Kemendikbud Hapus Ujian Nasional dan USBN

Tanggal 09 Mar 2020 - Laporan - 688 Views
Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana. Foto. Ira.

MOMENTUM, Bandarlampung--Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) menghapus ujian nasional (UN) dan ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Kebijakan itu diterapkan pada tahun 2021.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana, sebagai pengganti UN, Kemendikbud akan menerapkan asesmen kompetensi dan survei karakter 

Asesmen tersebut dilaksanakan bukan pada ujung jenjang sekolah seperti UN selama ini. Tetapi di tengah jenjang sekolah, jelas Ade saat sosialisasi kebijakan tersebut di Bandarlampung, Senin (9-3-2020). 

Sementara pengganti USBN, kata dia, diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. 

Kebijakan itu, menurut Ade, untuk mempersiapkan SDM Indonesia, terutama menghadapi bonus demografi pada 2030. Alasannya, jika tidak dipersiapkan sejak dini, hal itu akan menjadi ancaman bagi bangsa. 

"Mendikbud menekankan ke depan kita harus siapkan diri menghadapi bonus demografi sampai 2030. Pada tahun itu angka produktif tambah banyak. Jika ini dibiarkan ini jadi bencana. Misalkan 40 tahun berikutnya lebih banyak angka yang tidak produktifnya ketimbang yang produktif, maka itu jadi ancaman," jelas Ade Erlangga.

Langkah mewujudkan hal tersebut, Mendikbud mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar. Yaitu, terciptanya suasana belajar yang bahagia.

Ade menjelaskan, tujuan merdeka belajar adalah agar para guru, siswa, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia, dan tidak stress. 

"Merdeka belajar itu bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat siswa (peserta didik), bahagia buat orang tua. Sehingga antara guru dan siswa itu tidak cuek-cuekan dan tidak terbebani persoalan administratif," papar Ade.

Program merdeka belajar muncul dari banyak keluhan terhadap sistem pendidikan yang berlaku selama ini. Salah satunya, tentang nasib siswa yang ditentukan oleh nilai tertentu atau UN. Akibatnya, ketika diberikan contoh penyelesaian kasus, sebagian siswa tidak bisa mengerjakan. 

Menurut Ade, pokok-pokok kebijakan merdeka belajar itu ada lima. Yakni ujian sekolah berstandar nasional (USBN), ujian nasional (UN), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi serta pendirian perguruan tinggi dan akreditasi. 

"Tahun 2020 USBN itu diganti ujian (asesmen) yang hanya diselenggarakan oleh sekolah. Untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk lain yang lebih komprehensif misalkan tugas kelompok atau karya tulis dan sebagainya," jelasnya. 

Dia mencontohkan, dalam asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, dilakukan melalui tiga penilaian yakni literasi kemampuan bernalar menggunakan bahasa.

Selanjutnya penilaian numerasi yakni kemampuan bernalar menggunakan matematika, dan yang ketiga adalah penilaian karakter misalnya pembelajaran, gotong royong, kebhinnekaan dan perundangan. 

"Ujian itu akan dilakukan di tengah jenjang, misalnya saat kelas 4 SD dan bukan kelas 6 SD, kelas 8 SMP dan bukan kelas 9 SMP, juga kelas 11 SMA bukan kelas 12 SMA," ungkapnya. 

Dengan demikian, ujian di tengah jenjang memungkinkan pihak pendidik punya waktu memperbaiki kualitas siswa sebelum lulus. Perbaikan berdasarkan hasil asesmen dan survei tak bisa dilakukan bila hasilnya baru diketahui di akhir jenjang pendidikan.

"Jadi kalau dilakukan di tengah jenjang ini memberikan waktu untuk sekolah dan guru-guru melakukan perbaikan sebelum anak itu lulus di jenjangnya," ungkap Ade. 

Kebijakan yang ketiga adalah terkait RPP, kedepan guru tidak akan dibebankan dengan RPP yang banyak sekali, akan tetapi lebih dipermudah dengan sedikit beban mereka. 

"Guru secara bebas dapat memilih, menggunakan, membuat dan mengembangkan format RPP. Yang penting ada tiga komponen inti yakni tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen. Sehingga satu halaman cukup," kata Ade.

Sementara untuk kebijakan PPDB zonasi, kedepan itu lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. 

Jalur zonasi ada empat macam yakni jalur zonasi minimal 50 persen, jalur afirmasi 15 persen, jalur perpindahan maksimal 5 persen dan jalur prestasi 0-30 persen, disesuaikan dengan kondisi daerah. 

"Nanti gak ada lagi akal-akalan orang pindah alamat. Karena itu semua kita serahkan ke daerah, Kabupatan/kota dan Provinsi. SMK dan SLB itu gak ada zonasi. Tapi jika SD-SMA yang ada zonasi," tegasnya. 

Kebijakan terakhir adalah pendirian program studi baru bagi perguruan tinggi. Dikatakan Ade, perguruan tinggi yang kampusnya sudah akreditasi A dan B boleh membuka prodi baru.

Syaratnya harus ada kerjasama dengan perusahaan baik multi nasional, internasional, maupun perguruan tinggi nasional, organisasi nasional (PBB), perusahaan BUMN ataupun perusahaan swasta. (*).

Laporan: Ira Widya.

Editor: M Furqo.

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Hima Akuntasi IIB Gelar Seminar Literasi Baha ...

MOMENTUM, Bandarlampung – Himpunan Mahasiswa (Hima) Akuntansi I ...


LPM Pringsewu Bekerja Sama dengan LKP DMC Gel ...

MOMENTUM, Pringsewu -- Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kabu ...


35 Anggota Paskibraka Provinsi Lampung Terpil ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Seleksi Paskibraka Provinsi Lampung berl ...


4 Calon Paskibraka Lampung Selatan Lulus Ting ...

MOMENTUM, Bandarlampung--Seleksi Paskibraka Tingkat Provinsi Lamp ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com