MOMENTUM, Bandarlampung--Secara substantif, ada dua alasan utama di balik munculnya omnibus law yang saat ini sedang populer dibicarakan publik, pertama adanya kepentingan untuk mengatasi masalah obesitas dan tumpang tindihnya regulasi, dan kedua, adanya kebutuhan untuk menciptakan UU yang adaptif terhadap perkembangan ekosistem ekonomi, investasi dan daya saing nasional.
Sinyalemen usulan omnibus law telah disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato pertama setelah dilantik sebagai presiden periode kedua yang menyebut tentang dua Undang-Undang (UU) besar yang akan mensinkronisasi 82 UU dan 1100 pasal, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan.
Tidak tanggung-tanggung, omnibus law usulan pemerintah juga telah masuk dalam Prolegnas 2020 dan telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus law yang beranggotakan 127 orang yang beranggotakan kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sebagai bagian dari reformasi regulasi, omnibus law dimaknai sebagai suatu rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Pendekatan ini memungkinkan sinkronisasi dan penggabungan norma di dalam banyak UU yang saling berkaitan ke dalam suatu UU yang baru. Konskuensinya, ketika peraturan itu diundangkan maka akan mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan substansinya selanjutnya dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.
Hal inilah yang tentunya menjadi sentral dari perdebatan banyak pihak karena terkait dengan beragam kepentingan yang harus diakomodir.
Pengalaman Negara Lain
Omnibus law memang biasanya lazim dipraktekkan di negara-negara dengan sistem common law, yang tentu saja berbeda dengan tradisi civil law di Indonesia. salah satu konsekuensi dari perbedaan kedua tradisi itu adalah tidak dikenalnya UU induk atau UU payung (umbrella act) dimana UU omnibus biasanya merupakan UU induk yang dapat menegasikan UU lain. Meski demikian, dalam kondisi darurat obesitas regulasi maka perlu terobosan yang efektif sehingga tidak terjebak pada dikotomi di antara kedua tradisi hukum tersebut.
Pengalaman berbagai negara memperlihatkan bagaimana omnibus law diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah publik. Adalah pengalaman Irlandia menghapus sekitar 3.225 UU dan menggabungkan dalam satu UU omnibus yang dianggap sebagai suatu rekor dunia dalam sejarah penerapan omnibus law. Meski demikian, penerapan omnibus law atau omnibus bill di Amerika Serikat tahun 1888 untuk mengatur urusan transportasi kereta api yang menghubungkan antar negara bagian sering dirujuk sebagai sejarah penerapan sistem penggabungan hukum dalam praktek negara modern. Amerika Serikat juga pernah memberlakukan omnibus bill yakni Criminal Law Amendement Bill tahun 1967 untuk memperbaharui UU Pidana menjadi lebih komprehensif.
Omnibus law sektor ekonomi yang kini populer di Indonesia juga bukan hal baru. Singapura merilis UU Kepailitan, Restrukturisasi dan Pembubaran sebagai hasil omnibus bill yang disahkan parlemen pada 1 Oktober 2018. UU tersebut mengkonsolidasikan hukum perusahaan dan personal kepailitan serta restrukturisasi. Sementara itu, Philipina menerapkan Omnibus Investment Code untuk memberikan insentif bagi pelaku ekonomi dan memacu pembangunan nasionalnya. Sedangkan Kanada juga menggunakan omnibus law untuk mensinkronkan puluhan UU agar sejalan dengan aturan-aturan perdagangan internasional.
Mapping Isu Versus Mobilisasi Massa
Meski hierarki peraturannya di bawah UU, penataan regulasi dengan memangkas, mengintegrasikan dan sinkronisasi peraturan seperti halnya yang dimaksudkan dalam omnibus law, sebenarnya telah dilakukan dalam PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, yang lebih dikenal dengan Online Single Submission (OSS). Sayangnya, ketika omnibus law pada level UU justru menghadirkan polemik publik dan menyulut munculnya gerakan ekstra parlementer dan mobilisasi massa, semisal masifnya gerakan buruh menolak UU Cipta Lapangan Kerja. Buruh merasa kepentingannya akan terancam jika UU Cipta Lapangan Kerja disahkan karena sejumlah pasal seperti isu cuti,upah, pesangon, kontrak dan sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan komunikasi yang tersumbat dan berpotensi menghambat upaya reformasi regulasi di Indonesia. Selain itu, polemik juga menyangkut kedudukan UU omnibus terhadap UU lainnya mengingat UU No. 12/2011 yang diperbaharui dengan UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undnagan memang tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.
Jika melihat kekuatan pendukung pemerintah di DPR yang lebih dari 74%, sebenarnya pemerintah bisa saja jalan terus dengan agenda omnibus law tanpa peduli suara publik, atau bahkan masuk arena mobilisasi massa tandingan untuk menghadapi massa penolak omnibus law. Namun, hal tersebut berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan bertentangan dengan prinsip negara demokratis yang kita anut. Potensi kebekuan dalam pembahasan omnibus law perlu menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan dengan berdialog dan menyamakan persepsi secara berkualitas atas isu-isu krusial dalam omnibus law. Hal tersebut dapat melalui mapping isu bersama terkait objek yang akan diatur oleh omnibus law dan membuat kluster sektoral yang saling terkait, serta mengindentifikasi berbagai aturan baik di tingkat pusat maupun daerah yang telah mengatur objek tersebut dan dianggap tumpang tindih. Langkah ini penting dan jauh lebih produktif dibandingkan adu kekuatan dalam opini dan gerakan ekstra parlementer yang justru berpotensi menghambat partisipasi kolektif seluruh stakeholder. Dengan demikian, proses penyusunan omnibus law menghasilkan suatu UU yang tidak hanya memenuhi syarat formil dan materil saja, tetapi makna filosofis dari suatu UU yakni nilai keadilan, kepastian, ketertiban hukum, dan kemanfaatan.(**)
Oleh: Dr Ade Reza Hariyadi, penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) dan dosen.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com