin diketahui menggunakan kombinasi antara serangan bersenjata dengan bom bunuh diri. Aksi ini tidak mudah karena akan melibatkan banyak anggota yang secara bersama-sama melakukan serangan bersenjata, walaupun dengan senjata ala kadarnya, dan dengan bom bunuh diri.

 

Di Samarinda, aksi yang dilakukan oleh JAD berbeda tidak serumit di Thamrin. Model yang dilakukan di Samarinda adalah dengan menggunakan bom molotov yang dilempar ke Gereja Oikumene Jl Cipto Mangunkusumo. Aksi ini mengakibatkan 4 anak-anak menjadi korban yang salah satunya meninggal dunia.

 

Teror di Kampung Melayu menjadi aksi JAD berikutnya. Model yang dilakukan dengan menggunakan bom bunuh diri. Terjadi dua ledakan, yang diperkirakan ledakan pertama sebagai pancingan untuk mengumpulkan massa. Dalam aksi ini 2 pelaku bom bunuh diri tewas dan 3 orang menjadi korban.

 

Di Surabaya, JAD melakukan aksi bunuh diri yang berbeda. Aksi dilakukan dengan melibatkan satu keluarga utuh. Bom yang terjadi di tiga gereja dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari orang tua dan empat anaknya, dan bom di Mapolrestabes dilakukan oleh satu keluarga berjumlah 5 orang yang satu diantaranya selamat.

 

Pasca aksi teror di Surabaya, JAD masih melakukan aksi serangan di Mapolda Riau. Aksi serangan di Mapolda Riau membuat Polri kehilangan satu Bhayangkara terbaiknya gugur. Empat orang pelaku berhasil ditembak mati, satu orang ditangkap dan diduga ada satu orang lainnya yang melarikan diri.

 

Model aksi teror yang dilakukan oleh JAD selalu berubah. Dari aksi teror dengan kombinasi antara serangan dengan senjata dan bom bunuh diri, hingga aksi bom bunuh diri yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Perubahan ini bisa disebut sebagai suatu bentu adaptasi model teror untuk mengatasi hambatan yang mungkin terjadi. Dalam kasus bom di Surabaya, adaptasi perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan dari aparat keamanan.

 

Perempuan dan anak-anak relatif diterima dan tidak dicurigai sebagai pelaku kejahatan di masyarakat umum. Hal inilah yang diduga menjadi alasan untuk menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri di Surabaya, selain faktor utama bahwa bom bunuh diri adalah bentuk amaliyah untuk memperoleh kemuliaan sesuai dengan ideologi yang mereka anut.

 

Dari sisi target serangan, JAD saat ini diketahui hanya mempunyai dua sasaran, yaitu polisi yang dianggap sebagai musuh utama, dan Gereja sebagai simbol ideologi yang berbeda. Sasaran polisi dilakukan di aksi teror di Thamrin, Kampung Melayu dan Surabaya. Sementara sasaran Gereja dilakuka di Samarinda dan Surabaya.

 

Pasca aksi rusuh di Mako Brimob yang didalangi oleh napiter dari kelompok JAD,  Polri telah melakukan serangkaian penangkapan. Empat orang ditangkap di Tambun Bekasi, satu orang ditembak mati kerena melakukan perlawanan, kemudian empat orang ditembak mati di Cianjur, adalah jaringan JAD. Kedua kelompok kecil terpisah ini ditangkap dan sebagian ditembak dalam perjalanan menuju Depok untuk membantu para napiter di  Mako Brimob yang sedang melakukan perlawanan terhadap petugas.

 

Rangkaian penangkapan dilakukan oleh Polri terkait aksi-aksi teror pada bulan Mei ini, yang didominasi di daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera. Dampak dari rangkaian penangkapan ini adalah melemahnya kekuatan JAD di Indonesia.  Pelemahan ini sudah mulai terjadi pada aksi di Mapolda Riau, yang jelas menunjukkan bahwa kekuatan JAD semakin mengecil dan tidak terencana dengan baik.

 

Polri bekerja sama dengan BIN, TNI, dan BNPT akan terus melakukan penanganan terhadap kelompok radika pelaku teror, apapun afiliasinya. Dengan kolaborasi antar lembaga negara ini diperkirakan akan menjadi tekanan besar bagi kelompo JAD di Indonesia. Struktur JAD yang sudah diketahui oleh aparat, akan memudahkan penangkapan di lapangan. Anggota JAD tidak bisa menghindar lagi dan tinggal menunggu waktu.

 

Kekuatan kelompok JAD sudah mulai terkikis dan menuju titik habis. Meskipun dimungkinkan masih ada simpatisan yang tidak terdeteksi. Kombatan-kombatan JAD yang sudah menjadi pelaku bom bunuh diri dan tertangkap akan mengurai kekuatan JAD. Saat ini yang tersisa dari kelompok JAD diperkirakan hanya yang mempunyai kualifikasi suporter di garis belakang.

 

Tentu saja perlu diwaspadai bahwa anggota kelompok radikal pelaku teror, dalam keadaan terdesak, masih bisa melakukan aksi seperti teror lone wolf, yang biasanya sulit untuk dideteksi. Teror lone wolf inilah yang diperkirakan akan menjadi model terakhir yang dilakukan oleh JAD pada titik kritis.

 

Prediksi selanjutnya, kelompok JAD akan berhasil ditumpas oleh negara melalui Polri, BIN, TNI, dan BNPT. Tidak perlu waktu lama, bahkan sebelum lebaran, ancaman-ancaman teror akan dikendalikan dengan menumpas pelaku utamanya yang saat ini terdeteksi dari kelompok JAD.

 

Surutnya kelompok JAD karena aksi tegas dari pemerintah ini akan terjadi dengan cepat seiring dengan surutnya ISIS di Suriah dan Irak karena tekanan pasukan multinasional. Yang tersisa dan tidak terdeteksi akan tercerai berai dan akhirnya menjadi sel tidur. Sambil menunggu momentum, yang tersisa dan tidak terdeteksi bisa bangkit dengan kelompok yang baru, atau selamanya tetap tidur dan bermetamorfosis menjadi masyarakat biasa. (Penulis:Stanislaus Riyanta pengamat terorisme dan intelijen)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com