MOMENTUM, Bandarlampung--Di tengah masa pandemi covid-19 yang merisaukan masyarakat. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mulai membahas omnibus law RUU Cipta Kerja. Namun, tindakan ini menimbulkan respon tanda tanya oleh beberapa kelompok masyarakat. mengingat RUU Cipta Kerja sedari awal kemunculannya memang menimbulkan pro kontra.
Dalih Ketua DPR RI Puan maharani, pelaksanaan ini merupakan kewenangan DPR dan sudah menjadi tugas DPR untuk teteap melaksanakan fungsi legislasi meski dilanda pandemi covid-19. Pembahasan RUU Cipta kerja tetap dilaksanakan karena mendasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang target waktunya sudah ditetapkan.
Pembahasan yang dilakukan tanggal 14 April 2020, Baleg bersama pemerintah sepakat untuk melanjutkan RUU ini pada tahap pembentukan panitia kerja RUU tentang Cipta Kerja. Selanjutnya Panitia kerja ini kemudian membuka ruang partisipasi publik seluas mungkin guna menciptakan hasil undang-undang yang obyektif. Partisipasi publik dilakukan dengan cara mengundang berbagai stakeholders dan para narasumber untuk memberikan saran dan masukan terhadap RUU Cipta Kerja.
Di samping itu, rapat pembahasan RUU Cipta Kerja juga menugaskan Tim Ahli Badan Legislasi dan Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun matrik sandingan seluruh Undang-Undang. Ada 79 RUU dan 1.203 pasal terkait yang terdampak dari Omnibus Law Cipta Kerja, yang selanjutnya di perbandingkan dan disederhanakan menjadi undang-undangan yang efektif.
Terlepas pro kontra, upaya baik DPR dan pemerintahan terkait pembahasan RUU Cipta Kerja tetap perlu mendapat respon. Upaya respon ini dilakukan untuk memperbaiki agar proses RUU Cipta Kerja menghasilkan undang-undang yang konstruktif. Apalagi dimasa pandemi covid-19 tentu berharap hasil dari RUU Cipta kerja nantinya mampu memulihkan kondisi ekonomi Indonesia yang turun akibat dampak pandemi covid-19.
Hal yang perlu direspon, pertama, karena RUU ini salah satu prioritas dalam prolegnas dan mengantisipasi molor dari waktu yang ditetapkan. Maka, masukan-masukan dari partisipasi publik perlu diprioritaskan pada hal-hal yang mengutamakan argumentasi konstruktif. Hindari argumentasi yang berujung debat kusir. Materi yang muatannya konstruktif akan bisa menghasilkan undang-undang yang membawa dampak perubahan nantinya.
Kedua, public hearing tidak hanya mendengar sebatas mendengar masukan saja, tetapi perlu ada uji materi. Uji materi ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui dampak teknisnya, apakah bila dilaksanakan akan ada yang dirugikan atau tidak secara sistemik? Dampak teknisnya tidak hanya soal ekonomi saja, bisa mencangkup soal keadilan pekerja, soal kerusakan alam, dan penggusuran yang selama ini memang itu yang menjadi alasan sebagian masyarakat menolak RUU ini. Untuk itu perlu melibat perwakilan orang-orang yang kompeten di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan pihak-pihak terkait yang terdampak sistemik dalam uji materi tersebut.
Ketiga, percepatan pembahasan RUU Cipta Kerja ini memang perlu dilakukan dan perlu pula ada penyesuaian ulang terkait konteks RUU Cipta Kerja ini dibikin. Mengingat RUU ini dibikin dikondisi sebelum pandemi covid-19 terjadi, sehingga perlu ada penyesuaian kembali konteks Indonesia saat ini. Meski dampak dirasakannya tidak bisa secara langsung atau tidak bersifat jangka pendek. Tetapi bilamana RUU Cipta Kerja tidak segera disahkan maka pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19 bisa berjalan lambat pula. Hal ini mengingat tidak adanya stimulus untuk menarik minat investor ke Indonesia.(**)
Oleh: Almira Fadhillah, penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadharma.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com