Harianmomentum.com--Dokumen arsip
program pembuatan bom nuklir Iran yang dibeberkan Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu adalah hasil kerja Mossad.
Mata-mata
dari badan intelijen Israel itu menemukan lokasi gedung rahasia gudang yang
digunakan untuk menyimpan file senjata nuklir Iran dan mencurinya.
Dalam
aksinya, mata-mata Mossad mengambil setengah ton dokumen dan berhasil
menyelundupkannya ke Israel.
Menurut
laporan The New York Times, aksi pencurian dan penyelundupan arsip senjata
nuklir itu dilakukan Mossad pada malam yang sama.
Seorang pejabat senior Israel, yang berbicara
dalam kondisi anonym, karena membahasa misi rahasia, mengatakan kepada media
Amerika Serikat (AS) tersebut bahwa aksi mata-mata Israel itu berlangsung pada
Januari 2016.
Sejak kebobolan, bangunaan itu
diawasi. Pejabat tersebut mengatakan, dokumen yang dicuri mata-mata Mossad
otentik. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, kata dia, telah diberitahu
tentang operasi itu oleh Kepala Mossad, Yossi Cohen, pada kunjungan ke
Washington.
PM Netanyahu mengatakan bahwa arsip setengah ton
dari program senjata nuklir Iran diperoleh oleh Israel dalam "pencapaian
intelijen yang hebat."
Dia, seperti dikutip
Reuters,Selasa (1/5/2018), mengklaim bahwa file-file berisi bukti yang
memberatkan bahwa Iran telah bekerja untuk mengembangkan bom nuklir sebagai
bagian dari program yang disebut "Project Amad." Netanyahu
menggambarkan arsip-arsip itu sebelumnya disimpan di sebuah bangunan yang tampak
seperti "gudang bobrok" ? di Distrik Shorabad, selatan Teheran.
Momok nuklir Iran tampaknya sangat mengganggu,
menggelisahkan dan mengancam kepentingan nasional Israel dan Amerika Serikat
pada khususnya, sehingga AS akan berencana menerapkan sanksi terhadap Teheran.
Pertanyaannya adalah seberapa
besarkah ancaman nuklir Iran ? apa peranan sanksi yang diterapkan AS bagi
negara yang menjadi lawan politiknya? Siapakah yang diuntungkan jika Iran tidak
memiliki senjata nuklir ?
Ancaman Nuklir Iran
Sebenarnya
Iran belum masuk daftar sebagai negara yang memiliki senjata nuklir yang patut
diperhitungkan.
Menurut laporan Business Insider
dengan mengutip sumber dari the Bulletin of Automic Scientists, Federation of
American Scientists, SIPRI dan the Washington Post (2017) menyebutkan,
ada beberapa negara yang memproduksi nuklir dalam jumlah besar: Rusia (7.000
buah), Amerika Serikat (6.800 buah), Perancis (300 buah), China (270 buah),
Inggris (215 buah), Pakistan (140 buah), India (130 buah), Israel (80 buah) dan
Korea Utara (60 buah).
Banyak pihak yang menduga, senjata nuklir Iran
didesain untuk bisa menancapkan moncongnya hingga menusuk bumi Israel. Bisa
jadi ini yang membuat Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melaporkan ke PBB
tentang program nuklir Iran.
Iran berpendapat, demi keadilan
dan selagi Israel tak dilarang mengembangkan senjata nuklirnya, tak ada alasan
untuk menghentikan program serupa di Iran.
Dalih bahwa program itu hanya
untuk kepentingan penggunaan energi nuklir di Iran, tak banyak yang percaya.
Umumnya mereka yakin itu akan merembet hingga ke produksi persenjataan. Ini
yang menjadi kekhawatiran Israel dan negara lainnya.
Iran memiliki berbagai jenis senjata rudal
bahkan menurut sumber, rudal-rudal itu memiliki daya jangkau lebih dari 3000
kilometer.
Itu artinya, rudal ini mampu
menghantam benua Eropa hingga sebagian Asia. "Ancaman rudal Iran termasuk
setiap orang, tidak hanya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab," kata Nikki
Haley, Duta Besar Amerika untuk PBB, seperti dikutip dari Al Arabiya, Sabtu, 16
Desember 2017.
Rudal Iran yang disebut dalam laporan Al
Arabiya, Sabtu, 16 Desember 2017, sebagai rudal paling berbahaya dan menjadi
ancaman nyata bagi keamanan berbagai negara.
Rudal-rudal balistik itu: Rudal
Shale-Sajil (jangkauan 2.000 kilometer), Rudal Teluk Persia (jangkauan 300
kilometer), Rudal Shahab, Rudal balistik Shahab 5, Rudal balistik 4 (jangkauan
3.000 kilometer).
Kemudian: Rudal Shahab 3
(jangkauan 3.000 kilometer), Rudal Qadr (jangkauan 2.500 s.d 3.000 kilometer),
Rudal Qiyyam (menarget Bandara Riyadh, Arab Saudi), Rudal Ashura (2.500
kilometer), dan Rudal Khorramshahr (jangkauan 2.000 kilometer).
Sanksi Amerika Serikat Ditentang Rusia dan China
Presiden AS, Donald Trump tampaknya berang
dengan sikap bandel Iran (Iran’s obdurate attitude), bahkan jika Iran tidak
merealisasikan isi perjanjian multilateral terkait Nuklir Iran yang disepakati
tahun 2015, maka AS akan memberikan sanksi ekonomi kepada Iran.
Untuk menegaskan niat politik
tersebut, Trump konon informasi terakhirnya tidak percaya lagi dengan kemampuan
Menlu AS, Rex Tillerson untuk menyelesaikannya, bahkan Tillerson dikabarkan
akan diganti oleh Direktur CIA, Mike Pompeo.
Tampaknya Iran juga geram dengan sikap Trump.
Menurut Presiden Iran, Hassan Rouhani menuding Trump sebagai “pedagang” dan
tidak memiliki kualifikasi untuk berkomentar mengenai traktat global (Koran
Sindo, 26 April 2018).
Di mata AS, Rusia, Korea Utara,
Iran dan Suriah” disebut sebagai “Poros Setan” saat Agustus 2017, Trump
menandatangani “the ‘Countering America's Adversaries Through Sanctions Act
(Mengonter lawan-lawan AS melalui sanksi).”
Berdasarkan laporan the Office of
Foreign Asset Controls (OFAC), sebuah organisasi dibawah Kemenkeu AS mempunyai
28 daftar program sanksi antara lain ditujukan kepada individual seperti Sadegh
Amoli Larijani (Ketua Pengadilan Iran) bersama 14 warga Iran lainnya sejak 12
Januari 2018, Hizbullah terkait terorisme, Rusia karena menganeksasi Crimea dan
Korea Utara karena terkait nuklir. AS menyebut pemberian sanksi dalam rangka
mengamankan “kepentingan nasional” mereka.
Tampaknya sanksi akan dijatuhkan AS ke Iran.
Jika sanksi ekonomi diberikan ke Iran, ternyata Rusia dan China tetap akan
menjalin kerjasama ekonomi dengan Teheran. Diperkirakan ketegangan politik akan
terjadi antara AS vs Rusia dan China.
Siapa untung ?
Arab Saudi yang memungkinkan untuk menjadi
peredam nuklir Iran. Arab Saudi perlu menggandeng Israel karena punya
kepentingan untuk menghentikan pengaruh paham Islam Syiah di Timur tengah yang
dianut oleh mayoritas penduduk Iran. Karena itu, kedua negara ini terus
berupaya agar bahu-membahu untuk memusuhi Iran.
Kepastian kerja sama Israel-Arab
Saudi itu dinyatakan Anwar Eshki, pensiunan mayor jenderal Arab Saudi yang kini
bertugas di Dewan Hubungan Luar Negeri. Hal itu pun dibenarkan oleh Dore
Gold, mantan duta besar Israel yang dikenal punya hubungan dekat dengan Perdana
Menteri Benjamin Netanyahu.
Gold lalu menggambarkan jalinan kerja sama
dengan Arab Saudi dalam usaha membendung langkah Iran. Dia menilai, ini baru
tahap awal dari kerja sama lebih lanjut dan lebih strategis.
Menurut Gold, kesepakatan awal itu adalah puncak
dari lima pertemuan antara wakil kedua negara. "Kami berdua memang sekutu
Amerika Serikat," kata Gold.
Pernyataan Gold ada benarnya
sebab pada 20 Maret 2018, Trump menerima Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin
Salman. Salman dalam pertemuan tersebut, mengibaratkan Iran sebagai negara
ekpansionis seperti Adolf Hitler dan Arab Saudi juga akan membangun fasilitas
nuklir, dan diacc Donald Trump. (Oleh : Toni Ervianto)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com