Modus Ijon Politik

Tanggal 20 Jun 2018 - Laporan - 1316 Views
Ilustrasi.

Harianmomentum.com--Ketahanan energi atau energy security tampaknya belum cukup serius diperhatikan oleh policy maker dan stakeholders terkait.

 

Padahal energi akan menjadi faktor sangat signifikan dan strategis untuk tetap menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan memperkuat ketahanan bangsa menghadapi persaingan global yang diperkirakan  semakin brutal dan menggunakan “brute force” dengan beragam cara menekan negara-negara pesaingnya.

 

Dua contoh besar bagaimana masalah ketahanan energi kurang mendapatkan perhatian serius adalah dalam masalah adanya modus “ijon politik atau menggadaikan” aset sumber daya alam untuk modal kemenangan dalam Pilkada 2018 dan pembangunan smelter atau pemurnian hasil penambangan yang masih “jalan ditempat”

 

Modus Ijon Politik

 

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengungkapkan temuan enam modus ijon politik tambang di Indonesia.

 

Temuan ini disampaikan Pengkampanye Jatam Nasional Debby Manalu dalam diskusi publik “Mewaspadai Ijon Politik Tambang

 

Dalam Pilkada Bengkulu Tengah” di Bengkulu belum lama ini. “Enam modus ini temuan Jatam dan jaringan lapangan yang diperkuat hasil focus group discussion (FGD) di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan terkait tambang batubara, pada September 2016,” terang Debby.

 

Enam modus tersebut meliputi kekuasaan politik, produk kebijakan, bargaining politik, kroni, jaminan politik dan keamanan, dan investasi langsung. Modus kekuasaan politik misalnya, terlihat pada pemberian izin, penyalahgunaan wewenang, dan pembiaran pelanggaran.

 

Berikutnya, modus produk kebijakan berupa peraturan daerah, izin lingkungan, dan pengangkutan komoditas. Modus bargaining politik berupa bagi-bagi konsensi, saling mendukung periode kepemimpinan dan balas jasa, sementara modus kroni terlihat dari kedekatan penguasa dan pengusaha yang saling menguntungkan beserta keluarga.

 

“Modus jaminan politik dan keamanan berupa satuan tugas, pensiunan jenderal dan pengerahan aparat keamanan. Terakhir, modus investasi langsung seperti kepemilikan perusahaan atau saham, dan jabatan di perusahaan seperti direktur atau komisaris. Semua modus ini sangat penting untuk diwaspadai, terutama jelang pilkada,” tambah Debby.

 

Menurut laporan Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015, biaya untuk menjadi Wali Kota/Bupati sekitar Rp20 sampai  Rp30 miliar.

 

Sedangkan menjadi Gubernur mencapai Rp 20 sampai Rp 100 miliar. Tidak semua, calon tersebut memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. “Sehingga, mencari sponsor atau penyokong dana.

 

Di lain sisi, kondisi tersebut menjadi peluang pemilik perusahaan tambang batubara untuk menjadi sponsor. Ini bisa dilihat dari lonjakan pemberian izin menjelang atau sesudah pilkada.”

Karena itu, Pilkada tidak ubahnya sebagai ruang perebutan sumber daya alam bagi elit politik, kroni, dan korporasi. Bukan menjadi ruang untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

 

Catatan Jatam per Desember 2016, 44 persen wilayah Indonesia telah dikapling 10.338 IUP (Izin Usaha Pertambangan). Sebanyak 2.582 IUP berada di enam provinsi, tiga kota dan 92 kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 15 Februari 2017.


Dugaan adanya “modus ijon politik” dalam Pilkada 2018 dengan cara mempermudah ijin usaha penambangan (IUP) oleh petahana yang tidak dapat maju dalam Pilkada dikemukakan oleh 
Sikap Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Walhi Jawa Barat.

 

Di Bandung, Ki Bagus Hadi Kusuma, salah seorang aktivis JATAM mengatakan, terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjelang Pilkada Serentak patut diduga menjadi modus ijon politik antara politisi, baik itu kandidat, tim sukses ataupun partai politik, dengan para pebisnis pertambangan.

 

Sebanyak 34 IUP telah diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat pada 31 Januari 2018. Sementara itu, Dadan Ramdan yang juga Direktur Walhi Jawa Barat) mengatakan, dalam konteks Pilgub Jawa Barat, terdapat 34 Izin Pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Barat.

 

Rincianya 4 IUP eksplorasi, 7 IUP produksi perpanjangan, 21 IUP dan 2 izin produksi baru. Perpanjangan izin dan pengeluaran izin baru tersebut, ada indikasi kuat dengan kepentingan politik kandidat yang didukung oleh petahana. 

 

Sementara itu, di Kabupaten Halmahera BaratMaluku Utara, Imelda Tude dari LSM For Mama mengatakan, Danny Missy, SE, MM yang juga Bupati Halmahera Barat diduga melakukan kerjasama dengan PT. Try Usaha Baru (TUB) di Kecamatan Loloda terkait pendanaan kampanye salah satu Paslon yang didukungnya dalam Pilkada Malut 2018.

 

Hal tersebut diperkuat dengan ketidaktahuan DPRD Halmahera Barat terkait penyerahan aset Desa Tuakara yang masuk daerah tambang PT. TUB ke Pemda Halmahaera Barat.

 

Sementara itu, masalah wilayah lingkar tambang PT. TUB di Kecamatan Loloda hingga saat ini belum ada penyelesaian terkait kejelasan perjanjian kerjasama antara masyarakat pemilik lahan dengan PT. TUB.

 

Sedangkan, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah mengatakan, awal mula pertambangan batubara di Bengkulu, di wilayah Bengkulu Tengah pada 1980-an. Namun begitu, sampai saat ini masyarakat Bengkulu Tengah, terutama di sekitar lokasi tambang batubara hidup dalam kemiskinan. 

 

“Dari 26.264 rumah tangga di Bengkulu Tengah, sebanyak 12.008 rumah tangga berkategori miskin. Angka kemiskinan multidimesinya sebesar 46,16. Jadi, apa yang disampaikan elit kekuasaan bahwa tambang batubara akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak terbukti.” 

 

Sebaliknya, masyarakat Bengkulu Tengah mulai dihadapkan masalah air. DAS Air Bengkulu sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga karena tercemar limbah batubara. 

 

“Pembukaan tutupan hutan di areal IUP batubara juga akan memperparah konsumsi air di masa datang. Penguasaan lahan merupakan bukti ketidakadilan di Bengkulu Tengah yang memicu konflik pada pertengahan 2016, antara warga dengan PT. CBS (Cipta Buana Seraya),” ujar Beni Ardiansyah.

 

Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Bengkulu yang juga akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bengkulu Dr. Titiek Kartika Hendrastiti mengatakan, kondisi keruangan di Bengkulu Tengah akan menjadi masalah sangat serius. Terutama, faktor pertambahan penduduk, kemiskinan, dan ketersediaan pangan.

 

“Pencemaran batubara di sungai Bengkulu juga bisa mengakibatkan loss generation. Banyak perempuan di Bengkulu Tengah yang masih menyusui anak ikut mengumpulkan batubara dengan berendam di sungai hingga berjam. Padahal, aktivitas itu berdampak terhadap kesehatan reproduksi wanita,” ujar Titiek.


Di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara mengatakan, indikasi 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah menunjukkan adanya kepentingan politik dari Cagub malut.

 

Selain tidak mencerminkan aspek keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, permasalahan ini juga merugikan sejumlah besar masyarakat. Lebih buruk, kasus terkait IUP terkesan ditutupi selama Pilgub Malut 2018 berlangsung agar tidak mempengaruhi elektabilitas paslon tertentu.


Di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Pradarma Rupang yang merupakan dinamisator Jaringan Advokasi Tambang  Kalimantan Timur mengatakan, semua Paslon Pilkada Kaltim 2018 memiliki rekam jejak buruk dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

 

Paslon Nomor Urut 1 (Andi Sofyan Hasdam-Rizal Effendi) dinilai tidak memiliki rekam jejak dalam upaya konservasi lingkungan, terutama pasca penambangan batubara. Sedangkan, Paslon Nomor Urut 2 (Syahrie Jaang-Awang Ferdian), sebagai calon petahana, Syaharie Ja’ang, telah menerbitkan 63 IUP yang mencakup 71% luas Kota Samarinda yang berdampak pada semakin meluas wilayah yang terkena banjir.

 

Sementara, Paslon Nomor Urut 3 (Isran Noor-Hadi Mulyadi), sebagai Mantan Bupati Kutai Timur, Isran Noor memiliki sejumlah kasus yang terkait tambang dan tercatat telah melegalkan 161 IUP.  

 

Selanjutnya, Paslon Nomor Urut 4 (Rusmadi Wongso-Saffarudin), selama menjabat sebagai koordinator penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kaltim, Rusmadi Wongso tidak pernah mengumumkan izin IUP yang bermasalah. Sementara pasangannya,

 

Saffaruddin yang telah menjabat dua tahun sebagai Kapolda Kaltim, juga dinilai minim prestasi penegakan hukum di bidang lingkungan. 


Sementara, d
i Kabupaten Belitung, Babel, Pipin Haryanto yang juga Ketua Gabungan Pecinta Alam Belitung mengatakan, penerbitan IUP sudah sepenuhnya kewenangan di tingkat Provinsi, sehingga pemanfaatan penerbitan IUP untuk ijon politik pemilihan bupati dan wakil bupati sudah tidak bisa lagi. Terkecuali apabila antara Calon Bupati dengan Gubernur memiliki kedekatan hubungan politik.


Teori ijon politik

 

Sistem ijon adalah budaya masyarakat tani tempo doeloe dan bahkan sampai sekarang mungkin masih tetap berlangsung di kalangan masyarakat tani beberapa wilayah di Indonesia.

 

Biasanya pengijon akan membeli tanaman padi ataupun buah-buahan yang masih hijau, tentunya dengan harga miring alias murah. Harapan dari seorang pengijon adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan masyarakat yang kepepet kebutuhan sehari-hari.

 

Menurut Dr. Faried Wijaya M, MA, dalam bukunya berjudul “Perkreditan & Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita”, yang diterbitkan BPFE Yoyakarta tahun  1991 mengatakan, ijon merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan.

 

Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. 

 

Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.  

 

Petualang politik di Indonesia rupanya banyak juga yang mengadopsi strategi ala pengijon. Ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, mereka tidak segan membeli suara dari konstituen. Sebagian besar konstituen yang awampun menganggap kalau tidak sekarang kapan lagi dapat menikmati uang mereka.

 

Seiring dengan penyebaran rezim demokrasi  di negara-negara berkembang, politik ijon adalah bagian dari money politics atau politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang ketiga.

 

Studi Josephine T. Andrews dan Kris Inman, dalam makalah berjudul “Explaining Vote Choice in Africa’s Emerging Democracies”, yang dipresentasikan dalam Midwest Political Science Association, 2009, halaman 3 tentang perilaku pemilih di tujuh negara Afrika yang paling demokratis menurut Freedom House, misalnya, menemukan fakta adanya jual beli suara (politik ijon atau money politics).

 

Dengan menggunakan data survei Afrobarometer Tahap 3 tahun 2005, mereka menemukan Ghana adalah negara paling rentan mengalami praktik politik uang atau jual beli suara dengan kisaran 42% warganya yang mengaku ditawari uang atau hadiah sewaktu pemilu.

 

Banyak ahli ilmu politik yang percaya bahwa patron-klien adalah penyebab merebaknya prak­tik money politics yang juga didalamnya termasuk politik ijon di negara-negara berkembang. Literatur kesarjanaan dalam studi klientelisme dapat dibagi menjadi tiga aliran.

 

Pertama, aliran determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Menurut kubu ini, klientelisme digambarkan sebagai warisan zaman pramodern dalam  relasi sosial-politik. Patron-klien dinilai sebagai bagian intrinsik Dunia Ketiga yang relatif masih miskin dengan tingkat buta huruf yang tinggi.

 

Mereka “tidak modern” menurut Martin Seymour Lipset dalam artikelnya yang berjudul ”Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Politi­cal Legitimacy" yang dimuat dalam American Political Science Review yang terbit tahun 1959 di halaman ke 69 sampai 105. Padahal, demokrasi hanya mungkin bisa diterapkan dalam masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang memadai.

 

Kubu kedua adalah argumen kebudayaan. Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya di mana kelompok yang mempunyai keistimewaan tertentu (patrons) memberikan uang atau keuntungan sebagai imbalan atas loyalitas pengikutnya (clients).

 

Ayokunle Olumuyiwa Omobowale menulis artikel ilmiah berjudul “Clientelism and Social Structure: AnAnalysis of Patronage inYoruba Social Thought”, Afrika Spectrum, Vol. 43, No. 2,2008, Hamburg: GIGA Institute of African Affairs, halaman 203 menulis

 

Clientelism (patronage) is definitely not a novel social phenomenon. Though it is a non-material aspect of culture, its ontological reality is accepted, not just because it is said to exist, but because of the potency of its inherent exchange relationship, which brings patrons and clients together for the interchange of valued resources beyond the direct control of each actor (i.e. patron and client) within the social structurer”.

 

Berdasarkan pendapat Omobowale di atas, klientelisme dianggap bukan sekadar hubungan sosial, tetapi juga sebuah “political subcultures". Hal senada dikemukakan D. Jaensch dalam bukunya berjudul “The Politics of Australia, (Melboume: Macmillan, 1992), halaman 22-23 dan Gianni Zappala, dalam artikel ilmiah berjudul “Clientelism, Political Culture and Ethnic Politics in Australia”, Australian Journal of Political Science, Volume 33, No. 3, 2010, halaman 381-397.

 

Kubu ketiga dalam studi klientelisme adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi politik berjasa menyebarkan praktik patron-klien, misalnya pemilu yang kompetitif dan sistem multipartai ditengarai menjadi penyebab maraknya patronase politik dalam sistem Pemilu, desentralisasi, dan proses pengambilan keputusan, baik di legislatif maupun eksekutif, seperti ditulis Philip Keefer, di artikelnya berjudul “Democratization and Clientelism: Why are Young Democracies Badly Govemed?”, dalam World Bank Policy Research Paper 3594 (May 2005), halaman 24-25.

 

Wolfgang Muno, dalam tulisannya berjudul “Conseptualizing and Measuring Clientelism”, dalam Workshop Neopatrimonialism in Various World Regions, (Hamburg: GIGA German Institute of Global and Area Studies, 2010), E. Scheiner.

 

Maria Pilar Garcia-Guadilla and Carlos Perez dalam “Democracy, Decentralization, and Clientelism: New Relationships and Old Practices”, Latin American Perspectives, Volume 29, No. 5, 2002, halaman 90-109. Bagi kubu ini, patron-klien makin menarik bagi politisi di negara yang integrasi sistem politiknya masih buruk, pembelahan etnik  yang kuat, dan performa ekonomi yang lemah.

 

Menurut Guillermo O’Donnel, dalam bukunya berjudul “Another Institutionalization: Latin America and Elsewhere”, Kellog Institute Working Paper, halaman 222, yang terbit tahun 1996.

 

Sistem politik informal harus dipahami karena fokus eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal akan mengabaikan perhatian kita kepada informal politics yang justru lebih berpengaruh dalam  menentukan institusi politik.

 

Mengabaikan informal po litics seperti patrimonialisme dan patron-klien akan membuat kita kehilangan “rules of the game” yang sering bersifat tidak tertulis, tapi berurat akar sejak lama, seperti dikemukakan  Gretchen Helmke dan Steven Levitsky, dalam bukunya “Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda”, Kellog InstituteWorking Paper, halaman 307, yang terbit pada September, 2003.

 

Kesepakatan antara pengusaha sebagai penyandang dana politik dengan kandidat kepala daerah yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah telah melahirkan politik ijon.

 

Bantuan dana politik inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang Pilkada dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan, tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.

 

Untuk itu perlu peningkatan pengawasan dari berbagai elemen dalam mengeliminir terjadinya politik ijon dalam Pilkada Seretak 2018. 

 

Politik ijon terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai penyandang dana politik dengan para politisi (kandidat, parpol, timses) yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah.

 

Bantuan dana politik inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang Pilkada dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan, tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.

 

Untuk perlu adanya pengawasan dari berbagai elemen dalam mengeliminir terjadinya politik ijon dalam Pilkada Seretak 2018. Berlanjutnya, praktik politik ijon akan menciptakan pemerintahan yang bersifat plutarchy atau pemerintahan yang dikuasai atau dikendalikan kelompok oligarki kaya di daerah tersebut. (**)

 

Penulis: Dr. Winata, alumnus doktor Universitas Padjadjaran, Bandung.

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


Kebun PTPN VII Bumper Ekologis Kota Bandarlam ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Kebun Karet PTPN VII Bumper merupakan sa ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com