Harianmomentum -- Pengusaha dan nelayan yang
sampai saat ini masih memakai cantrang (jaring raksasa) untuk menangkap ikan
harus segera menggantinya dengan alat lain.
Pasalnya, pemerintah sudah bulat, melarang
penggunaan alat tangkap perusak lingkungan tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
menegaskan, pemerintah tidak akan berubah sikap lagi terkait kebijakan
larangan penggunaan cantrang.
"Saya tahu kebijakan tidak pernah bisa
sempurna. Tapi dengan kondisi ikan semakin banyak, saya yakin pelaku
penangkapan ikan, pengusaha kapal besar tidak perlu lagi menggunakan alat yang
merusak lingkungan. Dengan segala perhitungan dan analisis, Pak Jokowi, saya
dan seluruh tim sudah firm (pastikan) bahwa cantrang memang seharusnya
dihentikan," tegas Susi di kantornya, Jakarta.
Susi mengatakan, pihaknya tidak mau berpolemik
lagi mengenai kebijakan tersebut. Presiden sudah menasehati dirinya agar energi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak habis hanya dipakai untuk
mengurusi satu alat tangkap saja.
Apalagi, lanjut Susi, dalam dua tahun terakhir
jumlah tangkapan nelayan dalam negeri melaju positif. Meski jumlah kapal di
lapangan turun, nelayan berhasil meningkatkan hasil tangkapan seiring sikap
tegas pemerintah menindak kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara
ilegal.
"Ikan sudah banyak, stok sudah naik, dan
saya yakin dalam tiga tahun ke depan stok ikan akan mencapai 20 juta ton. Ini
akan memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Semua seharusnya tidak berpolemik
lagi," pesannya.
Seperti diketahui, kebijakan Susi melarang
penggunaan cantrang menimbulkan pro dan kontra di kalangan pengusaha kapal
dan nelayan. Larangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan
Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat tarik (seine nets). Sesuai regulasi
tersebut, seharusnya larangan mulai berlaku awal Januari 2017. Namun karena
maraknya protes, KKP menunda pemberlakuannya sampai Juni 2017. Belum lama ini,
KKP mengumumkan menuda kembali sampai akhir 2017.
Tak hanya di kalangan nelayan, polemik keras
juga terjadi di internal pemerintahan. Sejumlah petinggi negara ikut
memojokkan kebijakan Susi yang dianggap tidak pro terhadap nelayan.
Susi berharap, ke depan semakin banyak
masyarakat Indonesia yang bisa memanfaatkan sumber daya laut.
"Saya ingin, apa pun yang terjadi kelak di
perikanan terutama di laut lepas, tidak boleh dikavling hanya oleh 10-20
korporasi. Ikan bebas berenang, itu milik seluruh rakyat Indonesia,"
ungkapnya.
Susi menegaskan, pihaknya tidak akan menolerir
setiap pelanggaran penangkapan ikan yang terjadi di laut Indonesia. Tidak boleh
lagi, laut Indonesia dikuasai ribuan kapal dari luar negeri. Nelayan Indonesia
sangat mampu menangkap ikan di laut lepas sehingga tidak membutuhkan bantuan
asing.
Pada kesempatan ini, Susi membantah tuduhan
kepada dirinya telah membocorkan rahasia negara kepada pihak asing.
"Kalau ada suara miring, kerja sama dengan
Google, membuka VMS (Vessel Marine System) dianggap membocorkan rahasia negara,
itu salah besar. VMS dibuka supaya orang tahu kita mengelola perikanan dengan
penuh tanggung jawab," tegasnya.
Peringkat Satu ASEAN
Susi mengklaim neraca perdagangan Indonesia,
khusus perikanan untuk pertama kalinya naik menjadi nomor satu di Asia
Tenggara. "Pada 2013 stok ikan hanya 6,5 juta, sedangkan saat ini mencapai
12,51 juta ton. Kenaikannya lebih dari 100 persen," ungkapnya.
Susi mengatakan, dalam dua tahun terakhir terjadi
peningkatan konsumsi ikan, dari 36 kilogram (kg) per kapita pada 2014 menjadi
43 kg per kapita pada 2016. Dalam tiga tahun, terjadi kenaikan 7 kg untuk
setiap orang. Jika kenaikan itu dikali 250 juta penduduk, konsumsi ikan
Indonesia mencapai 1.750 ton.
Keuntungannya, lanjut Susi, jika satu ton mendapat 1 dolar AS, maka negara mendapat 1,75 miliar dolar AS. Artinya indstri dan tata niaga perikanan Indonesia melaju kencang. (rmol)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com