Harianmomentum.com--Tensi politik
di 171 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2018 semakin memanas,
bahkan adu strategi, adu taktik, adu jualan janji kampanye bahkan “perang di
dunia maya” turut mewarnai persiapan Pilkada serentak 2018.
Tidak
hanya itu saja, vandalism dan aksi kekerasan termasuk aksi unjuk rasa sudah
semakin marak, serta tidak ketinggalan adanya upaya politisasi isu puisi
Sukmawati Soekarnoputri, walaupun upaya politisasi ini tidak sekuat ketika
perlawanan massa terhadap Ahok.
Aksi
perusakan Alat Peraga Kampanye (APK) salah satu Paslon(pasangan calon, red) di
Kota Surakarta, Jawa Tengah belum lama ini, selain menunjukkan masih adanya
praktik politik menghalalkan segala cara untuk memenangkan Pilkada, juga
dapat dikategorikan sebagai bentuk kasus tindak pidana Pemilu.
Perusakan APK yang telah
ditetapkan oleh KPU setempat, kemungkinan dapat menghambat upaya penyampaian
visi dan misi Paslon terhadap para calon pemilih. Permmasalahan ini
dikhawatirkan dapat menimbulkan keresahan dan kecurigaan antar pendukung
Paslon, apabila tidak segera ditindaklanjuti oleh Panwaslu ataupun Gakkumdu.
Sementara
itu, adanya penolakan salah satu Timses Paslon Pilkada Kabupaten Boyolali
terhadap APK yang diberikan oleh KPU kemungkinan disebabkan adanya kesalahan
teknis yang tidak mampu diantisipasi, sehingga menjadi temuan adanya
pelanggaran oleh KPU. Kondisi tersebut selain merugikan KPU, juga dapat
menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja KPU.
Persoalan
APK Paslon, terutama pengrusakan dan penghilangan oleh orang tidak dikenal,
patut diduga sebagai upaya provokasi yang dapat berpotensi mempengaruhi
kondusifitas situasi politik dan keamanan di wilayah tersebut. Sementara itu,
terkait adanya pelaporan terhadap Paslon, perlu dilakukan pendalaman lebih
lanjut karena berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat.
Sedangkan,
mengenai pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye (APK) dalam Pilgub Lampung
menunjukkan peningkatan tensi persaingan politik yang apabila tidak direspons
secara proporsional akan berdampak pada munculnya segregrasi sosial.
Unjuk rasa semakin marak
Aksi unjuk rasa dipilih para
simpatisan karena dianggap unjuk rasa sebagai bentuk yang paling efisien dan
efektif dalam menyuarakan keinginan mereka serta untuk menekan pemangku
kepentingan untuk memperhatikan tuntutan mereka. Unjuk rasa yang terjadi di
beberapa daerah, seperti di Gorontalo, Mandailing Natal, dan Kediri perlu
mendapatkan perhatian serius dari instansi terkait dalam menyikapi keinginan
dan kepentingan simpatisan dalam menyikapi permasalahan Pilkada serentak 2018.
Apabila unjuk rasa melibatkan massa dalam
jumlah yang sangat besar serta adanya kultur dan sosiologi di daerah tertentu
yang mudah terprovokasinya masyarakat di daerah tersebut, terutama jika
tuntutan aksi unjuk rasa ini tidak diindahkan, maka aksi-aksi rentan di
provokasi dan bahkan mengarah ke aksi yang anarkis.
Aksi
unjuk rasa beberapa elemen masyarakat yang berkaitan dengan Pilkada, hingga
saat ini masih dalam tahap kewajaran guna menyuarakan tuntutan dan aspirasinya
yang dinilai merugikan kelompoknya. Aksi ini juga mengindikasikan bahwa
dukungan dari kelompok penekan pada Pilkada serentak 2018 semakin
diperhitungkan oleh Peserta Pilkada. Apabila tidak diantisipasi, kondisi ini
dapat menjadikan potensi konflik pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 menjadi
semakin besar dan terbuka.
Sedangkan,
aksi unjuk rasa elemen masyarakat terkait paslon yang diusungnya gagal maju
dalam Pilkada Bupati Garut merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap
penyelenggara Pilkada yang dinilai tidak profesional dalam melakukan
verifikasi. Aksi unjuk rasa tersebut rawan menimbulkan aksi anarkhis yang dapat
mengancam kondusifitas daerah menjelang Pilkada, sekaligus provokasi untuk
Golput. Dalam hal ini, KPU seharusnya mengarahkan kepada upaya hukum untuk
menyelesaikan permasalahan ini.
Munculnya
aksi unjuk rasa elemen masyarakat terkait dengan penyelenggaraan tahapan
Pilkada serentak 2018 menunjukkan masih terjadinya permasalahan yang belum diselesaikan
pihak terkait yang terus disuarakan pengunjuk rasa, guna menekan pihak-pihak
terkait untuk segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat,
terutama pelaksanaan Pilkada serentak 2018.
Ada
juga aksi-aksi unjuk rasa yang berisi “himbauan” seperti aksi yang terjadi di
Gorontalo tersebut dilakukan oleh puluhan orang dari Ikatan Pengemudi Bentor
Gorontalo yang menuntut KPU Kota Gorontalo agar bersikap netral dalam
melaksanakan tahapan Pilkada.Disamping aksi menolak penyebaran hoaxes dan
hate-speech yang pernah terjadi di beberapa daerah.
Upaya politisasi puisi Sukmawati Soekarnoputri
Adanya
upaya mempolitisir kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri untuk mendiskreditkan
Paslon Peserta Pilkada 2018 yang diusung PDIP melalui isu penistaan agama dan
penghinaan terhadap Syariat Islamselain berpotensi memicu semakin maraknya
penggunaan isu-isu bernuansa SARA dalam kampanye Pilkada 2018 juga dijadikan
entry pointkelompok kepentingan tertentu dalam memperjuangan formalisasi
syariat Islam di Indonesia.
Upaya
politisasi kasus puisi Sukmawati Soekernoputri oleh kelompok kepentingan
tertentu di Sumatera Utara misalnya untuk menyerang Paslon tertentu dengan
mengeksploitasi isu penista agama dan penghina Syariat Islam diperkirakan akan
semakin berkembang menjadi gerakan aksi unjuk rasa massif, seperti pola aksi
yang digunakan saat Pilkada DKI Jakarta untuk menjatuhkan elektabilitas Ahok.
Kondisi tersebut akan berdampak negatif terhadap nilai-nilai persatuan bangsa,
serta akan menumbuhkan sikap-sikap intoleran yang mengancam integrasi sosial.
Walaupun
banyak fungsionaris PDIP di berbagai daerah menyakini bahwa puisi yang
dibacakan Sukmawati Soekarnoputri tidak akan berpengaruh terhadap elektabilitas
Paslon yang didukung PDIP, namun puisi kontroversial ini diperkirakan akan
terus menuai beragam reaksi dari sejumlah kalangan. termasuk Paslon maupun kalangan
elit Parpol pendukung Pilkada sebagai komoditas politik (kampanye hitam) guna
kepentingan politik di tengah pelaksanaan Pilkada serentak 2018.
Situasi ini secara langsung akan
meningkatkan tensi politik Pilkada,karena rawan dijadikan komoditas politik (kampanye
hitam) terutama di Medsos guna menyudutkan Paslon Pilkada yang diusung PDIP,
bahkan tidak menutup kemungkinan meningkatnya kampanye bernuansa SARA yang
mengarah terjadinya konflik.
Meski
secara umum persoalan “Puisi Sukmawati” relatif mereda, namun residu yang
diakibatkan kasus tersebut masih dikhawatirkan oleh sejumlah kader PDIP akan
berdampak pada upaya pemenangan Paslon yang diusung oleh PDIP.
Belum selesainya persoalan hukum
terkait kasus tersebut, dikhawatirkan akan semakin memperkuat manuver bagi
kelompok tertentu yang berseberangan dengan PDIP maupun Pewmerintah untuk terus
memanfaatkan isu tersebut dalam mencapai tujuan politik pragmatisnya. Selain
itu, reaksi dari sejumlah kalangan umat Islam perlu disikapi secara hati-hati
agar tidak melebar dari kasus yang sebenarnya dan menjatuhkan kredibilitas
pemerintahan Joko Widodo.
Pernak-pernik
masalah lainnya terkait persiapan Pilkada serentak 2018 seperti misalnya
ditemukannya spanduk salah satu Paslon Pilkada Kota Tegal, Jawa Tengah, yang mengampanyekan
ideologi khilafah mengindikasikan adanya upaya pihak tertentu memanfaatkan
momentum Pilkada 2018 sebagai pintu masuk untuk mempropagandakan ideologi
radikal.
Semakin luas dan masifnya
penyebaran spanduk tersebut juga bentuk provokasi guna membangun kecurigaan,
kebencian, radikalisme hingga konflik antar kelompok yang berpotensi mengganggu
pelaksanaan Pilkada di Kota Tegal.
Sementara
itu, langkah salah seorang Camat menurunkan spanduk salah satu Ormas radikal di
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara sudah sangat tepat, karena spanduk
tersebut sangat provokatif untuk meningkatkan angka Golput. Namun demikian
sikap Ormas tertentu yang masuk dalam politik praktis perlu diantisipasi,
mengingat keterlibatakan Ormas radikal rawan menimbulkan bentrokan antar massa
pendukung.
Pada
pelaksanaan Pilkada serentak 2018 tersebut tidak jarang mendapat tanggapan dari
beberapa elemen masyarakat yang secara kontinyu melakukan aksi unjuk rasa
sebagai kegiatan politik untuk menuntut penyelenggara Pilkada agar bersikap
netral demi terwujudnya penyelenggaraan Pilkada yang obyektif, berkeadilan,
jujur, dan adil demi terbentuk demokrasi yang bermartabat. (Penulis:
Herdiansyah Rahman)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com