Acuk Atong

Tanggal 08 Mar 2020 - Laporan - 1205 Views
Adipati Opie

MOMENTUM, Metro--Malam itu saya tersenyum tanpa lawan bicara. Padahal, di rumah cukup ramai anggota keluarga berkumpul. Bercengkrama di ruang keluarga berukuran 4X4 meter persegi.

Bukan karena canda tawa anggota keluarga, saya tersenyum malam itu. Bukan pula karena saya bahagia mereka bisa berkumpul di rumah.

Senyum saya seperti orang tidak waras itu karena teringat ucapan sahabat semasa kecil, beberapa hari lalu.

Acuk Atong (masuk kantong, maksudnya). Kata-kata gurauan sahabat kecil saya itu tiba-tiba terbersit dipikirin. Itu yang membuat saya senyum-senyum sendiri.

Kata acuk atong diucapkan sahabat saya, saat beberapa hari lalu kami berkumpul. Reuni masa kecil di basecamp tempat kami dulu sering main bersama.

Sekarang basecamp kami itu sudah menjadi bangunan ruko. Kebetulan pemiliknya teman main waktu kecil dulu.

Saat bercengkrama tak tentu arah, entah kenapa topik pembahasan menjurus ke pilkada (pemilihan walikota dan wakil walikota). Padahal, hampir sebagian teman-teman saya di situ awam soal politik.

O ya, hampir lupa. Sekedar informasi, hajat demokrasi di kota kami itu akan digelar 23 September 2020 mendatang.

Topik pembicaraan ke ranah politik itu bermula saat salah satu teman bertanya kepada saya.

"Kapan pemilihan walikotanya coy," tanyanya singkat. 

Saya pun langsung menjawab. "Pertengahan September." 

"Masih lama. Padahal udah kangen ngerasain uit oyitik (duit politik)," cetusnya bergurau.

"Acuk atong dong," celetuk teman saya yang lainnya.

Sontak, ucapan itu memecah suasana menjadi riuh. Kami yang mendengar kata-kata "kicut" itu spontan tertawa terbahak-bahak.

"Siapa pun calonnya yang ngasih (uang) ya ambil, acuk atong. Milih mah sesuai hati nurani. Nggak bisa dibeli," kata teman saya yang usianya lebih muda menimpali.

"Cocok. Bukan gara-gara uang, kita pasrah memilih yang memberi. Goreng aja," cetus teman lainnya.

Spontan saya pun ikut menimpali. "Kita harus pintar menelaah. Dari sekian banyak calon walikota, siapa di antara mereka yang benar-benar punya niat dan program yang baik untuk membangunan kota ini," kata saya dengan gaya dimirip-miripin para pejabat dan politisi. Hehehe.. Namanya juga dalam suasana canda.

"Cerdas, gua milih elu lur," gurau teman saya disusul tawa kami bersama.

Sedikit hikmah yang saya ambil dari percakapan canda kami itu. Masyarakat sudah semakin cerdas menentukan pilihan. Uang bukan lagi jaminan untuk menang.

Rakyat tak menolak diberi uang. Diberi, ya acuk atong. Hak pilih adalah soal nurani, tetap nggak bisa dibeli.

Sudah saatnya benar-benar menjadikan pilkada sebagai pesta demokrasi. Bukan pesta bagi-bagi yang hanya akan berujung acuk atong. (**)

Adipati Opie Wartawan Harianmomentum

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Menang Jadi Arang Kalah Jadi Abu ...

MOMENTUM-- Sejak awal Maret lalu, saya sebenarnya sudah mendapat ...


Pesan Khatib di Mimbar Jumat ...

MOMENTUM-- Pemilihan presiden (Pilpres) menjadi magnet tersendiri ...


Siklus Kehidupan ...

MOMENTUM-- Dulu, ketika beranjak remaja, saya selalu mendapat tug ...


Unila kembali Bergejolak ...

MOMENTUM-- Universitas Lampung (Unila) kembali jadi sorotan publi ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com