MOMENTUM, Bandarlampung--Tujuan mulia pemerintah Indonesia untuk memangkas overlapping regulasi yang selama ini "dinikmati" banyak pihak, upaya menciptakan lapangan kerja, upaya memudahkan bisnis dan investasi ke Indonesia dengan memberikan insentif pajak, upaya untuk mengurangi pengangguran termasuk mengurangi kemiskinan absolut yang mendera 9,4 persen penduduk, mereformasi birokrasi dan memberikan sanksi kepada yang mbalelo termasuk beberapa tujuan lainnya yang dikemas dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan telah ditolak mentah-mentah oleh kalangan buruh dan beberapa BEM serta kelompok kepentingan yang "meremote control" mereka.
Mereka dengan perspektif dan paradigma yang dipicu pada ideologi perjuangan masing masing telah menelaah omnibus law menurut versi mereka, kalangan BEM dan buruh juga melakukan kajian dan beberapa diantara mereka telah merilisnya walaupun banyak media massa enggan memuatnya.
Menurut informasi yang beredar, kelompok BEM, buruh dan kelompok lainnya dalam menelaah draft omnibus law dengan "mengundang" tokoh tokoh yang dinilai mereka kritis, padahal kekritisan mereka karena mereka "tidak berada dalam pemerintahan" ya jelas langsung pemikirannya kritis bahkan cenderung radikal.
Jika omnibus law ditolak, terus sebenarnya apa keinginan kelompok yang menolaknya. Setidaknya ada beberapa motivasi yang melatar belakangi penolakan omnibus law yaitu pertama, tenaga kerja asing ndak bermutu atau unskilled labour banyak masuk ke Indonesia.
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah di mata dan pikiran kelompok yang menolak omnibus law bahwa pemerintah saat ini sedemikian gobloknya membiarkan fenomena itu terjadi.
Jawabannya jelas tidak sebab jika masalah ini terus berkembang, maka memudahkan kelompok oposan pemerintah untuk mempolitisasinya sehingga menghasilkan mosi tidak percaya, bahkan impeachment.
Kedua, sebenarnya mereka "menolak" omnibus law karena ingin diajak bicara atau didekati oleh pemerintah dan DPR RI.
Kalau ini tidak masalah, sebab pembahasan omnibus law ini akan dilakukan secara terbuka, seperti pernah disampaikan Wapres RI. Dialog, transparansi dan pengawalan oleh publik atau dibukanya partisipasi jelas akan diupayakan pemerintah dan DPR RI untuk meminimalisasi kegaduhan selama pembahasannya.
Ketiga, diduga ada motivasi "memalukan" dibalik penolakan omnibuslaw yaitu mereka akan mengkapitalisasinya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan pragmatisnya. Mereka menggunakan idealisme dan semangat "agent of change" BEM atau mahasiswa serta "prahara pengalaman buruk" elemen buruh sebagai martir untuk menggerakkan atau memobilisasi massa.
Padahal sebenarnya banyak elemen mahasiswa dan buruh yang memiliki konflik internal dan kurang solid, karena banyak "pemain yang menelikungnya". Banyak yang menggunakan diksi menolak omnibus law supaya mendapatkan keuntungan politis dan ekonomis.
Keempat, upaya penolakan omnibus law juga dijadikan momentum untuk menunjukkan eksistensi beberapa kelompok kepentingan seperti misalnya LMND yang gencar menyebarkan propaganda di medsos terkait "konsolidasi akbar menolak omnibus law pada 23 Maret 2020" di DPR RI.
Padahal internal LMND sendiri rumorsnya tidak solid dan organisasi ini dalam berunjukrasa ternyata berdasarkan pengalaman tidak memiliki massa. LMND yang "akan mengepung" DPR RI tampaknya juga kurang mengupdate informasi jika reses DPR RI diperpanjang. Ini bagaimanapun menunjukkan asal menolak saja.
Semoga banyak mahasiswa yang baik dan nasionalis serta kelompok buruh yang masih percaya dengan ijtihad atau upaya politik dan ekonomi dari pemerintah untuk memperbaiki dan memodernisasi ekonomi nasional tidak terpengaruh "agitasi dan provokasi" kelompok yang menolak omnibus law. Semoga.(**)
Oleh: Jonathan Albert Kagawak, penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com