Implementasi E-Court Dan Tumpukan Masalahnya

Tanggal 06 Jan 2020 - Laporan - 2266 Views
Gindha Ansori Wayka

MOMENTUM, Bandarlampung--Di era milineal perkembangan teknologi tidak dapat dibendung lagi. Saat ini masyarakat, khususnya kaum milenial lebih memilih transaksi dengan menggunakan Informasi Transaksi elektronik (ITE) karena memiliki banyak keunggulan dan kemudahan.

Bahkan, banyak pihak kini menggunakan aplikasi berbasis teknologi diantaranya sidik jari kantor (absensi) karyawan dan pegawai, mobile e-banking, blended learning, jual beli online dan lain sebagainya.

Perkembangan teknologi itu, rupanya tidak disia-siakan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai Lembaga Tinggi Negara yang menjadi benteng terakhir penegakan hukum. MA pada beberapa kesempatan secara ganas meluncurkan suatu model sistem dalam penegakan hukum melalui program e-court dan e-litigasi.

E-court adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik.

Ada beberapa kegiatan yang masuk dalam e-court Mahkamah Agung antara lain: e-Filing (pendaftaran perkara online di pengadilan). Hal itu dilakukan setelah terdaftar sebagai pengguna terdaftar dengan memilih Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, atau Pengadilan TUN yang sudah aktif melakukan pelayanan e-Court. Semua berkas pendaftaran dikirim secara elektronik melalui aplikasi e-Court Makamah Agung RI.

Kemudian, e-Payment (Pembayaran Panjar Biaya Perkara Online). Pendaftar akan secara otomatis mendapatkan Taksiran Panjar Biaya (e-SKUM) dan Nomor Pembayaran (Virtual Account) yang dibayarkan melalui saluran elektronik (Multi Channel) yang tersedia.

Selanjutnya, e-Summons (pemanggilan pihak secara online). Maksudnya, panggilan sidang dan pemberitahuan putusan disampaikan kepada para pihak melalui saluran elektronik ke alamat email. Bahkan, informasi panggilan tersebut bisa dilihat pada aplikasi e-Court.

Terakhir, e-Litigation (Persidangan secara online) yakni aplikasi pendukung dalam hal persidangan secara elektronik. Sehingga dapat dilakukan pengiriman dokumen persidangan seperti Replik, Duplik, Jawaban dan Kesimpulan secara elektronik.

Dari uraian di atas, terbayang oleh kita sebagai masyarakat awam bahwa e-court ini adalah makhluk sempurna dari terobosan teknologinya MA dalam memangkas kusut dan ruwetnya birokrasi di Pengadilan. 

Banyak pihak berharap e-court dapat menjelma menjadi makhluk penyelesai dan pemotong kompas atas peliknya sistem birokrasi di Pengadilan. 

Program ini tentunya sangat baik sekali jika didukung oleh sistem jaringan teknologi yang mumpuni dan dikelola oleh tim teknologi informasi  yang bersumber daya tinggi. Tetapi dalam pelaksanaannya banyak yang harus dibenahi karena ternyata sistem e-Court yang ditawarkan dan diharuskan serta dipaksakan oleh MA untuk diberlakukan mengandung cacat dalam implementasinya.

Sosialisasi e-Court oleh MA selama ini sangat massif dan begitu gencar di beberapa wilayah hukum Pengadilan yang tersebar di Indonesia. 

Program tersebut memang pada dasarnya luar biasa manfaatnya, sangat banyak kemudahan yang dirasakan oleh para pencari keadilan terutama para Advokat terdaftar dalam sistem e-court. Seperti pendaftaran relatif cepat dengan syarat apabila gugatan dan perangkatnya telah disiapkan terlebih dahulu sebelumnya. 

Cukup membutuhkan waktu tidak sampai 10 (sepuluh) menit maka gugatan sudah terdaftar, biaya hitung panjarnya relatif murah bila dibandingkan dengan pendaftaran secara manual dan intinya program e-court  ini sangat efektif dan efisien jika dilaksanakan dengan SDM dan Sistem teknologi yang mumpuni. 

Di sisi lain ternyata implementasi program e-Court dan yang kini ditambah dengan luncuran terbaru e-litigasi yang berlaku sejak 2 Januari 2020 lalu diyakini banyak kendala dalam implementasinya. 

Berdasarkan pengamatan dan hasil mencoba sendiri untuk melakukan gugatan melalui e-court, ada beberapa sebaran persoalan antara satu Pengadilan dengan Pengadilan lainnya, misalkan di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang dengan kode dan tanggal register PNTJK-112018KDF tanggal 19 November 2018, implementasinya hampir sempurna saat berkas didaftarkan. 

Pihak penggugat selaku pendaftar perkara pada sidang pertama hanya menunjukkan surat kuasa saja, berkas panggilan dan berkas gugatan para pihak sudah di cetak langsung dari dokumen yang dikirim oleh penggugat dan dokumen tersebut dikirim oleh Pengadilan ke para pihak tanpa harus diperbanyak lagi oleh Penggugat. 

Program ini menjadi gagal karena ada pihak-pihak yang tidak siap dengan pelaksaanaan e-court, terutama dalam hal jawab jinawab secara online, karena ada advokat pendamping atau pihak lain yang tidak paham soal program ini dan akhirnya kandas karena para pihak tidak mendukung dan tidak berkeinginan untuk menggunakan program e-court dalam penyelesaiannya perkaranya. 

Selain di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, saat mendaftar melalui e-Court di Pengadilan Negeri Kalianda dengan kode PN-KLA112018KQ5, keadaannya pun hampir sama dengan yang terjadi di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, hanya saja bedanya meskipun sudah mendaftar melalui e-Court, penggugat tetap harus menyerahkan berkas secara fisik sebanyak pihak yang digugat termasuk juga untuk majelis hakim. 

Pihak Pengadilan tidak mencetak dari file yang dikirim Penggugat, sehingga e-Court menjadi sesuatu yang tak ubahnya lubang besar yang hanya prosedural saja, dengan kata lain hanya membatalkan paksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung harus mendaftar melalui e-court. 

Padahal dalam implementasinya nihil dan kandas seperti yang terjadi saat persidangan di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang.

Saat mendaftar di PN Menggala dengan kode PN-MGL-122019GKZ pun hampir sama prosesnya dengan yang ada di PN Kalianda. Pengadilan meminta berkas yang sama untuk dikirim kepada para pihak dan perkaranya pun saat ini masih terus bermediasi. Sepertinya akan mengalami hal yang sama yakni kandas atas dasar ketidakmampuan para pihak dalam menjalani jawab jinawab melalui saluran dunia maya yang bernama e-Court ataupun e-litigasi.

Selain ketiga hasil observasi tersebut, saat mendaftarkan permohonan cerai talak secara ghoib di Pengadilan Agama Blambangan Umpu Waykanan pun terjadi hal yang luar biasa. Seolah sistem e-court-nya Mahkamah Agung sebagai program mercusuar gagal untuk diikuti dan tak layak diimplemenatasikan sebelum adanya sumber daya manusia dan sistem teknologi yang kuat menopangnya terlebih dahulu. Setelah dilakukan 2 (dua) kali pendaftaran melalui e-court dan sampai pada pembayaran SKUM dinyatakan lolos dan bahkan sudah ada jawaban dari e-Court Mahkamah Agung.

Pertama, pada tanggal 2 Januari 2019 mendaftar dengan nomor Virtual Account (VA) dengan biaya sebesar Rp. 316.000,00 (Tiga Ratus Enam Belas Ribu Rupiah) dan dijawab oleh akun e-court Mahkamah Agung bahwa status pendaftaran online yang diajukan pada tanggal 02 -01-2020 dengan Nomor Register PA.BBU-012020BGX diterakan bahwa Pembayaran SKUM telah diterima, melalui mandiri online-payment tanggal 02/01/2020 pukul 18:41:08 WIB dinyatakan oleh Bank Mandiri Berhasil. 

Pada Tanggal 06 Januari 2020, setelah di cek langsung ke Kantor Pengadilan Agama Blambangan Umpu ternyata, register yang disampaikan oleh akun e-court Mahkamah Agung tanggal 02-01-2020 pukul 18.35 WIB tersebut tidak masuk sistem di Pengadilan Agama Blambangan Umpu.

Saat tim masih dikantor Pengadilan Agama Blambangan Umpu pada tanggal 06 Januari 2020 dicoba lagi untuk didaftarkan permohonan cerainya (kedua kali) melalui e-court Mahkamah Agung dan prosesnya lancar dan SKUM sudah dibayar melalui VA 198454612001061417 dengan biaya sebesar Rp316.000 dan dijawab oleh akun e-Court Mahkamah Agung bahwa status pendaftaran online yang diajukan kedua pada tanggal 06 -01-2020 dengan Nomor Register PA.BBU-012020YG5 diterakan bahwa Pembayaran SKUM telah diterima.

Melalui mandiri online payment tanggal 6 Januari pukul 14:20:00 WIB dinyatakan oleh Bank Mandiri Berhasil. Namun, hasilnya sama, baik pendaftaran tanggal 2 Januari atau 6 Januari, keduanya tidak sampai pada server Pengadilan Agama Blambangan Umpu.

Pada akhirnya, setelah 2 kali mendaftar melalui e-Court Mahkamah Agung gagal, permohonan didaftarkan secara manual dengan biaya 4 (empat) kali lipat yakni Rp1.306.000.

Sebagai penutup, kini tersisa ketraumaan menggunakan e-court Mahkamah Agung dan sebentar lagi e-litigasi yang terkesan dipaksakan, karena ketidak-akuratan sistem dan juga sempat terpikir bagaiman cara Mahkamah Agung mengembalikan uang panjar SKUM yang sudah terlanjur menjadi “korban” e-court Mahkamah Agung tersebut untuk sampai kembali pada pihak (penggugat) yang mengirim biaya panjar perkara melalui Bank yang telah digunakannya.

Oleh : Gindha Ansori Wayka (Akademisi dan Praktisi Hukum di Bandarlampung)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Pendidikan untuk Penguatan Gerakan Keluarga M ...

INDONESIA selalu memperingati 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasio ...


Hak Angket dalam Pilpres 2024: Solusi Atau Si ...

MOMENTUM -  Tahapan Pemilu merupakan sebuah rangkaian proses ...


Aliza Gunado: Debat Terakhir Meyakinkan untuk ...

MOMENTUM--Pada debat ke 5 yaitu debat trakhir,  Jubir TKD Pr ...


AICIS dan Keberanian Mendefinisikan Ulang Per ...

MOMENTUM, Bandarlampung--KETEGANGAN agama-agama masih terjadi di ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com