MOMENTUM, Bandarlampung--Dalam konteks global, gerakan separatisme pernah terjadi di Skolandia yang mengalami puncaknya pada tahun 2014 dengan melakukan referendum untuk memisahkan diri dari kerajaan Inggris.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok separatis di Skotlandia ialah bahwa kehidupan Skotlandia akan lebih baik secara ekonomi bila memisahkan diri dengan kerajaan Inggris.
Referendum kemerdekaan Skotlandia 2014 adalah referendum yang mempertimbangkan apakah Skotlandia harus menjadi negara merdeka atau tidak, yang diadakan pada tanggal 18 September 2014. Hasil penghitungan suara yang diumumkan pada pagi tanggal 19 September 2014 menyatakan bahwa Kubu "No" yang menolak kemerdekaan memenangkan referendum ini dengan perolehan suara 55,3 persen.
Kondisi umum adanya gerakan separatisme yaitu adanya keyakinan bahwa suatu wilayah akan lebih baik kehidupannya dari segi ekonomi, sosial maupun hukum apabila lepas dari Negara Induknya. Gerakan separatisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia dari satu sama lain.
Namun, menurut kamus besar Bahasa Indonesia, separatisme adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari pemecah-belahan dalam suatu golongan (bangsa). Lebih jauh, gerakan ide separatisme memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Gerakan separatisme muncul disebabkan beberapa faktor diantaranya, 1) Krisis ekonomi dan lambatnya pemulihan ekonomi. 2) Konflik antara elite politik yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri, pada akhirnya menciptakan kondisi instabilitas politik. 3) Krisis sosial yang dipicu sikap primodialisme dan ekslusivisme bernuansa SARA. 4) Lemahnya penegakan hukum dan HAM sehingga terkesan seperti adanya pembiaran yang dilakukan oleh negara terhadap kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah, serta 5) Intervensi internasional atau adanya pihak dari luar Negara masuk ke dalam Negara dan berupaya untuk memecah belah dan mengambil untung dari perpecahan tersebut dengan menanamkan pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi Negara tersebut (khususnya negara-negara pasca merdeka).
Di Indonesia, isu separatisme masih menjadi isu keamanan yang mengancam kedaulatan Negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa. Gerakan separatisme di Indonesia cenderung dilatar belakangi oleh kelompok identitas etnis maupun identitas lainnya, yang masih berkeinginan memisahkan diri lepas dari NKRI, untuk membentuk Negara atau pemerintahan sendiri dengan alasan kultur, agama atau bahasa, yang terakumulasi sangat kompleks dipicu oleh politik, ekonomi, maupun sosial kultur.
Gerakan separatisme di Indonesia yang masih ada salah satunya adalah Gerakan Separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sepanjang sejarah gerakan separatisme di Indonesia, isu atau konflik mengenai Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah konflik terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia. Dalam perkembangannya, Kelompok Separatis Papua pun mendeklarasikan membentuk negara sendiri dengan nama West Papua. Pada awalnya, kelompok OPM melakukan perang gerilya secara tradisional untuk melawan Pemerintah Indonesia. Namun demikian memasuki tahun 2000, Kelompok Separatis Papua mulai menggunakan upaya-upaya non-violent atau tanpa kekerasan seperti dialog, kampanye, salah satunya melalui organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda, serta menyebarkan isu-isu propaganda tentang kontradiktif kondisi Papua melalui peranan teknologi seperti media online.
Gerakan separatisme di Papua seakan sedang membodohi masyarakat Papua yang pada dasarnya tidak ada keinginan memisahkan diri dan tetap menyatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Isu diskriminatif terhadap masyarakat Papua yang coba dibangun oleh para kelompok separatis seakan dipatahkan oleh beragam program prioritas pemerintah dilakukan di bumi cendrawasih mulai dari Otonomi Khusus hingga prioritas pembangunan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa dalam RKP 2019 pemerintah mencanangkan 5 prioritas nasional yang dijabarkan dalam 24 program prioritas. Untuk Program Prioritas Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, kegiatan prioritas yang akan dilakukan antara lain adalah peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, serta peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan kontekstual Papua.
Presiden Joko Widodo menegaskan, Provinsi Papua dan Papua Barat akan menjadi proritas untuk lebih diperhatikan di masa pemerintahannya. Presiden mengatakan hal itu dalam wawancara bersama Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Budiman Tanuredjo, yang disiarkan Kompas TV dalam program Satu Meja, Rabu (21-8-2019) malam. Menurut Jokowi, pembangunan di era pemerintahannya, tak lagi Jawa-sentris, tetapi merata di seluruh Indonesia.
Kepala Negara mengistilahkannya dengan "Indonesia-sentris". Presiden Jokowi menegaskan, Papua dan Papua Barat akan terus menjadi perhatiannya. Bukan hanya akan dibangun secara fisik, namun pemerintah akan merangkul masyarakat di provinsi paling timur itu dengan pendekatan kesejahteraan. Karena itulah yang kita lakukan. Pendekatan kesejahteraan bukan yang lain-lainya.
Masyarakat Papua dan seluruh rakyat Indonesia menyadari dan memiliki komitmen bahwa berada dalam wadah NKRI merupakan putusan politik yang tepat dan final. Oleh karena itu, separatisme menjadi ancaman langsung terhadap keutuhan wilayah NKRI dan gerakan ide separatisme memicu terjadinya disintegrasi bangsa.(**)
Oleh : Iqbal Fadillah
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com