MOMENTUM, Bandarlampung--Radikalisasi adalah proses yang membuat kelompok atau individu menjadi berpaham radikal. Dalam konteks ini paham radikal adalah aliran yang mencapai tujuan dengan menggunakan kekerasan atau cara ekstrim. Paham radikal yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok inilah yang kemudian bisa menjadi akar terjadinya aksi teror.
Proses radikalisasi hingga terjadinya aksi teror melalui beberapa tahapan. Fathali Moghaddam dalam teorinya yang dikenal dengan Staircase to Terrorism menyebutkan bahwa proses seseorang menjadi teroris melalui enam tangga. Pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil; kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap sebagai musuh; ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya.
Pada tangga keempat, setelah seseorang memasuki organisasi teroris, dan hanya ada kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Tangga kelima seseorang menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme. Pada tangga terakhir adalah tangga dimana seseorang sudah berada pada puncak keyakinan untuk melakukan aksi teror.
Di era 4.0, dimana peran teknologi terutama internet sangat dominan, informasi dapat diperoleh dengan cepat dan mudah. Hal tersebut ternyata juga berpengaruh terhadap radikalisasi. Pada era sebelumnya radikalisasi dilakukan dengan tatap muka secara selektif, sembunyi-sembunyi, dan memerlukan waktu cukup lama, namun saat ini radikalisasi dapat dilakukan dengan sangat cepat, masif dan terbuka. Konten-konten dengan narasi radikal disebarkan melalui media sosial dan situs web sehingga mudah diakses oleh siapa saja.
Konten dengan narasi radikal yang bertentangan dengan Pancasila hingga konten tentang teknik perakitan dan penggunaan bom tersedia dengan bebas dan sangat mudah diakses. Konten tersebut mempunyai daya tarik yang kuat bagi generasi muda. Usia muda terutama remaja yang memerlukan ruang untuk eksistensi dan pencarian jati diri mendorong generasi tersebut membuka ruang bagi masuknya paham radikal tersebut.
Dengan situasi saat ini maka tahapan seseorang atau kelompok untuk menjadi teroris menjadi lebih cepat. Perkembangan teknologi di era 4.0 menciptakan short cut proses untuk menjadi teroris. Adanya konten radikal yang bebas diakses melalui media sosial dan situs web, membuat seseorang atau kelompok yang mengakses konten tersebut langsung manapaki tangga ketiga untuk menjadi teroris.
Fathali Moghaddam menjelaskan bahwa tangga ketiga adalah kondisi dimana seseorang mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Pada tangga ketiga ini seseorang mulai berkenalan dengan ideologi radikal yang menawarkan solusi bagi kondisi sosial politik berlanjut pada upaya mempelajari ide-ide, nilai-nilai, dan strategi perjuangan kelompok radikal. Seseorang yang sudah berada pada tangga ini cenderung akan eksklusif dan memisahkan diri dengan pihak lain yang dianggap berbeda.
Radikalisasi di era 4.0 sudah terbukti menjadi semakin cepat. Bebarapa kasus terorisme yang melibatkan generasi muda seperti yang terjadi di: Gereja Katolik Medan (28/8/2016), serangan terhadap polisi di Cikokol (20/10/2016), dan aksi dua remaja putri di Mako Brimob (10/5/2018), diketahui terpapar paham radikal melalui media sosial atau situs web. Generasi muda tersebut lebih tepat jika dianggap sebagai korban radikalisasi yang terjadi melalui internet.
Penangkapan puluhan orang terduga teroris pada bulan Oktober 2019 juga mengungkap fakta radikalisasi di era 4.0. Mabes Polri melalui Divisi Humas menyebutkan bahwa 90 persen dari 36 terduga teroris yang ditangkap pada bulan Oktober 2019 berbaiat kepada ISIS secara online. Selanjutnya Polri juga menjelaskan bahwa kelompok tersebut melakukan interaksi lewat media sosial serta aplikasi percakapan seperti Whatsapp dan Telegram. Bahkan mereka juga belajar melakukan aksi teror dan merakit bom secara online.
Fenomena radikalisasi di era 4.0 yang semakin cepat ini harus ditangani dengan baik. Konten-konten dengan narasi radikal yang menyebar secara masif harus dikendalikan. Tindakan tegas untuk menghentikan dan membatasi konten tersebut perlu dilakukan, walaupun fakta pembatasan atau penghapusan satu konten akan disambut dengan munculnya puluhan bahkan ratusan konten lainnya.
Jika pengendalian konten sulit dilakukan maka cara lainnya adalah dengan melakukan kontra narasi.
Mengingat sasaran paparan paham radikal yang terbesar adalah generasi muda, maka kontra narasi yang disebarkan menyesuikan dengan kebutuhan dan daya tarik anak muda. Kontra narasi yang disusun oleh pemerintah akan cenderung formal dan standard, berbeda jika konten-konten tersebut disusun oleh generasi muda secara langsung yang tentu akan lebih sesuai dengan kebutuhannya.
Mudahnya generasi muda terpapar paham radikal juga harus menjadi kritik bagi doktrinasi ideologi Pancasila dan nasionalisme. Jika doktrin ideologi Pancasila dan nasionalisme tersebut berhasil dilakukan maka ancaman paham radikal seharusnya bisa dibendung dan dilawan. Sebaliknya jika doktrin tersebut belum berhasil dilakukan maka generasi muda akan mencari ideologi lain yang lebih menarik sesuai dengan kebutuhannya.
Radikalisasi di era 4.0 harus disikapi dengan serius dan melibatkan masyarakat luas. Benteng pertahanan harus dibangun sehingga ancaman paham radikal bisa dibendung. Narasi radikal yang disebarkan harus dilawan dengan kontra narasi. Tanpa melibatkan masyarakat luas terutama generasi muda, maka radikalisasi di era 4.0 akan semakin gencar, teroris-teroris baru akan bermunculan, dan akhirnya radikalisasi di era 4.0 adalah jalan instan menjadi teroris.(**)
Oleh: Stanislaus Riyanta. Penulis adalah analis intelijen dan terorisme, mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com