MOMENTUM, Bandarlampung--RUU Omnibus Law terus mendapat penolakan terutama dari kelompok buruh dan mahasiswa. Berbagai dugaan muncul terkait penolakan RUU Omnibus Law yang didominasi oleh kelompok buruh dan mahasiswa, apakah penolakan tersebut memang relevan atau ada muatan politis.
Presiden KSPI Said Iqbal menyebutkan bahwa ada sembilan point yang ditolak dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yaitu : hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, penggunaan outsourching yang bebas, jam kerja eksploitatif, penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas. Point selajutnya adalah penggunaan tenaga kerja asing unskilled workers, PHK yang dipermudah, hilangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh khususnya kesehatan dan pensiun, dan sangsi pidana yang dihilangkan.
Kelompok mahasiswa menolah RUU Omnibus Law dengan berbagai alasan. Pertama adalah RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UU No 15 Tahun 2019 Bab 2 Pasal 5 dan Bab ll pasal 96 tentang perubahan mas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedua adalah RUU Omnibus Law dianggap sebagai upaya sentralisasi kekuasaan yang mencederai semangat reformasi, ketiga karena adanya penghapusan hak pekerja meliputi jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial sesuai UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Alasan penolakan RUU Omnibus Law dari mahasiswa selanjutnya adalah penyederhanaan izin investasi yang berdampak pada kerusakan lingkungan sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu kelompok mahasiswa juga mendesak pemerintah membuka ruang partisipasi untuk masyarakat dalam setiap penyusunan dan perubahan kebijakan.
Kelompok mahasiswa dan buruh yang menolak RUU Omnibus Law mempunyai alasan masing-masing walaupu secara substansi ada yang sama. Namun yang patut dicermati adalah apakah aksi kelompok mahasiswa dan buruh tersebut tujuan utamanya adalah untuk menolak RUU Omnibus Law atau aksi penolakan tersebut mempunyai tujuan lain agar RUU Omibus Law bisa disesuaikan.
Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Beleid itu berfungsi untuk menyederhanakan sekelumit aturan yang memperlambat proses ekonomi. Jika memperhatikan tujuan utama daro Omnibus Law tersebut maka aksi oleh kelompok mahasiswa dan buruh seharusnya tidak berhenti pada penolakan Omnibus Law, namun harus lebih jauh lagi ikut (atau diajak) berpartisipasi dalam menyusun dan memperbaiki rancangan Omnibus Law.
Orientasi dari aksi penolakan kelompok mahasiswa dan buruh menunjukkan motif sesungguhnya. Melihat tujuan dari pemerintah menyusun RUU Omnibus Law adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi, maka jika kelompok buruh dan mahasiswa mempunyai motif jernih dan relevan dengan tujuan tersebut, aksi yang dilakukan seharusnya tidak dalam bentuk penolakan tetapi untuk perbaikan pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan utama Omnibus Law. Tentu saja untuk mengarah kepada keterlibatan kelompok buruh dan mahasiswa perlu dibuka ruang dialog sehingga terjadi komunikasi yang konstruktif.
Jika aksi dari kelompok buruh dan mahasiswa hanya untuk menolak RUU Omnibus Law dan tidak ada upaya untuk mendorong atau ikut serta dalam perbaikan pasal-pasal maka motif penolakan tersebut cenderung bermotif politik. Dengan motif politik maka tujuan aksi sudah tidak murni dan tidak akan selaras dengan tujuan utama pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dari uraian tersebut di atas maka perlu adanya dorongan dari pemerintah kepada kelompok buruh dan mahasiswa untuk tetap berada di motif aksi yang relevan dengan tujuan utama Omnibus Law mempercepat pertumbuhan ekonomi. Langkah yang bisa dan harus dilakukan adalah dengan dialog secara terus menerus dengan semua pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan Omnibus Law yang sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mempercepat pertumbuhan ekononomi.(**)
Oleh: Stanislaus Riyanta, penulis adalah pengamat kebijakan publik.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com