Harianmomentum.com--Radikalisme sudah masuk ke dalam berbagai lingkungan
hingga ke pelosok-pelosok negeri termasuk pelajar dan mahasiswa, penyebaran
radikalisme pada intinya bertumpu pada penyebaran nilai yang tidak sesuai
dengan kondisi negara kita. Saat ini
radikalisme sudah ke semua lini baik itu di kalangan keluarga dan elemen
masyarakat lainnya, seperti halnya peledakan bom di Surabaya dengan melibatkan
anak-anak. Hasil pemetaan radikalisme sudah masuk ke beberapa kampus.
Dalam
mengantisipasi berkembangnya radikalisme peran tiga pilar yaitu Babinkamtibmas,
Babinsa, dan aparat pemerintahan desa menjadi sangat penting karena mereka
merupakan ujung tombak masyarakat yang menjadi penting di wilayahnya.
Sinyalemen ini
tidak salah karena ancaman radikalisme dan intoleransi sudah menjalar ke
berbagai level masyarakat yang ditunjukkan dengan beberapa hasil survei.
Menurut hasil
survei nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial
Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation
bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menunjukan meski
mayoritas umat Islam di Indonesia menolak radikalisme, namun ada sekitar 7,7%
bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, dan 0,4% pernah
melakukan tindakan radikal.
Selain itu,
Survei juga menemukan bahwa 59,9% responden memiliki kebencian terhadap
kelompok sosial tertentu, baik etnis, agama maupun ideologi politik.
Kebencian itu
juga diikuti dengan penolakan terhadap hak politik untuk duduk dalam
pemerintahan, serta untuk berinteraksi secara sosial.Temuan Wahid Foundation
yang dirilis pada 2016 ini membuka mata kita bahwa intoleransi merupakan
realitas faktual yang kian meningkat dan menjadi persemaian bagi berkembangnya
paham dan tindakan radikal di Indonesia.
Data yang
cukup mencengangkan terkait dengan intoleransi juga dirilis oleh SETARA
Institute (16/2/2017) yang mencatat ada 208 peristiwa intoleransi dan 270
tindakan intoleransi pada 2016. Pelaku
intoleransi ini melibatkan warga, ormas, korporasi hingga aktor negara dalam
berbagai bentuk meliputi penyesatan, intimidasi, ucapan kebencian, ancaman,
pelarangan pendirian tempat ibadah, perusakan properti, hingga pembubaran paksa
kegiatan keagamaan.Catatan SETARA Institute juga menunjukan bahwa Jawa Barat
merupakan propinsi dengan angka intolerasi tertinggi dengan jumlah 41 kasus,
disusul Jakarta (31 kasus), Jawa Timur (22), Jawa Tengah (14), dan Bangka
Belitung (11).
Menurut data
yang dirilis oleh Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
Komnas HAM, Jayadi Damanik, jumlah kasus intoleransi di Indonesia mengalami
peningkatan signifikan. Data Komnas HAM mencatat ada 74 kasus intoleransi yang
dilaporkan ke pos pengaduan Desk KBB pada tahun 2014, meningkat menjadi 87
kasus pada tahun 2015, dan hampir 100 kasus pada tahun 2016 (Kompas,
5/1/2017).
Kasus
intoleransi itu marak terjadi terkait dengan kebebasan beragama dan
berkeyakinan, seperti melarang aktivitas keagamaan, merusak rumah ibadah,
diskriminasi atas dasar keyakinan atau agama, intimidasi, dan pemaksaan
keyakinan.Intoleransi itu telah berkontribusi pada terjadinya tindak kekerasan
dan pelanggaran HAM di Indonesia.
Sedangkan,
hasil penelitian UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 2017 dengan 1522 siswa
SMA dan 337 mahasiswa menghasilkan 58,8% responden menyetujui ideologi
kekerasan radikal, dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama.
Temuan menarik penelitian ini 54,87% mereka belajar keagaman melalui internet.
Data yang sama
disampaikan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia tahun 2017 menyebutkan
42,55% pengguna di internet di Indonesia mengakses internet untuk mendapatkan
informasi keagamaan. Sementara itu, temuan riset Maarif Institut pada April
sampai Oktober 2017 kepada pelajar SMA sederajat di 4 kota (Jakarta, Bandung,
Surabaya dan Semarang) menyebutkan sebanyak 63% belajar intoleransi dari
internet.
Berdasarkan
data LSM C-Save, provinsi dengan pengikut terbanyak adalah Jabar (13 KK), Jatim
(10 KK), Jateng (8 KK), Lampung (5 KK), Jakarta dan Banten (4 KK), Sumbar,
Jambi, Kalbar, Aceh, Batam dan Sumsel (1 KK). Jabar telah menjadi basis
kelompok radikal DI/TII atau NII. Dari
Jabar, DI/TII dan NII menyebar ke Aceh, Sulsel dan Kalbar. Jateng dikenal basis
JI dan JAT. Menurut data Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI, banyak
aktivis radikal di Jateng, DIY, Jatim dan Sumut hasil rekrutan simpatisan
Masyumi yang kecewa kebijakan politik Orba.
Dunia maya
menjadi media yang digemari kelompok IS karena murah, cepat memberikan pengaruh
dan atraktif untuk membungkus argumentasi sederhana mengenal surga, neraka dan
kafir. Sebenarnya, kampanye masif di dunia maya (Medsos) yang dilakukan
kelompok radikal tidak akan berhasil tanpa dukungan struktur jaringan terorisme
yang berada ditengah masyarakat. Penyebaran konten-konten radikal melalui media
massa dan aplikasi percakapan telah menjadi fenomena global yang tidak boleh
dianggap enteng, apalagi pasca terdesaknya Islamic State (IS) di Suriah dan
Irak. Setidaknya ada sekitar 200 anggota
IS yang sudah kembali ke negara masing-masing untuk menyebarkan terorisme. Saat
ini, jumlah simpatisan kelompok radikalisme diduga terus bertambah sebagai
salah satu fenomena yang diakibatkan media sosial dan saluran percakapan.
Dampaknya banyak anak dan kaum hawa yang terpapar ideologi radikal yang
berpotensi menjadi foreign terrorist fighters (FTF) jika tidak diperhatikan
secara serius. Radikalisasi di dunia maya semakin menjadi ancaman nyata.
Kelompok atau
individu cukup mengakses medsos untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pendidikan
paham radikal, cara dan tips menyiapkan aksi teror, hingga layanan jual beli
perlengkapan serangan teror.
Secara
sosiologis, setidaknya ada 3 gejala yang dapat ditengarai dari paham
radikalisme, yaitu : pertama, merespons terhadap kondisi sosial politik dan
ekonomi yang sedang terjadi dalam bentuk penolakan dan perlawanan. Terutama
aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya.
Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah
keadaan secara mendasar ke arah cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi
kepada nilai-nilai tertentu. Ketiga, menguatkan sendi-sendi keyakinan tentang
kebenaran ideologi yang diyakininya lebih unggul daripada yang lain. Pada
gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penafian dan penegasian
sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi
atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional-agresif.
Peranan
penting dapat dimainkan oleh Kemenristek Dikti. Kemendikbud, dan Kemenag untuk
melawan radikalisme dan intoleransi dengan segera merancang kurikulum yang
tepat untuk tingkat SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi untuk membentuk
mental anak muda agar mencintai Indonesia. Hal tersebut bisa dilakukan dengan
mengadopsi kearifan lokal yang ada di setiap daerah. Sedangkan, Kementerian
Kominfo RI perlu bekerjasama, berkoordinasi dan mengawasi semua platform media
sosial yang beroperasi di Indonesia untuk secara bijaksana dan secepatnya
mentake-down atau menutup akun-akun botmageddon di Youtube dan Twitter yang
menyebarkan nilai-nilai intoleransi dan radikal, serta mengajari cara-cara
teroris. Jika mereka tidak mau bekerjasama, maka Indonesia perlu meniru langkah
pemerintahan Cina yang menutup kerjasama dengan Facebook dan lain-lain.
Sementara itu,
pemerintah melakukan soft approach pada pelajar-pelajar yang berprestasi
seperti hafiz cilik penghafal Al-Qur’an, santri yang memenangkan dan
mendapatkan penghargaan internasional, melalui cara memberi apresiasi berupa
penghargaan kepada mereka, karena dengan memberikan perhatian itu merupakan
salah satu cara dalam menekan berkembangnya radikalisme dan intoleransi, yang
keduanya merupakan bibit-bibit segera terorisme.(Oleh : MM Kautsar)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com