Harianmomentum.com--Para petambak
udang tradisional di Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) mulai ‘naik kelas’.
Jika sebelumnya menjalankan budidaya
udang secara tradisional, dua tahun terakhir ini mulai melakoni budidaya secara
intensif.
Kendala permodalan dan teknologi
bisa diatasi dengan program KUR dan pendampingan dari PT CP Prima.
Seperti yang dijalankan Triyono,
Kepala Desa Bandar Negeri, Kecamatan Labuhan Maringgai.
Petambak udang tradisional sejak
tahun 2000-an ini, sudah bermitra dengan PT CP Prima selama dua siklus
budidaya.
Bahkan pada siklus pertama Pak Kades mendapat pinjaman dari PT CP dalam program ‘demo pon’ untuk dua kolam masing-masing berukuran 800 meter persegi.
Selain itu itu ia juga menerima
kredit skema KUR Ritel BNI yang bekerja sama dengan PT CP Prima untuk investasi
sekitar Rp250 juta dan biaya operasional sekitar Rp150 juta.
Dana tersebut digunakan untuk merehab dua petak tambak budidaya, masing-masing seluas 800 m2 dan membangun dua petak tandon masing-masing 200 m2. Pada siklus kedua ini, Triyono sudah melakukan panen parsial tiga kali dan panen terakhir pada Senin (20/11).
Panen parsial pertama dilakukan pada
usia 46, 60, 72 dan 86 hari dengan jumla total 1.885 kg dengan penjualan Rp153
juta. Sementara pada panen terakhir pada usia 120 hari dari dua petak diperoleh
udang size (ukuran) 26 dan 27 sebanyak 2 ton dan dijual dengan harga Rp96
ribu/kg.
Menurut Triyono, ia tertarik untuk
‘naik kelas’ karena melihat keberhasilan petambak lainnya yang sudah terlebih
dahulu beralih membudidayakan udang vanamei (Litopenaeus vannamei) ketimbang
udang windu yang selama ini dibudidayakan karena hasilnya lebih menjanjikan.
Namun ia menyadari kelemahannya
adalah keterbatasan modal dan belum dikuasasinya teknis budidaya vaname.
Untuk mengatasi permodalan, ia
mendapat pinjaman dari PT CP Prima dalam program ‘demo pon’ untuk dua petak
tambak yang harus dikembalikan selama tujuh siklus atau 4 tahun.
Lalu untuk kendala teknis budidaya
ia mendapat pendampingan dari PT CP Prima. “Kalau tidak ada pendampingan, saya
juga tidak berani wong pengalamannya cuma di windu, sementara vanamei belum
belum pernah mencoba sama sekali,” ujar Pak Haji di sela-sela mengawasi
penimbangan udang yang dilakukan anak buah pedagang penampung di rumahnya.
Pak Kades mengakui, antara budidaya
windu secara tradisional dengan vaname dengan close system jauh berbeda. Pada
budidaya windu untuk kolam 20 ribu meter persegi ia tebar benur udang sebanyak
30 ribu ekor dan 10 ribu ekor bandeng.
Lalu dibesarkan selama 4 bulan
dengan pemberian pakan jagung, tanpa kincir lalu dipanen udang size 30 dengan
SR sekitar 50 persen. “Keuntungan bersih dari penjualan udang dan bandeng
sekitar Rp 10 juta per siklus,” aku Tri.
Sementara pada udang vaname ditebar
benur sebanyak 100 ekor per m2, menggunakan kincir 4 unit per petak, pemberian
pakan 4-5 kali sehari. “Keuntungan dari dua petak per siklus bisa melunasi
biaya investasi dan biaya operasional,” ia menggambarkan.
Karena itu, selain mendapat KUR
ritel dari BNI, Tri juga mengajukan permohonan program revitalisasi tambak yang
digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun ia belum kebagian.
Saat ini ayah dari tiga anak ini
sudah menjalankan budidaya vanamei pada 3,5 ha dari 40 ha lahan yang dimilikinya.
Agus Furwoko dari PT CP Prima yang
menghadiri panen udang di tambak Triyono menambahkan, pihaknya sengaja
menggulirkan program ‘demo pon, sebagai upaya membantu petambak tradisional
yang ingin ‘naik kelas’ ke budidaya sistem intensif.
“Pendanaan untuk program demo pon
ini bergulir agar semakin banyak petambak yang bisa dibantu. Lalu selain
mendampingi petambak dalam program demo pon, pihaknya juga diminta BNI pada
semua petambak yang menerima kredit,” tuturnya.
Dari sekitar 1.200 petak tambak yang
dalam budidayanya mendapat pendampingan dari PT CP Prima, dengan capaian SR 75
hingga 95 persen atau rata-rata 85 persen dan FCR 1,45 higa 1,5, bahkan ada
yang bisa mencapai 1,38.
“Selama petambak konsisten mempertahankan kepadatan tebar rendah yakni 80 hingga 10 ekor per m2, penyakit sepertti myo dan WSS bisa dikendalikan,” jelas Agus. (red)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com