MOMENTUM, Bandarlampung--Indonesia masih mencatatkan defisit perdagangan dari Tiongkok sebesar US$ 9,6 miliar atau setara Rp 131,02 triliun pada Januari-November 2019. Defisit tersebut sudah jauh berkurang dibanding tahun 2018 yang mencapai US$ 18,4 miliar. “Indonesia berhasil mendorong peningkatan ekspor sejumlah komoditas unggulan yang menjadi prioritas perdagangan luar negeri Indonesia saat ini seperti sawit, buah-buahan, kopi, perikanan, rumput laut, sarang burung walet, batu bara, dan lainnya,” kata Duta Besar (Dubes) RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia Djauhari Oratmangun belum lama ini.
Dubes Oratmangun mengatakan, berdasarkan data Pabeanan Tiongkok, Indonesia menempati urutan ke-15 negara pengekspor terbesar ke Tiongkok. Untuk periode Januari– November 2019, total nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$ 31,42 miliar, dan impornya sebesar US$ 40,99 miliar, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 9,6 miliar.
Dia menyebut, komoditi utama yang diimpor Indonesia dari Tiongkok untuk periode ini antara lain meliputi produk elektronik, mesin, besi dan baja, tekstil, produk kimia, alat-alat kesehatan, komponen kendaraan dan furnitur. “Penurunan defisit perdagangan tidak lepas dari upaya diplomasi ekonomi yang dilakukan Indonesia di wilayah Tiongkok. Upaya diplomasi ekonomi difokuskan pada penguatan kerja sama ekonomi yakni peningkatan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok, serta mendorong investasi dan promosi pariwisata Indonesia di Tiongkok yang merupakan salah satu sumber wisatawan asing terbesar saat ini.
“Diplomasi ekonomi Indonesia selama 2019 di Tiongkok berhasil meningkatkan nilai inbound investasi sebesar 81,3 persen dan nilai perdagangan kedua negara, dan sekaligus memperkecil defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok,” kata dia.
Data BKPM menunjukkan, sebanyak 1.888 total proyek investasi dari Tiongkok telah direalisasikan di Indonesia hingga akhir kuartal III-2019 dengan nilai mencapai US$ 3,31 miliar atau naik 81,3 persen dari periode sama tahun sebelumnya (jumlah proyek 1.059 dengan nilai US$ 1,83 miliar). Nilai investasi selama sembilan bulan 2019 itu bahkan sudah melebihi capaian realisasi investasi tahun 2018 yang sebesar US$ 2,41 miliar.
“Selain itu, terdapat 23 perjanjian kerja sama dalam pengembangan 4 Koridor Ekonomi. KBRI Beijing telah memfasilitasi pengenalan teknologi seperti 5G, artificial intelligence, blockchain, Internet of Things, dan lainnnya dengan raksasa teknologi seperti Alibaba, Huawei, dan lainnya. Pembukaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Beijing diharapkan dapat memberi masukan dalam upaya pengembangan ekonomi dan keuangan Tiongkok, khususnya yang berdampak bagi Indonesia,” kata Dubes Oratmangun.
Dia melanjutkan, promosi pariwisata tahun 2019 difokuskan pada pengenalan lima destinasi wisata super prioritas, yaitu Danau Toba, Likupang, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Diharapkan dengan adanya promosi 10 Bali Baru dan 5 Destinasi Super Prioritas Indonesia dapat menarik wisatawan Tiongkok untuk menjelajahi daerah-daerah lain selain Pulau Bali.
“Kebanyakan dari wisatawan Tiongkok masih menjadikan Bali sebagai tujuan wisata favorit mereka. Pulau Bali juga baru saja mendapatkan penghargaan dengan predikat sebagai pulau tujuan wisata favorit pilihan wisatawan Tiongkok dari harian Global Times,” pungkasnya.
Spesifikasi
Mengurangi defisit perdagangan adalah salah satu pekerjaan yang paling memusingkan bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, karena diliputi banyak kendala mulai dari mutu barang ekspor Indonesia yang kurang kompetitif, kebanyakan ekspor dalam bentuk bahan baku bukan olahan, kurang memiliki nilai tambah, promosi dan diplomasi ekonomi bukan terus menerus berusaha dan fokus mencari “new captive market”, ditambah kurangnya suplai informasi ekonomi strategis yang seharusnya mampu disuplai oleh lembaga intelijen di Indonesia ke unit-unit operasional yang bergerak dalam bidang diplomasi ekonomi, perdagangan dan perindustrian.
Disamping itu, spesifikasi dan spesialisasi produk barang ekspor Indonesia juga harus didiversifikasi. Indonesia juga perlu memanfaatkan adanya blockchain, internet of things bahkan artificial intelligence agar produk ekspornya semakin kompetitif.
Di internal, pembenahan regulasi agar tidak tumpeng tindih melalui pembahasan Omnibus Law harus segera diselesaikan, namun tampaknya muskil dapat selesai dalam 1 tahun ke depan, karena banyaknya kluster permasalahan dan pasal yang harus dibahas, termasuk masalah hilangnya “economic wealth” dari “raja-raja kecil” rumitnya regulasi di Indonesia juga akan memperpanjang resistensi penolakan Omnibus Law, apalagi jika kelompok ini berkolaborasi dengan kelompok oposan pemerintah. Situasi akan tambah gawat, bleeding anggaran akan terjadi, defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran akan semakin membengkak. Ini worst scenario yang juga harus diantisipasi, sehingga ditemukan exit strategy yang tepat dari mereka yang berwenang. Semoga.(**)
Oleh: Mubdi Tio Thareq. Penulis adalah pemerhati Indonesia dan Kolumnis di berbagai media online.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com