Harianmomentum.com--Tidak ada
satupun negara di dunia ini yang tidak iri atau cemburu kepada Indonesia.
Mengapa? Indonesia adalah negara tercantik, kaya dan eksotik diseluruh dunia,
sehingga benar para pemikir zaman dahulu menyebut Indonesia sebagai “jamrud
katulistiwa.”
Betapa
tidak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia memiliki lebih dari
17.100 pulau, memiliki lebih dari 1.128 etnis, 746 bahasa yang beragam, 1.000
macam makanan tradisional dan keanekaragaman hayati. Nemiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan total panjang 99.093 Km, serta
memiliki 8 situs budaya warisan dunia.
Sebanyak 483 etnik dan 719 bahasa di Indonesia
merupakan kristalisasi empat gelombang migrasi leluhur manusia Indonesia sejak
50.000 tahun lalu (Prof. Herawati Sudoyo, ahli genetika Lembaga Biologi Mokuler
Eijkman). Kecantikan dan keindahan serta harmonisasi di Indonesia semakin
menguat dan mengkristal, karena diikat dalam satu ideologi atau falsafah negara
yaitu Pancasila.
Keunikan dan kecanggihan Pancasila dalam
mengawal dan menjaga eksistensi Indonesia diakui berbagai pemimpin Timur
Tengah, Afrika dan bahkan Hillary Clinton saat menjabat sebagai Menlu Amerika
Serikat.
Tidak hanya itu saja, Pancasila
sebagai dasar negara juga dikagumi ulama-ulama besar dunia, salah satunya Grand
Syaikh Al-Azhar Mesir, Ahmad Tayyeb yang pernah dinobatkan sebagai ulama paling
berpengaruh di dunia oleh The Royal Islamic Strategis Studies Center.
Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak
komprador asing ataupun kelompok kepentingan lainnya yang menjadi alat untuk
melakukan “proxy war” di Indonesia dengan merusak citra dan wibawa Pancasila.
Mereka beranggapan dengan
hilangnya eksistensi Pancasila, maka gampang untuk merusak dan mengendalikan
Indonesia, karena sudah tidak ada yang mengikat atau menjaga persatuan
Indonesia. “Proxy war” untuk merusak Indonesia dilakukan melalui beberapa isu
strategis antara lain: radikalisme dan terorisme, berkembangnya hoax di Medsos,
dan upaya-upaya membenturkan Pancasila dengan agama.
Pertanyaannya adalah apakah Pancasila dapat
mengatasi semua tantangan ini dan terus dapat menjaga Indonesia? Jawabannya
adalah bisa, sebab jika kita gagal menjaga Indonesia dengan menerapkan
Pancasila, maka bubarnya negara ini akan menjadi “condition sine quanon” dan
“point of no return” yang akan mengecewakan masa depan generasi bangsa.
Merebaknya radikalisme dan terorisme Presiden
Jokowi saat membentuk UKP Pancasila berharap nilai-nilai Pancasila berada di
dalam semua kebijakan pemerintah dan pendidikan di Indonesia. Dengan begitu,
masyarakat Indonesia tidak lagi rentan terpengaruhi paham-paham radikal dan
sikap intoleran terhadap sesama.
Harapan Presiden ini cukup realistis, sebab
menurut hasil penelitian UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 2017 dengan 1522
siswa SMA dan 337 mahasiswa menghasilkan 58,8% responden menyetujui ideologi
kekerasan radikal, dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama.
Temuan menarik penelitian ini 54,87% mereka belajar keagaman melalui internet.
Data yang sama disampaikan Asosiasi Penyedia
Jasa Internet Indonesia tahun 2017 menyebutkan 42,55% pengguna di internet di
Indonesia mengakses internet untuk mendapatkan informasi keagamaan.
Sementara itu, temuan riset Maarif Institut pada
April sampai Oktober 2017 kepada pelajar SMA sederajat di 4 kota (Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Semarang) menyebutkan sebanyak 63% belajar intoleransi
dari internet.
Merebaknya radikalisme dan
terorisme juga dilakukan dengan menyebarkan konten- konten radikal melalui
media massa dan aplikasi percakapan telah menjadi fenomena global yang tidak
boleh dianggap enteng, apalagi pasca terdesaknya Islamic State (IS) di Suriah
dan Irak.
Setidaknya ada sekitar 200 anggota IS yang sudah
kembali ke negara masing-masing untuk menyebarkan terorisme. Saat ini, jumlah
simpatisan kelompok radikalisme diduga terus bertambah sebagai salah satu
fenomena yang diakibatkan media sosial dan saluran percakapan.
Dampaknya banyak anak dan kaum hawa yang
terpapar ideologi radikal yang berpotensi menjadi foreign terrorist fighters
(FTF) jika tidak diperhatikan secara serius.
Secara sosiologis, setidaknya ada 3 gejala yang
dapat ditengarai dari paham radikalisme, yaitu : pertama, merespons terhadap
kondisi sosial politik dan ekonomi yang sedang terjadi dalam bentuk penolakan
dan perlawanan. Terutama aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan
dengan keyakinannya.
Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan
kehendak untuk mengubah keadaan secara mendasar ke arah cara pandang dan ciri
berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu. Ketiga, menguatkan
sendi-sendi keyakinan tentang kebenaran ideologi yang diyakininya lebih unggul
daripada yang lain.
Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak
pada sikap penafian dan penegasian sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, ada
pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan
secara emosional-agresif (Endang Turmudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia.
ed (2005).
Proses perekrutan anggota ISIS menjadi efektif
karena tiga hal yaitu pertama, target sasaran biasanya adalah individu-individu
yang sedang mengalami masalah pribadi, biasanya terkait dengan isu sosial,
ekonomi dan politik. Kedua, sang perekrut membungkus pesan-pesan mereka dengan
istilah agama yang menakutkan, terutama bagi orang yang baru belajar agama
Islam.
Ketiga, para perekrut ini seringkali menggunakan
simbol-simbol kesalehan yang diyakini secara umum oleh masyarakat kita seperti
pemakaian sorban, baju gamis dan adanya tanda hitam (belas sholat) di jidat
mereka (Noor Huda Ismail, Amunisi Baru Melawan ISIS, 2017).
Disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat :
Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang
selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara
menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan
ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan
dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri
doktriner dengan memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku.
Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan
dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.
Sedangkan, Oliver Roy dalam tulisan “Who are the
New Jihadis?”, banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus Islamisasi
radikalisme sebagai cara meraih kekuasaan dan merebut pengaruh sosial di
kalangan masyarakat “terrorism does not arise from radicalization of Islam, but
from the Islamization of radicalism”.
Menghadapi serangan gencar dan militan dari
kelompok-kelompok anti Pancasila, akan menjadi tantangan besar bagi bangsa
Indonesia, khususnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Negara bersama
rakyatnya harus juga mendongkrak semangat militansi untuk mempertahankan
ideologi negara tersebut.
Oleh karena itu, menarik jika ada upaya-upaya
kreatif untuk mempertahankan eksistensi Pancasila melalui penyusunan haluan
negara terkait bagaimana menyelamatkan Pancasila ditengah-tengah ideologi
transnasional; pembentukan dan pelatihan kader-kader Pancasila; pelibatan TNI
dalam siskamling ideologi bahkan penguatan jejaring sosialisasi dan penguatan
Pancasila melalui cegah dini dan deteksi dini untuk meminimalisir ancaman
terhadap ideologi Pancasila.
Last but not least, perlu ada penguatan
“Pancasila judiciary system” dengan tujuan agar para penegak hukum dan keadilan
tidak terinfiltrasi paham-paham ideologi transnasional. Kita patut berbangga
dengan sikap hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menolak gugatan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kita mengharapkan nasionalisme PN Jaktim ini
juga merembes ke Mahkamah Agung (MA) sebagai penjaga keadilan di Indonesia yang
diharapkan juga akan menolak kasasi yang dilakukan pihak HTI.
Berkembangnya hoax di Medsos Radikalisasi di
dunia maya semakin menjadi ancaman nyata. Kelompok atau individu cukup
mengakses Medsos untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendidikan paham radikal,
cara dan tips menyiapkan aksi teror, hingga layanan jual beli perlengkapan
serangan teror.
Radikalisasi di dunia maya patut diduga akan
menyasar generasi muda sebagai sasaran utamanya. Menurut Sosiolog Jerman
kelahiran Hungaria, Karl Manheim (1893 s.d 1947) dalam artikel berjudul The
Problem of Generation. Sementara itu, menurut Tom Brokaw dalam The Greatest
Generation (1998) menyebutkan ada lima ciri generasi milenial yaitu, melek
teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada
multimedia dan membuat konten internet.
Dalam buku berjudul Indonesia 2020: The urban
middle class milenial (2016) Hasanudin Ali dan Lili Purwandi menyebutkan Urban
middle class milenial memiliki ciri 3C yakni Creative, Connected dan Confidence.
Menurut data Survei Masyarakat Telematika (2018)
terungkap, bahwa saluran penyebaran hoaks melalui media sosial menduduki posisi
paling tinggi (92,40%), jenis hoaks yang diterima berkaitan dengan tema sosial
politik juga menduduki posisi paling tinggi (91,80%) menyusul soal SARA, dan rentang
waktu responden menerima hoaks paling tinggi setiap hari (44,30%). Sementara
itu, bentuk hoaks yang sering diterima paling tinggi berbentuk tulisan
(62,10%), menyusul gambar (37,50%), dan video (0,40%).
Berkembangnya hoax di Medsos sangat sulit dihapuskan
disebabkan beberapa faktor antara lain : Pertama, hoaks adalah gangguan dan
bentuk perlawanan. Kedua, hoaks adalah cermin dari orang-orang penakut dan
tidak jantan. Sebenarnya, dalam iklim demokratis saat ini kompetisi politik
yang sehat diberikan dalam ruang yang lebih luas.
Orang bisa mengemukakan pendapatnya tanpa merasa
dihambat. Apalagi saat ini sudah banyak saluran komunikasi yang bisa dijadikan
alat penyaluran.
Fenomena merebaknya hoax di Medsos juga telah
membuat indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran setidaknya menurut
hasil riset The Economist (2017).
Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya
peringkat Indeks Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah
di DKI Jakarta yang banyak sekali dinamikanya. Dilihat dari klasifikasi rezim,
Indonesia termasuk dalam flawed democracy.
Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara
ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati
kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan,
budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi
politik.
Demokrasi di Indonesia sepintas
hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya
pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam
beberapa kasus terabaikan.
Kondisi kebangsaan di era milenial juga
diperburuk dengan sejumlah fenomena yang berkembang tidak terkendali. Menurut
Yudi Latief, intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban dengan cepat
melambungkan industri kebohongan (hoaks).
Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan
inklusif sebagai warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan
mitos-mitos baru yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar
ilmiah, dengan tujuan untuk menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan
baru secara dogmatis dan fasistis.
Tiba-tiba saja, kita menyaksikan
jutaan pemuda hari ini hanyut dalam gelombang arus balik dari samudra
kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil primordial.
Bayangan komunitas imajiner kekitaan menyempit,
dipenggal-penggal kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku, dan
golongan. Indonesia seperti cermin yang jatuh, lantas pecah berkeping-keping.
Setiap orang melihat bayangan komunitasnya dari sudut kepentingan dan golongan
masing-masing.
Dalam tendensi meluasnya gejala
polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum muda hari ini ditantang kembali
mengemban misi emansipatorisnya.
Dalam kaitan ini, tantangannya adalah hendaklah
diingat pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan pelopor selalu
merupakan minoritas kreatif. Minoritas kreatif pemuda hari ini bergerak
sendiri-sendiri atau dalam kelompok terbatas.
Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat
partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan
minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit terkucil. Munculnya medsos baru
dengan kecenderungan individuasi yang sangat kuat kian memperkuat tendensi ke
arah atomisasi kekuatan kreatif.
Sesekali jaringan kesadaran yang merambat
melalui medsos memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan
korektif, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali
sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.
Oleh karena itu, upaya simultan “menyembuhkan”
dan merangkul kelompok atau segmen masyarakat yang terpapar ideologi diluar
Pancasila, maka proses deradikalisasi perlu diimbangi dengan penanaman kembali
ideologi Pancasila terhadap mereka.
Disamping itu, juga perlu dilakukan kontra
narasi terhadap kelompok-kelompok anti Pancasila di berbagai saluran Medsos
bekerjasama dengan komunitas warganet untuk mencegah semakin banyaknya generasi
milenial yang tergalang kelompok radikal.
Disisi yang lain, siber patrol terhadap hoax,
hate-speech dan narasi-narasi anti Pancasila juga perlu diintensifkan, dimana
BPIP dapat bekerjasama dengan Siber Crime Bareskrim Mabes Polri, Badan Sandi
dan Siber Nasional (BSSN) serta Badan Intelijen Negara (BIN).
Last but not least, upaya BPIP dalam rangka
membina dan menguatkan eksistensi Pancasila melalui berbagai lomba termasuk
lomba membuat film pendek tentang Pancasila, meme tentang Pancasila, esai
tentang Pancasila dan lagu tentang Pancasila adalah upaya “breakthrough” untuk
“menjual” dan “memodernisasi” sosialisasi dan pembinaan Pancasila sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga tidak dinilai sebagai kegiatan yang bersifat
dogmatis dengan outcome yang kurang jelas.
Upaya-upaya membenturkan Pancasila dengan agama
Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Ahmad Tayyeb yang pernah dinobatkan sebagai ulama
paling berpengaruh di dunia oleh The Royal Islamic Strategis Studies Center
menilai rumusan Pancasila bukan hanya sekedar sejalan dengan Islam, akan tetapi
setiap butir dalam Pancasila merupakan esensi ajaran Islam yang harus
diperjuangkan.
Secara eksplisit, pernyataan ulama nomor wahid
di dunia yang juga aktif memoderasi Islam tersebut menunjukkan Pancasila
merupakan dasar negara yang ideal untuk Indonesia sebagai negara yang memiliki
masyarakat yang beragam. Namun sayangnya, diakui atau tidak, di era milenial
saat ini berbagai masalah penurunan nilaiPancasila di tengah masyarakat ketika
dibentuk.
Salah satunya, meredam bahkan menghilangkan
pembenturan antara agama dengan Pancasila. Padahal, agama dan Pancasila tidak
bisa dibandingkan satu sama lain, sebab keduanya merupakan dua hal berbeda yang
saling mengisi.
Ketua BPIP, Dr. Yudi Latief mengibaratkan, agama
sebagai sebuah menara yang menjulang tinggi atau vertikal. Setiap menara diisi
oleh pemeluk agama masing-masing. Setiap penghuni menara tentu harus
berkomunikasi dengan penghuni menara lainnya. Karena itu, mereka butuh
jembatan.
Pancasila inilah yang menjadi jembatan bagi para
penghuni menara untuk berkomunikasi dengan penghuni menara lainnya. Saat ini
banyak warga yang tidak mengerti sepenuhnya hubungan antara agama dengan
Pancasila.
Oleh karenaa itu, terhadap kelompok masyarakat
yang dipersepsikan anti Pancasila disebabkan karena miss persepsi dan terhadap
mereka bukannya dilakukan intimidasi dan kekerasan, melainkan perlu
dikedepankan semangat merangkul atau menggalang mereka.
Miss persepsi ini bisa disebabkan beberapa
faktor. Yang biasa terjadi di Indonesia, miss persepsi terjadi karena
adanyaoral tradition.Oral tradition adalah pandangan yang berasal dari mulut ke
mulut tanpa dapat dipertanggungjawabkan.
Hanya saja, masyarakat malah
menanggap informasi itu sepenuhnya benar. Kemudian dilanjutkan dengan
mengkritik pihak lain dengan informasi yang belum pasti kebenarannya itu.
Memang butuh waktu panjang untuk terus memberikan klarifikasi terhadap hal-hal
seperti ini.
Meminimalisir pengaruh kelompok anti Pancasila
dapat dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu militansi dan idealisme mereka
terhadap nilai dan norma yang sudah mereka yakini lebih benar dibandingkan
Pancasila, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Jamaah Anshorut Daulah (JAD), kelompok Anarko (sebuah kelompok
berideologi anarkis yang cukup berkembang di kalangan mahasiswa.
Kelompok ini memiliki faham kebebasan yang
diterapkan oleh anak punk dengan menganut paham filsuf kebebasan anti
pemerintah serta ketidakpercayaan terhadap negara, termasuk ideologinya).
Kelompok libertas atau kelompok
yang memiliki paham anti kemapanan dan kelompok sindikalis sebuah kelompok punk
anti kemapanan. Kelompok anarko, libertas dan sindikalis adalah kelompok yang
memicu aksi anarkis pembakaran Pos Polisi di depan UIN Yogyakarta bertepatan
dengan aksi buruh memperingati Mayday 1 Mei 2018 yang lalu.
Terhadap kelompok ini, maka prosentasi
keberhasilan merangkul atau menggalang mereka jelas akan memerlukan waktu yang
lama, namun dengan semakin membaiknya perekonomian nasional dan stabilitas
keamanan yang semakin terjaga, maka trust dan obeydience masyarakat terhadap
pemerintah dan negara akan meningkat, sehingga manuver kelompok-kelompok
radikal dengan sendirinya tidak akan laku jual ditengah masyarakat kita. Semoga.
Penulis adalah alumnus Pasca Sarjana Universitas
Indonesia (UI) Program Studi Kajian Stratejik Intelijen (KSI). (Oleh: Toni
Ervianto)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com