MOMENTUM, Banjarmasin-- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Lampung selalu menjadi bagian dari Hari Pers Nasional (HPN).
Tetap aktif menghadiri acara tahunan itu sejak dulu hingga kini. Saya pribadi sudah empat kali diajak bersama sejumlah pengurus lainnya.
Pertama; di Kota Ambon Provinsi Maluku tahun 2017. Kemudian di Kota Padang, Sumatera Barat (2018). Tahun berikutnya di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) dan sekarang (2020) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Seru? Tentu iya. Banyak pengalaman dan wawasan yang didapat selama mengikuti rangkaian perjalanan itu.
Namun, selama di HPN Banjarmasin, saya pribadi tidak merasakan ada hal yang istimewa.
Kegiatan pertama yang diikuti adalah seminar Inovasi Pelayanan Publik yang dihadiri Menpan RB Tjahyo Kumolo.
Di acara itu, para peserta banyak yang berdiri. Tidak kebagian tempat duduk.
Ketua panitia seminar juga menyampaikan permohonan maaf atas banyaknya kekurangan dalam penyelenggaraan acara tersebut.
Begitupun dengan rangkaian acara lainnya. Tidak ada suvenir yang dibagikan panitia, layaknya pada penyelenggaraan HPN sebelumnya.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak bermaksud mencemooh panitia lokal maupun pusat, atas sejumlah ketidaksempurnaan acara di Kota Seribu Sungai ini.
Kondisi yang terjadi tentu akibat dari minimnya persiapan tuan rumah. Karena memang agenda tahunan ini sejatinya dijadwalkan berada di Sumatera Utara (Sumut) yang tiba- tiba mundur karena alasan klasik.
Di tengah kondisi mendesak itu, PWI Kalsel mengajukan diri sebagai tuan rumah. Wajar jika kemudian Ketum PWI Pusat Atal S Depari berkata bahwa Kalsel menjadi 'penyelamat'.
Flashback beberapa tahun ke belakang. Saat HPN 2019 di Surabaya, tuan rumah mengangkat tema soal digitalisasi.
Gubernur Jatim (saat itu) Soekarwo mengangkat isu tentang peran serta pers dalam penguatan ekonomi kerakyatan berbasis digital.
Dia optimistis, pemanfaatan sistem digitalisasi akan mampu mendongkrak usaha mikro kecil menengah (UMKM) di tempat itu.
Maklum, beberapa daerah di Jatim terkenal sebagai sentra pengrajin aksesoris seperti tas, dompet dan sepatu kulit yang kualitasnya cukup baik. Namun pangsa pasarnya kalah dengan produk import.
Sehingga dia ingin peran digitalisasi dapat membantu para pengrajin untuk memasarkan produknya lebih luas dan menguasai pasar.
Dalam penyelenggaraan HPN, Jatim saya anggap sangat maksimal dalam segala hal. Rangkaian acara yang dihelat pun cukup mewah dan berkelas.
Suvenir yang dibagikan kepada para peserta yang menghadiri rangkaian kegiatan juga melimpah. Sampai- sampai sejumlah barang yang saya dapat tidak muat dalam koper dan terpaksa di tinggal di hotel.
Kondisi itu mungkin juga karena ditopang APBD Jatim yang relatif besar. Sehingga secara finansial mereka benar- benar telah siap.
Berlanjut ke Padang, Sumatera Barat. Jika Jatim menawarkan kesan kemewahan, Sumatera Barat (Sumbar) justru menyuguhkan budaya kearifan lokal.
Satu hal yang tak dapat saya lupakan saat perhelatan HPN di Kota Tercinta itu: Bajamba. Tradisi makan bersama ala Minangkabau itu benar- benar terekam indah dalam memori.
Bagaimana tidak, ribuan wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul menjadi satu, menikmati cita rasa masakan khas Padang yang sudah mendunia.
Tentu tidak perlu saya ulas bagaimana nikmatnya menyantap rendang dan sate padang bukan?
Ya, justru yang menarik untuk dibahas adalah tata cara dalam penyajiannya. Makanan dihidangkan di atas karpet panjang. Semua tamu duduk secara lesehan dalam satu tenda.
Tak ada perbedaan. Menteri, gubernur, pejabat tinggi lainnya dan para wartawan melebur jadi satu. Duduk di atas hamparan karpet yang sama. Nuansa kebersamaan sangat kental dalam balutan acara itu.
Hampir seluruh rangkaian acara HPN mereka kemas dalam balutan budaya. Luar biasa!
Di Ambon, tema yang diangkat saat itu adalah Pers dan rakyat Maluku Bangkit dari Laut.
Ya, potensi perikanan di Maluku memang sangat menjanjikan. Sehingga tak heran jika di setiap tempat wisata kuliner disana menyuguhkan beragam hidangan jenis seafood.
Selain itu, hal lain yang paling sulit untuk dilupakan dari Ambon adalah suara emas para penyanyinya.
Konon, orang yang berasal dari Maluku rata- rata memiliki bakat bernyanyi sejak lahir. Bahkan saat teriak pun suara mereka sudah terdengar merdu. Amboi. Hehehe.
Seingat saya. Saat HPN di Maluku acara makan malam diadakan sebanyak dua kali.
Jamuan pertama diselenggarakan oleh Walikota Ambon. Dikemas dalam acara malam ramah tamah. Kedua, dilaksanakan di rumah dinas gubernur Maluku.
Tentu, dalam setiap acara tersebut selalu diisi dengan lantunan emas dari para penyanyi lokal yang suaranya tak kalah dengan artis ternama.
Suara merdu mereka akan semakin hidup tatkala diiringi gitar kecil khas Maluku, ukulele.
Penjabat Walikota Ambon Frans J Papilaya malam itu berkata, orang ambon seperti pohon sagu. Meski luarnya tampak hitam tapi dalamnya bersih seperti saripati sagu itu sendiri.
Katong samua basudara!
Saya sendiri sangat tertarik untuk kembali berkunjung kesana. Melihat nona manise. Hehehe.
Semoga rangkaian perjalanan indah itu tidak berhenti sampai disini. Mudah- mudahan saya masih diberi kesempatan mengikuti HPN di Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun depan. Itu saja, tabikpun.(*)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com