MOMENTUM, Bandarlampung--Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua akan masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Dikutip republika.com, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, revisi UU Otsus Papua harus menjadi prioritas dikarenakan dana otsus bagi Papua dan Papua Barat yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN akan berakhir pada tahun 2021 sesuai UU tersebut.
Namun Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Ch. Warinusi dikutip dari suarapapua.com, mempertanyakan alasan apa dan siapa yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus Papua di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Menurutnya, pasal 77 UU Otsus disebutkan usul perubahan atas UU ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, rakyat Papua memiliki hak utama dalam mengusulkan perubahan atas UU Otsus tersebut. Selain itu, melakukan kajian dan evaluasi penerapan UU Otsus sejak 2001 hingga saat ini jauh lebih penting daripada mengajukan dan memasukkan RUU Otsus dalam Prolegnas.
UU Otsus Papua merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan serta pemberdayaan seluruh rakyat di Papua. Secara filosofis UU Otsus dibuat sebagai langkah untuk mensejajarkan Papua dengan wilayah lain di Indonesia serta sebagai langkah proteksi bagi hak-hak dasar Orang Asli Papua, dengan tujuan utama adalah kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Papua.
Kebijakan Otsus Papua yang diundangkan melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 memang mempunyai banyak perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan UU Otonomi Daerah yang berlaku untuk daerah-daerah lain. Hal tersebut dikarenakan UU Otsus Papua adalah kompromi politik yang dimaksud untuk merespon tuntutan kemerdekaan di Papua. Substansi penting dari kebijakan Otsus merupakan bentuk dari desentralisasi politik asimetris guna menengahi konflik yang melanda Papua, sekaligus perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua. Selain itu, UU Otsus Papua merupakan implementasi dari penghormatan terhadap HAM serta penegakan supremasi hukum.
Dalam penerapan UU Otsus Papua memang terdapat berbagai kendala sehingga belum berjalan optimal, terutama masalah distribusi kewenangan dan aliran dana yang tidak jelas, hingga konflik kepentingan dan kekuasaan diantara elit lokal Papua, yang hingga akhirnya memicu menurunnya kepercayaan masyarakat Papua. Bahkan Peneliti LIPI, Muridan S Widjojo dan Aisah Putri Budiatri dalam laporan risetnya menjelaskan pembangunan sosial ekonomi yang diprakarsai oleh Pemerintah sejak implementasi UU Otsus belum berhasil meredam konflik politik yang telah mengakar dan kompleks di Papua.
Dalam pembahasan Prolegnas terkait Otsus Papua tersebut, diduga kuat ada dua soal yang akan diprioritaskan menjadi pembahasan. Pertama, dana Otsus akan dilanjutkan atau tidak, yang bergantung pada hasil evaluasi pemerintah terkait penggunaan dana Otsus. Karena selama ini, sejak tahun 2001 dana Otsus Papua diberikan, masih banyak kelemahan-kelemahan yang ditemukan oleh pihak pemerintah, khususnya di aspek pembangunan daerah yang berjalan sangat lamban. Selanjutnya yang kedua, pemekaran wilayah Papua yang saat ini masih sering bermasalah.
Berbagai kelemahan dan kendala pelaksanaan Otsus ini jika tidak segera diperbaiki dapat berimplikasi pada menurunnya kepercayaan masyarakat akan kesungguhan pemerintah dalam memenuhi tuntutan rakyat dan sangat memungkinkan justru semakin menyemai suara-suara kritis yang menghendaki pemisahan Papua menjadi wilayah merdeka yang terpisah dari NKRI.
Untuk itu, dalam pembahaan revisi UU Otsus Papua seyogyanya perlu diperhatikan beberapa hal strategis diantaranya, evaluasi transparansi peruntukan anggaran dana Otsus yang didapat oleh Pemerintah Papua dan Papua Barat sesuai dengan situasi sosial-geografis daerah Papua. Selanjutnya, diperlukan suatu kajian secara ilmiah untuk melihat kesesuaian Otsus yang baru dengan kondisi Papua. Bahkan melibatkan aktor utama dalam konflik Papua yakni kelompok pro-Papua Merdeka, sehingga ada komunikasi dialogis antara Pemerintah dan pemimpin oposisi Papua yang bersifat rekonsiliatif. Dan hal yang tidak kalah pentingnya yang perlu diperhatikan adalah diperlukannya Badan Pengawas Khusus yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Otsus.
Dengan demikian, jika tercipta sinergi antara idealitas normatif sebagaimana terkandung dalam substansi UU Otsus dengan sikap nyata dan konsistensi baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah Papua beserta segenap komponen masyarakat Papua, maka niscaya Otsus dapat menjadi suatu penyelesaian dan kebijakan alternatif terbaik dalam mewujudkan seluruh keinginan masyarakat Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.(**)
Oleh : Iqbal Fadillah.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com