MOMENTUM--Pada Januari dan Februari 2020, Harian Momentum, menerima mahasiswa dari tiga perguruan tinggi. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Politeknik Negeri Lampung (Polinela), dan Universitas Muhammadiyah Lampung (UML).
Dari IAIN Metro, tiga mahasiswi semester enam Jurusan Komunikasi Penyiaran Agama Islam. Mereka praktek kerja lapangan (PKL) selama 40 hari.
Kemudian Polinela mengirim tujuh reporter pers kampus, Sukma. Tiga mahasiswa dan empat mahasiswi semester dua. Selama sepekan, mereka ke lapangan ikut melakukan liputan.
Sementara empat mahasiswa UML berkunjung ke Harian Momentum setelah sepekan mengikuti pelatihan jurnalistik di kampusnya.
Setiap tahun selalu ada aktivis pers kampus atau mahasiswa jurusan komunikasi yang berkunjung atau PKL di Harian Mumentum.
Kami sempat menolak permintaan sebuah universitas yang ingin mengirimkan mahasiswanya untuk PKL. Alasannya, pada saat bersamaan ada mahasiswa dari perguruan tinggi lain.
Bagi perusahaan nonpers, misalnya. Menerima mahasiswa PKL berarti akan meringankan atau setidaknya bisa mengurangi beban kerja karyawan.
Namun, tidak demikian dengan mahasiswa PKL di Harian Momentum. Mereka tidak langsung melakukan PKL dengan, misalnya, diberi tugas meliput peristiwa di lapangan.
Sebelum ditugaskan ke lapangan, mahasiswa PKL lebih dulu kami ajak berdiskusi dan bertukar pengetahuan tentang kewartawanan.
Setelah itu, mereka ditugaskan meliput atau mencari berita. Tentu, tidak sendirian. Para mahasiswa PKL akan didamping atau bersama-sama wartawan turun ke lapangan.
Setelah kembali dari liputan, mereka diminta menuliskan laporan dalam bentuk berita. Terakhir, evaluasi. Mulai dari proses peliputan, kendala di lapangan, hingga berita yang ditulis.
Ada sedikit catatan menarik selama berinteraksi dengan mereka. Dalam berita yang ditulis salah satu mahasiswi PKL, terdapat singkatan UU dan PP. Kira-kira begini: "Hal itu sesuai dengan UU dan PP bla bla bla...."
Lalu, kami tanya, apa kepanjangan UU dan PP.
Mahasiswi reporter PKL itu menjawab: "Undang-undang".
"Terus, kalau PP?" tanya kami lagi.
"Tidak tahu. Beneran, saya tidak tahu," jawab dia sambil tersenyum.
Menariknya, ketika hal itu ditanyakan kepada teman-teman mahasiswa PKL yang lain, jawabannya sama. Mereka juga mengaku tidak tahu, PP itu singkatan dari peraturan pemerintah.
Cerita lain, dari pelatihan jurnalistik Universitas Muhammadiyah Lampung (UML). Pada saat memulai materi, kami memberikan contoh Hamka. Tokoh wartawan bergelar Bapak Jurnalisme Islam Indonesia.
Haji Abdul Karim Amrullah atau Hamka dipilih sebagai contoh karena dia tokoh besar Muhammdiyah. Mahasiswa UML tentu tak asing dengan salah satu tokoh besar perserikatan Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan.
Ternyata...? Ketika kami tanyakan, siapakah Hamka. Setelah saling menengok, salah satu mahasiswa peserta pelatihan menyebut: "Hamka, seorang ulama yang pernah menjadi ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia)".
Ok. Selain itu, siapakah Hamka? Siapa yang pernah membaca novel karya Hamka?
Semuanya, diam.
Ketika ditanya pernah menonton film "Di Bawah Lindungan Kabah".
Ada di antara mahasiswa UML itu yang mengatakan pernah. Meski terlihat ragu saat disebut film itu berasal dari novel dengan judul yang sama, karya Hamka.
Sampai di sini, saya berkeyakinan, para mahasiswa itu sedang bercanda. Bukan karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang sangat sederhana itu.
Namun, jika kondisi itu nyata, tentu suatu keprihatinan semua pihak. Terutama dari kalangan pendidikan, harus mencarikan solusi agar generasi muda di era milenial mengenal dengan baik tokoh-tokoh bangsa dan karyanya.
Sekali lagi, saya berharap, semua itu hanya candaan anak muda di era milenial. Bukan karena memang tidak tahu. Apa lagi sengaja tidak mau tahu. Padahal semestinya, kita harus selalu mencari tahu dan mengenal para tokoh bangsa.
Tabik pun.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com