Menjaga Eksistensi Pancasila, Menjaga Indonesia

Tanggal 01 Jun 2018 - Laporan - 4356 Views
Illustrasi Net.

Harianmomentum.com--Tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak iri atau cemburu kepada Indonesia. Mengapa? Indonesia adalah negara tercantik, kaya dan eksotik diseluruh dunia, sehingga benar para pemikir zaman dahulu menyebut Indonesia sebagai “jamrud katulistiwa.”

 

Betapa tidak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari 17.100 pulau, memiliki lebih dari 1.128 etnis, 746 bahasa yang beragam, 1.000 macam makanan tradisional dan keanekaragaman hayati. Nemiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan total panjang 99.093 Km, serta memiliki 8 situs budaya warisan dunia.

 

Sebanyak 483 etnik dan 719 bahasa di Indonesia merupakan kristalisasi empat gelombang migrasi leluhur manusia Indonesia sejak 50.000 tahun lalu (Prof. Herawati Sudoyo, ahli genetika Lembaga Biologi Mokuler Eijkman). Kecantikan dan keindahan serta harmonisasi di Indonesia semakin menguat dan mengkristal, karena diikat dalam satu ideologi atau falsafah negara yaitu Pancasila.

 

Keunikan dan kecanggihan Pancasila dalam mengawal dan menjaga eksistensi Indonesia diakui berbagai pemimpin Timur Tengah, Afrika dan bahkan Hillary Clinton saat menjabat sebagai Menlu Amerika Serikat.

 

Tidak hanya itu saja, Pancasila sebagai dasar negara juga dikagumi ulama-ulama besar dunia, salah satunya Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Ahmad Tayyeb yang pernah dinobatkan sebagai ulama paling berpengaruh di dunia oleh The Royal Islamic Strategis Studies Center.

 

Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak komprador asing ataupun kelompok kepentingan lainnya yang menjadi alat untuk melakukan “proxy war” di Indonesia dengan merusak citra dan wibawa Pancasila.

 

Mereka beranggapan dengan hilangnya eksistensi Pancasila, maka gampang untuk merusak dan mengendalikan Indonesia, karena sudah tidak ada yang mengikat atau menjaga persatuan Indonesia. “Proxy war” untuk merusak Indonesia dilakukan melalui beberapa isu strategis antara lain: radikalisme dan terorisme, berkembangnya hoax di Medsos, dan upaya-upaya membenturkan Pancasila dengan agama. 

 

Pertanyaannya adalah apakah Pancasila dapat mengatasi semua tantangan ini dan terus dapat menjaga Indonesia? Jawabannya adalah bisa, sebab jika kita gagal menjaga Indonesia dengan menerapkan Pancasila, maka bubarnya negara ini akan menjadi “condition sine quanon” dan “point of no return” yang akan mengecewakan masa depan generasi bangsa.

 

Merebaknya radikalisme dan terorisme Presiden Jokowi saat membentuk UKP Pancasila berharap nilai-nilai Pancasila berada di dalam semua kebijakan pemerintah dan pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat Indonesia tidak lagi rentan terpengaruhi paham-paham radikal dan sikap intoleran terhadap sesama.

 

Harapan Presiden ini cukup realistis, sebab menurut hasil penelitian UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 2017 dengan 1522 siswa SMA dan 337 mahasiswa menghasilkan 58,8% responden menyetujui ideologi kekerasan radikal, dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama. Temuan menarik penelitian ini 54,87% mereka belajar keagaman melalui internet. 

 

Data yang sama disampaikan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia tahun 2017 menyebutkan 42,55% pengguna di internet di Indonesia mengakses internet untuk mendapatkan informasi keagamaan. 

 

Sementara itu, temuan riset Maarif Institut pada April sampai Oktober 2017 kepada pelajar SMA sederajat di 4 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Semarang) menyebutkan sebanyak 63% belajar intoleransi dari internet.

 

Merebaknya radikalisme dan terorisme juga dilakukan dengan menyebarkan konten- konten radikal melalui media massa dan aplikasi percakapan telah menjadi fenomena global yang tidak boleh dianggap enteng, apalagi pasca terdesaknya Islamic State (IS) di Suriah dan Irak. 

 

Setidaknya ada sekitar 200 anggota IS yang sudah kembali ke negara masing-masing untuk menyebarkan terorisme. Saat ini, jumlah simpatisan kelompok radikalisme diduga terus bertambah sebagai salah satu fenomena yang diakibatkan media sosial dan saluran percakapan.

 

Dampaknya banyak anak dan kaum hawa yang terpapar ideologi radikal yang berpotensi menjadi foreign terrorist fighters (FTF) jika tidak diperhatikan secara serius.

 

Secara sosiologis, setidaknya ada 3 gejala yang dapat ditengarai dari paham radikalisme, yaitu : pertama, merespons terhadap kondisi sosial politik dan ekonomi yang sedang terjadi dalam bentuk penolakan dan perlawanan. Terutama aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya. 

 

Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah keadaan secara mendasar ke arah cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu. Ketiga, menguatkan sendi-sendi keyakinan tentang kebenaran ideologi yang diyakininya lebih unggul daripada yang lain. 

 

Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penafian dan penegasian sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional-agresif (Endang Turmudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia. ed (2005).

 

Proses perekrutan anggota ISIS menjadi efektif karena tiga hal yaitu pertama, target sasaran biasanya adalah individu-individu yang sedang mengalami masalah pribadi, biasanya terkait dengan isu sosial, ekonomi dan politik. Kedua, sang perekrut membungkus pesan-pesan mereka dengan istilah agama yang menakutkan, terutama bagi orang yang baru belajar agama Islam. 

 

Ketiga, para perekrut ini seringkali menggunakan simbol-simbol kesalehan yang diyakini secara umum oleh masyarakat kita seperti pemakaian sorban, baju gamis dan adanya tanda hitam (belas sholat) di jidat mereka (Noor Huda Ismail, Amunisi Baru Melawan ISIS, 2017). 

 

Disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat : Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya. 

 

Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.

 

Sedangkan, Oliver Roy dalam tulisan “Who are the New Jihadis?”, banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus Islamisasi radikalisme sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat “terrorism does not arise from radicalization of Islam, but from the Islamization of radicalism”.

 

Menghadapi serangan gencar dan militan dari kelompok-kelompok anti Pancasila, akan menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia, khususnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Negara bersama rakyatnya harus juga mendongkrak semangat militansi untuk mempertahankan ideologi negara tersebut. 

 

Oleh karena itu, menarik jika ada upaya-upaya kreatif untuk mempertahankan eksistensi Pancasila melalui penyusunan haluan negara terkait bagaimana menyelamatkan Pancasila ditengah-tengah ideologi transnasional; pembentukan dan pelatihan kader-kader Pancasila; pelibatan TNI dalam siskamling ideologi bahkan penguatan jejaring sosialisasi dan penguatan Pancasila melalui cegah dini dan deteksi dini untuk meminimalisir ancaman terhadap ideologi Pancasila. 

 

Last but not least, perlu ada penguatan “Pancasila judiciary system” dengan tujuan agar para penegak hukum dan keadilan tidak terinfiltrasi paham-paham ideologi transnasional. Kita patut berbangga dengan sikap hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kita mengharapkan nasionalisme PN Jaktim ini juga merembes ke Mahkamah Agung (MA) sebagai penjaga keadilan di Indonesia yang diharapkan juga akan menolak kasasi yang dilakukan pihak HTI.

 

Berkembangnya hoax di Medsos Radikalisasi di dunia maya semakin menjadi ancaman nyata. Kelompok atau individu cukup mengakses Medsos untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendidikan paham radikal, cara dan tips menyiapkan aksi teror, hingga layanan jual beli perlengkapan serangan teror.

 

Radikalisasi di dunia maya patut diduga akan menyasar generasi muda sebagai sasaran utamanya. Menurut Sosiolog Jerman kelahiran Hungaria, Karl Manheim (1893 s.d 1947) dalam artikel berjudul The Problem of Generation. Sementara itu, menurut Tom Brokaw dalam The Greatest Generation (1998) menyebutkan ada lima ciri generasi milenial yaitu, melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada multimedia dan membuat konten internet. 

 

Dalam buku berjudul Indonesia 2020: The urban middle class milenial (2016) Hasanudin Ali dan Lili Purwandi menyebutkan Urban middle class milenial memiliki ciri 3C yakni Creative, Connected dan Confidence.

 

Menurut data Survei Masyarakat Telematika (2018) terungkap, bahwa saluran penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi paling tinggi (92,40%), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial politik juga menduduki posisi paling tinggi (91,80%) menyusul soal SARA, dan rentang waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30%). Sementara itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk tulisan (62,10%), menyusul gambar (37,50%), dan video (0,40%).

 

Berkembangnya hoax di Medsos sangat sulit dihapuskan disebabkan beberapa faktor antara lain : Pertama, hoaks adalah gangguan dan bentuk perlawanan. Kedua, hoaks adalah cermin dari orang-orang penakut dan tidak jantan. Sebenarnya, dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik yang sehat diberikan dalam ruang yang lebih luas. 

 

Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa dijadikan alat penyaluran.

 

Fenomena merebaknya hoax di Medsos juga telah membuat indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran setidaknya menurut hasil riset The Economist (2017). 

 

Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya peringkat Indeks Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah di DKI Jakarta yang banyak sekali dinamikanya. Dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy. 

 

Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik.

 

Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus terabaikan.

 

Kondisi kebangsaan di era milenial juga diperburuk dengan sejumlah fenomena yang berkembang tidak terkendali. Menurut Yudi Latief, intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban dengan cepat melambungkan industri kebohongan (hoaks). 

 

Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan inklusif sebagai warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan mitos-mitos baru yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar ilmiah, dengan tujuan untuk menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan baru secara dogmatis dan fasistis.

 

Tiba-tiba saja, kita menyaksikan jutaan pemuda hari ini hanyut dalam gelombang arus balik dari samudra kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil primordial. 

 

Bayangan komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku, dan golongan. Indonesia seperti cermin yang jatuh, lantas pecah berkeping-keping. Setiap orang melihat bayangan komunitasnya dari sudut kepentingan dan golongan masing-masing.

 

Dalam tendensi meluasnya gejala polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum muda hari ini ditantang kembali mengemban misi emansipatorisnya. 

 

Dalam kaitan ini, tantangannya adalah hendaklah diingat pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan pelopor selalu merupakan minoritas kreatif. Minoritas kreatif pemuda hari ini bergerak sendiri-sendiri atau dalam kelompok terbatas.

 

Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit terkucil. Munculnya medsos baru dengan kecenderungan individuasi yang sangat kuat kian memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan kreatif. 

 

Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui medsos memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.

 

Oleh karena itu, upaya simultan “menyembuhkan” dan merangkul kelompok atau segmen masyarakat yang terpapar ideologi diluar Pancasila, maka proses deradikalisasi perlu diimbangi dengan penanaman kembali ideologi Pancasila terhadap mereka. 

 

Disamping itu, juga perlu dilakukan kontra narasi terhadap kelompok-kelompok anti Pancasila di berbagai saluran Medsos bekerjasama dengan komunitas warganet untuk mencegah semakin banyaknya generasi milenial yang tergalang kelompok radikal. 

 

Disisi yang lain, siber patrol terhadap hoax, hate-speech dan narasi-narasi anti Pancasila juga perlu diintensifkan, dimana BPIP dapat bekerjasama dengan Siber Crime Bareskrim Mabes Polri, Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) serta Badan Intelijen Negara (BIN).

 

Last but not least, upaya BPIP dalam rangka membina dan menguatkan eksistensi Pancasila melalui berbagai lomba termasuk lomba membuat film pendek tentang Pancasila, meme tentang Pancasila, esai tentang Pancasila dan lagu tentang Pancasila adalah upaya “breakthrough” untuk “menjual” dan “memodernisasi” sosialisasi dan pembinaan Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga tidak dinilai sebagai kegiatan yang bersifat dogmatis dengan outcome yang kurang jelas.

 

Upaya-upaya membenturkan Pancasila dengan agama Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Ahmad Tayyeb yang pernah dinobatkan sebagai ulama paling berpengaruh di dunia oleh The Royal Islamic Strategis Studies Center menilai rumusan Pancasila bukan hanya sekedar sejalan dengan Islam, akan tetapi setiap butir dalam Pancasila merupakan esensi ajaran Islam yang harus diperjuangkan.

 

Secara eksplisit, pernyataan ulama nomor wahid di dunia yang juga aktif memoderasi Islam tersebut menunjukkan Pancasila merupakan dasar negara yang ideal untuk Indonesia sebagai negara yang memiliki masyarakat yang beragam. Namun sayangnya, diakui atau tidak, di era milenial saat ini berbagai masalah penurunan nilaiPancasila di tengah masyarakat ketika dibentuk. 

 

Salah satunya, meredam bahkan menghilangkan pembenturan antara agama dengan Pancasila. Padahal, agama dan Pancasila tidak bisa dibandingkan satu sama lain, sebab keduanya merupakan dua hal berbeda yang saling mengisi.

 

Ketua BPIP, Dr. Yudi Latief mengibaratkan, agama sebagai sebuah menara yang menjulang tinggi atau vertikal. Setiap menara diisi oleh pemeluk agama masing-masing. Setiap penghuni menara tentu harus berkomunikasi dengan penghuni menara lainnya. Karena itu, mereka butuh jembatan. 

 

Pancasila inilah yang menjadi jembatan bagi para penghuni menara untuk berkomunikasi dengan penghuni menara lainnya. Saat ini banyak warga yang tidak mengerti sepenuhnya hubungan antara agama dengan Pancasila. 

 

Oleh karenaa itu, terhadap kelompok masyarakat yang dipersepsikan anti Pancasila disebabkan karena miss persepsi dan terhadap mereka bukannya dilakukan intimidasi dan kekerasan, melainkan perlu dikedepankan semangat merangkul atau menggalang mereka.

 

Miss persepsi ini bisa disebabkan beberapa faktor. Yang biasa terjadi di Indonesia, miss persepsi terjadi karena adanyaoral tradition.Oral tradition adalah pandangan yang berasal dari mulut ke mulut tanpa dapat dipertanggungjawabkan.

 

Hanya saja, masyarakat malah menanggap informasi itu sepenuhnya benar. Kemudian dilanjutkan dengan mengkritik pihak lain dengan informasi yang belum pasti kebenarannya itu. Memang butuh waktu panjang untuk terus memberikan klarifikasi terhadap hal-hal seperti ini.

 

Meminimalisir pengaruh kelompok anti Pancasila dapat dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu militansi dan idealisme mereka terhadap nilai dan norma yang sudah mereka yakini lebih benar dibandingkan Pancasila, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Daulah (JAD), kelompok Anarko (sebuah kelompok berideologi anarkis yang cukup berkembang di kalangan mahasiswa. 

 

Kelompok ini memiliki faham kebebasan yang diterapkan oleh anak punk dengan menganut paham filsuf kebebasan anti pemerintah serta ketidakpercayaan terhadap negara, termasuk ideologinya).

 

Kelompok libertas atau kelompok yang memiliki paham anti kemapanan dan kelompok sindikalis sebuah kelompok punk anti kemapanan. Kelompok anarko, libertas dan sindikalis adalah kelompok yang memicu aksi anarkis pembakaran Pos Polisi di depan UIN Yogyakarta bertepatan dengan aksi buruh memperingati Mayday 1 Mei 2018 yang lalu. 

 

Terhadap kelompok ini, maka prosentasi keberhasilan merangkul atau menggalang mereka jelas akan memerlukan waktu yang lama, namun dengan semakin membaiknya perekonomian nasional dan stabilitas keamanan yang semakin terjaga, maka trust dan obeydience masyarakat terhadap pemerintah dan negara akan meningkat, sehingga manuver kelompok-kelompok radikal dengan sendirinya tidak akan laku jual ditengah masyarakat kita. Semoga.

 

Penulis adalah alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) Program Studi Kajian Stratejik Intelijen (KSI). (Oleh: Toni Ervianto)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com