Harianmomentum.com--Ketahanan
energi atau energy security tampaknya belum cukup serius
diperhatikan oleh policy maker dan stakeholders terkait.
Padahal energi akan menjadi faktor sangat signifikan dan strategis untuk
tetap menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan memperkuat ketahanan bangsa
menghadapi persaingan global yang diperkirakan semakin brutal dan menggunakan “brute force”
dengan beragam cara menekan negara-negara pesaingnya.
Dua contoh besar
bagaimana masalah ketahanan energi kurang mendapatkan perhatian serius adalah
dalam masalah adanya modus “ijon politik atau menggadaikan” aset sumber daya
alam untuk modal kemenangan dalam Pilkada 2018 dan pembangunan smelter atau
pemurnian hasil penambangan yang masih “jalan ditempat”
Modus Ijon Politik
Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) Nasional mengungkapkan temuan enam modus ijon politik tambang
di Indonesia.
Temuan ini disampaikan
Pengkampanye Jatam Nasional Debby Manalu dalam diskusi publik “Mewaspadai Ijon
Politik Tambang
Dalam Pilkada Bengkulu
Tengah” di Bengkulu belum lama ini. “Enam modus ini temuan Jatam dan jaringan
lapangan yang diperkuat hasil focus group discussion (FGD) di
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan
terkait tambang batubara, pada September 2016,” terang Debby.
Enam modus tersebut
meliputi kekuasaan politik, produk kebijakan, bargaining politik, kroni,
jaminan politik dan keamanan, dan investasi langsung. Modus kekuasaan politik
misalnya, terlihat pada pemberian izin, penyalahgunaan wewenang, dan pembiaran
pelanggaran.
Berikutnya, modus produk
kebijakan berupa peraturan daerah, izin lingkungan, dan pengangkutan komoditas.
Modus bargaining politik berupa bagi-bagi konsensi, saling mendukung periode
kepemimpinan dan balas jasa, sementara modus kroni terlihat dari kedekatan
penguasa dan pengusaha yang saling menguntungkan beserta keluarga.
“Modus jaminan politik
dan keamanan berupa satuan tugas, pensiunan jenderal dan pengerahan aparat
keamanan. Terakhir, modus investasi langsung seperti kepemilikan perusahaan
atau saham, dan jabatan di perusahaan seperti direktur atau komisaris. Semua
modus ini sangat penting untuk diwaspadai, terutama jelang pilkada,” tambah
Debby.
Menurut laporan Studi
Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015, biaya untuk menjadi Wali
Kota/Bupati sekitar Rp20 sampai Rp30
miliar.
Sedangkan menjadi
Gubernur mencapai Rp 20 sampai Rp 100 miliar. Tidak semua, calon tersebut
memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. “Sehingga, mencari
sponsor atau penyokong dana.
Di lain sisi, kondisi
tersebut menjadi peluang pemilik perusahaan tambang batubara untuk menjadi
sponsor. Ini bisa dilihat dari lonjakan pemberian izin menjelang atau sesudah
pilkada.”
Karena itu, Pilkada
tidak ubahnya sebagai ruang perebutan sumber daya alam bagi elit politik,
kroni, dan korporasi. Bukan menjadi ruang untuk memperjuangkan kehidupan
masyarakat yang lebih baik.
Catatan Jatam per
Desember 2016, 44 persen wilayah Indonesia telah dikapling 10.338 IUP (Izin
Usaha Pertambangan). Sebanyak 2.582 IUP berada di enam provinsi, tiga kota dan
92 kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 15 Februari 2017.
Dugaan adanya “modus ijon politik” dalam Pilkada 2018 dengan cara mempermudah
ijin usaha penambangan (IUP) oleh petahana yang tidak dapat maju dalam Pilkada
dikemukakan oleh Sikap Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Walhi Jawa Barat.
Di Bandung, Ki Bagus Hadi Kusuma, salah
seorang aktivis JATAM mengatakan, terbitnya Izin
Usaha Pertambangan (IUP) menjelang Pilkada Serentak patut diduga menjadi modus
ijon politik antara politisi, baik itu kandidat, tim sukses ataupun partai
politik, dengan para pebisnis pertambangan.
Sebanyak
34 IUP telah diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat pada 31 Januari 2018. Sementara itu, Dadan Ramdan
yang juga Direktur Walhi Jawa
Barat)
mengatakan, dalam konteks Pilgub Jawa Barat, terdapat 34 Izin Pertambangan yang
dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Barat.
Rincianya 4 IUP eksplorasi, 7 IUP produksi
perpanjangan, 21 IUP dan 2 izin produksi baru. Perpanjangan izin dan
pengeluaran izin baru tersebut, ada indikasi kuat dengan kepentingan politik
kandidat yang didukung oleh petahana.
Sementara itu, di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Imelda Tude dari LSM For Mama
mengatakan, Danny Missy, SE, MM yang juga Bupati Halmahera Barat diduga
melakukan kerjasama dengan PT. Try Usaha Baru (TUB) di Kecamatan Loloda terkait pendanaan kampanye salah
satu Paslon yang didukungnya dalam Pilkada Malut 2018.
Hal
tersebut diperkuat dengan ketidaktahuan DPRD Halmahera Barat terkait penyerahan
aset Desa Tuakara yang masuk daerah tambang PT. TUB ke Pemda Halmahaera Barat.
Sementara
itu, masalah wilayah lingkar tambang PT. TUB di Kecamatan Loloda hingga saat
ini belum ada penyelesaian terkait kejelasan perjanjian kerjasama antara
masyarakat pemilik lahan dengan PT. TUB.
Sedangkan, Direktur Eksekutif
Walhi Bengkulu Beni Ardiansyah mengatakan, awal mula
pertambangan batubara di Bengkulu, di wilayah Bengkulu Tengah pada 1980-an.
Namun begitu, sampai saat ini masyarakat Bengkulu Tengah, terutama di sekitar
lokasi tambang batubara hidup dalam kemiskinan.
“Dari
26.264 rumah tangga di Bengkulu Tengah, sebanyak 12.008 rumah tangga
berkategori miskin. Angka kemiskinan multidimesinya sebesar 46,16. Jadi, apa
yang disampaikan elit kekuasaan bahwa tambang batubara akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak terbukti.”
Sebaliknya,
masyarakat Bengkulu Tengah mulai dihadapkan masalah air. DAS Air Bengkulu sudah
tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga karena tercemar
limbah batubara.
“Pembukaan
tutupan hutan di areal IUP batubara juga akan memperparah konsumsi air di masa
datang. Penguasaan lahan merupakan bukti ketidakadilan di Bengkulu Tengah yang
memicu konflik pada
pertengahan 2016, antara warga dengan PT. CBS (Cipta Buana Seraya),” ujar Beni Ardiansyah.
Aktivis Koalisi
Perempuan Indonesia Wilayah Bengkulu yang juga akademisi Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Bengkulu Dr. Titiek Kartika Hendrastiti mengatakan,
kondisi keruangan di Bengkulu Tengah akan menjadi masalah sangat serius.
Terutama, faktor pertambahan penduduk, kemiskinan, dan ketersediaan pangan.
“Pencemaran batubara di
sungai Bengkulu juga bisa mengakibatkan loss generation. Banyak
perempuan di Bengkulu Tengah yang masih menyusui anak ikut mengumpulkan
batubara dengan berendam di sungai hingga berjam. Padahal, aktivitas itu berdampak
terhadap kesehatan reproduksi wanita,” ujar Titiek.
Di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara,
Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku
Utara mengatakan, indikasi 27 Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah
menunjukkan adanya kepentingan politik dari Cagub malut.
Selain tidak
mencerminkan aspek keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam, permasalahan
ini juga merugikan sejumlah besar masyarakat. Lebih buruk, kasus terkait IUP
terkesan ditutupi selama Pilgub Malut 2018 berlangsung agar tidak mempengaruhi
elektabilitas paslon tertentu.
Di
Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Pradarma Rupang yang merupakan dinamisator
Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur mengatakan, semua Paslon
Pilkada Kaltim 2018 memiliki rekam jejak buruk dalam penerbitan Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Paslon
Nomor Urut 1 (Andi Sofyan Hasdam-Rizal Effendi) dinilai tidak memiliki rekam
jejak dalam upaya konservasi lingkungan, terutama pasca penambangan batubara.
Sedangkan, Paslon Nomor Urut 2 (Syahrie Jaang-Awang Ferdian), sebagai calon
petahana, Syaharie Ja’ang, telah menerbitkan 63 IUP yang mencakup 71% luas Kota
Samarinda yang berdampak pada semakin meluas wilayah yang terkena banjir.
Sementara,
Paslon Nomor Urut 3 (Isran Noor-Hadi Mulyadi), sebagai Mantan Bupati Kutai
Timur, Isran Noor memiliki sejumlah kasus yang terkait tambang dan tercatat
telah melegalkan 161 IUP.
Selanjutnya,
Paslon Nomor Urut 4 (Rusmadi Wongso-Saffarudin), selama menjabat sebagai
koordinator penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kaltim, Rusmadi
Wongso tidak pernah mengumumkan izin IUP yang bermasalah. Sementara
pasangannya,
Saffaruddin
yang telah menjabat dua tahun sebagai Kapolda Kaltim, juga dinilai minim
prestasi penegakan hukum di bidang lingkungan.
Sementara, di Kabupaten Belitung, Babel, Pipin Haryanto yang juga Ketua Gabungan Pecinta Alam
Belitung mengatakan, penerbitan IUP sudah sepenuhnya kewenangan di tingkat
Provinsi, sehingga pemanfaatan penerbitan IUP untuk ijon politik pemilihan
bupati dan wakil bupati sudah tidak bisa lagi. Terkecuali apabila antara Calon
Bupati dengan Gubernur memiliki kedekatan hubungan politik.
Teori ijon politik
Sistem
ijon adalah budaya masyarakat tani tempo doeloe dan bahkan
sampai sekarang mungkin masih tetap berlangsung di kalangan masyarakat tani
beberapa wilayah di Indonesia.
Biasanya
pengijon akan membeli tanaman padi ataupun buah-buahan yang masih hijau,
tentunya dengan harga miring alias murah. Harapan dari seorang pengijon adalah
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan masyarakat
yang kepepet kebutuhan sehari-hari.
Menurut
Dr. Faried Wijaya M, MA, dalam
bukunya berjudul “Perkreditan & Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan
Kita”, yang diterbitkan BPFE Yoyakarta
tahun 1991 mengatakan, ijon merupakan bentuk
perkreditan informal yang berkembang di pedesaan.
Transaksi
ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit
uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian”
tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen
atau dituai.
Tingkat
bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi,
antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang
hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.
Petualang
politik di Indonesia rupanya banyak juga yang mengadopsi strategi ala pengijon.
Ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun sebagai anggota dewan
perwakilan rakyat, mereka tidak segan membeli suara dari konstituen. Sebagian
besar konstituen yang awampun menganggap kalau tidak sekarang kapan lagi dapat
menikmati uang mereka.
Seiring dengan
penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, politik ijon
adalah bagian dari money politics atau politik uang ternyata
menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi gelombang
ketiga.
Studi Josephine T.
Andrews dan Kris Inman, dalam makalah berjudul “Explaining Vote Choice in
Africa’s Emerging Democracies”, yang dipresentasikan dalam Midwest
Political Science Association, 2009, halaman 3 tentang perilaku pemilih di
tujuh negara Afrika yang paling demokratis menurut Freedom House,
misalnya, menemukan fakta adanya jual beli suara (politik ijon atau money politics).
Dengan menggunakan data
survei Afrobarometer Tahap 3 tahun 2005, mereka menemukan Ghana adalah negara
paling rentan mengalami praktik politik uang atau jual beli suara dengan
kisaran 42% warganya yang mengaku ditawari uang atau hadiah sewaktu pemilu.
Banyak ahli ilmu politik
yang percaya bahwa patron-klien adalah penyebab merebaknya praktik money
politics yang juga didalamnya termasuk politik ijon di negara-negara
berkembang. Literatur kesarjanaan dalam studi klientelisme dapat dibagi menjadi
tiga aliran.
Pertama, aliran
determinis yang paralel dengan teori modernisasi. Menurut kubu ini,
klientelisme digambarkan sebagai warisan zaman pramodern
dalam relasi sosial-politik. Patron-klien dinilai sebagai bagian
intrinsik Dunia Ketiga yang relatif masih miskin dengan tingkat buta huruf yang
tinggi.
Mereka “tidak modern”
menurut Martin Seymour Lipset dalam artikelnya yang berjudul ”Some Social
Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy"
yang dimuat dalam American Political Science Review yang
terbit tahun 1959 di halaman ke 69 sampai 105. Padahal, demokrasi hanya mungkin
bisa diterapkan dalam masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan
yang memadai.
Kubu kedua adalah
argumen kebudayaan. Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya di mana
kelompok yang mempunyai keistimewaan tertentu (patrons) memberikan uang atau
keuntungan sebagai imbalan atas loyalitas pengikutnya (clients).
Ayokunle Olumuyiwa
Omobowale menulis artikel ilmiah berjudul “Clientelism and Social Structure:
AnAnalysis of Patronage inYoruba Social Thought”, Afrika Spectrum, Vol. 43,
No. 2,2008, Hamburg: GIGA Institute of African Affairs, halaman 203 menulis
“Clientelism
(patronage) is definitely not a novel social phenomenon. Though it is a
non-material aspect of culture, its ontological reality is accepted, not just
because it is said to exist, but because of the potency of its inherent
exchange relationship, which brings patrons and clients together for the
interchange of valued resources beyond the direct control of each actor (i.e.
patron and client) within the social structurer”.
Berdasarkan pendapat
Omobowale di atas, klientelisme dianggap bukan sekadar hubungan sosial, tetapi
juga sebuah “political subcultures". Hal senada dikemukakan D.
Jaensch dalam bukunya berjudul “The Politics of Australia, (Melboume:
Macmillan, 1992), halaman 22-23 dan Gianni Zappala, dalam artikel ilmiah
berjudul “Clientelism, Political Culture and Ethnic Politics in Australia”, Australian
Journal of Political Science, Volume 33, No. 3, 2010, halaman 381-397.
Kubu ketiga dalam studi
klientelisme adalah pendekatan institusionalis yang menekankan desain institusi
politik berjasa menyebarkan praktik patron-klien, misalnya pemilu yang
kompetitif dan sistem multipartai ditengarai menjadi penyebab maraknya
patronase politik dalam sistem Pemilu, desentralisasi, dan proses pengambilan
keputusan, baik di legislatif maupun eksekutif, seperti ditulis Philip Keefer,
di artikelnya berjudul “Democratization and Clientelism: Why are Young
Democracies Badly Govemed?”, dalam World Bank Policy Research Paper 3594
(May 2005), halaman 24-25.
Wolfgang Muno, dalam
tulisannya berjudul “Conseptualizing and Measuring Clientelism”,
dalam Workshop Neopatrimonialism in Various World Regions,
(Hamburg: GIGA German Institute of Global and Area Studies, 2010), E. Scheiner.
Maria Pilar
Garcia-Guadilla and Carlos Perez dalam “Democracy, Decentralization, and
Clientelism: New Relationships and Old Practices”, Latin American
Perspectives, Volume 29, No. 5, 2002, halaman 90-109. Bagi kubu ini,
patron-klien makin menarik bagi politisi di negara yang integrasi sistem
politiknya masih buruk, pembelahan etnik yang kuat, dan performa
ekonomi yang lemah.
Menurut Guillermo
O’Donnel, dalam bukunya berjudul “Another Institutionalization: Latin
America and Elsewhere”, Kellog Institute Working Paper, halaman 222, yang
terbit tahun 1996.
Sistem politik informal
harus dipahami karena fokus eksklusif hanya pada sistem atau aturan formal akan
mengabaikan perhatian kita kepada informal politics yang justru lebih
berpengaruh dalam menentukan institusi politik.
Mengabaikan informal po
litics seperti patrimonialisme dan patron-klien akan membuat kita kehilangan
“rules of the game” yang sering bersifat tidak tertulis, tapi berurat akar
sejak lama, seperti dikemukakan Gretchen Helmke dan Steven Levitsky,
dalam bukunya “Informal Institutions and Comparative Politics: A Research
Agenda”, Kellog InstituteWorking Paper, halaman 307, yang terbit pada September,
2003.
Kesepakatan antara
pengusaha sebagai penyandang dana politik dengan kandidat kepala daerah yang
berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah telah melahirkan
politik ijon.
Bantuan dana politik
inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang Pilkada dengan
memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari
kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan,
tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.
Untuk itu perlu
peningkatan pengawasan dari berbagai elemen dalam mengeliminir terjadinya
politik ijon dalam Pilkada Seretak 2018.
Politik
ijon terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai
penyandang dana politik dengan para politisi (kandidat, parpol, timses) yang
berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah.
Bantuan
dana politik inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang
Pilkada dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana,
mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran
kebijakan, tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.
Untuk
perlu adanya pengawasan dari berbagai elemen dalam mengeliminir terjadinya
politik ijon dalam Pilkada Seretak 2018. Berlanjutnya, praktik politik ijon
akan menciptakan pemerintahan yang bersifat plutarchy atau
pemerintahan yang dikuasai atau dikendalikan kelompok oligarki kaya di daerah
tersebut. (**)
Penulis: Dr. Winata,
alumnus doktor Universitas Padjadjaran, Bandung.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com