MOMENTUM, Bandarlampung--Pada tahun 2020 Indonesia akan menjalankan pesta demokrasi yang cukup besar. Pilkada serentak di 270 daerah akan dilakukanpada tanggal 23 September 2020 secara serentak. Rincian dari pilkada serentak tersebut terdiri dari 9 pemlihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.
Pemilu 2019 yang merupakan rangkaian pemilihan yang cukup melelahkan terdiri dari pemilihan legislatif (kabupaten/kota madya, propinsi, dan pusat), pemilihan DPD, dan pemilihan presiden, secara teknis seharusnya penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 2020 jauh lebih siap. Namun berbagai hal patut menjadi pertimbangan yang dimungkinkan menjadi hal-hal yang kontraproduktif bagi Pilkada Serentak 2020 nanti.
Salah satu hal yang dinilai dapat menggangu jalannya Pilkada Serentak 2020 adalah terseretnya oknum Komisioner KPU dalan kasus korupsi terkait PAW Anggota DPR. Meskipun dapat dipastikan pemerintah segera menunjuk dan melantik pengganti komisioner tersebut, namun secara moral tidak mudah bagi KPU untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kasus korupsi yang menjerat oknum komisioner KPU ini tentu akan membuat sorotan kepada KPU semakin tajam. Di sisi lain peristiwa ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi KPU untuk bekerja lebih profesional bagi kepentingan negara.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, terdapat ratusan kasus sengketa yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Sengketa tersebut secara merata terjadi atas gugatan pemilihan legislatif, gugatan pemilihan DPD, dan gugatan pilpres. Dari kasus-kasus yang terjadi dan sudah diputuskan oleh MK, seharusnya penyelanggara pemilu yaitu KPU dapat melakukan evalusi terhadap pelaksanaan pemilu termasuk evaluasi hal-hal lain yang mendukung seperti database kependudukan, logistik, dan teknis pemungutan suara.
Situasi lain yang harus dicermati menjelang Pilkada Serentak 2020 adalah residu tensi politik Pilpres 2019 yang hingga saat ini nampak masih terjadi. Meskipun tokoh sentral oposisi yaitu Prabowo Subianto sudah bergabung dengan kompetitornya Joko Widodo yang memenangkan Pilpres, namun kubu politik yang terbelah menjadi dua kelompok besar masih menghiasai suasana politik di Indonesia. Bergabungnya Prabowo Subianto dalam Kabinet Pemerintahan Joko Widodo tidak serta merta menghancurkan tembok politik yang memisahkan pendukung Joko Widodo dan yang mendukung Prabowo Subianto. Bahkan polarisasi tersebut juga sempat meluas dengan bumbu SARA.
Mencermati situasi politik pada Pemilu 2019 maka pemerintah perlu melakukan pencegahan terjadinya politik identitas SARA. Pemerintah dan penyelanggara pemilu harus tegas mengikat peserta pemilu supaya tidak melakukan politik identitas. Sangsi yang tegas juga harus dilakukan jika terjadi politik identitas agar menjadi efek jera dan tidak mencederai demokrasi Indonesia.
Jika melihat situasi saat ini maka supaya Pilkada Serentak 2020 berjalan dengan sukses, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Hal-hal tersebut adalah memulihkan kinerja KPU pasca dugaan kasus korupsi yang menjerat oknum Komisioner KPU, memperbaiki sistem pemilu terutama berdasarkan gugatan sengketa pemilu 2019, dan terakhir adalah mencegah terjadinya politik identitas.
Dengan memperhatikan dan memperbaiki tiga hal tersebut maka harapan agar Pilkada Serentak 2020 dapat berjalan dengan lancar sangat dimungkinkan. Tentu saja hal ini dapat terjadi jika kolaborasi semua pihak yang terlibat dalam Pilkada 2020 dapat dilakukan secara positif.(**)
Oleh : Stanislaus Riyanta. Penulis adalah analis intelijen dan keamanan.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com