MOMENTUM, Bandarlampung--Pandemi Covid-19 telah menyebabkan bencana bagi masyarakat global. Masalah kesehatan ini menimbulkan dampak domino di berbagai sektor kehidupan, termasuk masalah ketenagakerjaan.
Kebijakan social distancing sebagai kunci dari pencegahan wabah yang ditempuh semua negara telah menghentikan sektor produksi dan distribusi barang secara global. Kini, sektor industri tidak hanya telah merumahkan miliaran tenaga kerja, tetapi juga dihantui oleh PHK yang ditempuh guna mengatasi krisis. Bahkan, situasi lebih buruk mungkin terjadi, para ekonom memperkirakan dunia akan menghadapi situasi resesi ekonomi.
Menurut prediksi OECD, pertumbuhan ekonomi dunia bisa anjlok hingga 1,5 persen - 2,4 persen, disusul dengan potensi pertumbuhan minus di sejumlah negara.
Menurut catatan International Labour Organization (ILO), sekitar 2,67 miliar pekerja atau 81 persen dari 3,3 miliar pekerja global telah dirumahkan, dan 1,25 miliar pekerja dalam posisi terancam PHK. Situasi serupa juga terjadi di Indonesia, data Kemenaker menunjukkan 2,8 juta pekerja sektor formal maupun informal telah dirumahkan dan rentan PHK (13-4-2020).
Gelombang PHK telah terjadi di sejumlah propinsi seperti PHK terhadap 24.240 tenaga kerja di Jawa Tengah, 14.053 buruh dirumahkan dan 5.047 PHK di Jawa Barat, dan 50.891 pekerja kena PHK dan 272.333 pekerja dirumahkan di wilayah Jakarta (13-4-2020).
PHK massal ini imbas dari ratusan ribu perusahaan yang terpaksa mengurangi atau menghentikan operasinya akibat pandemi Covid-19 dan konsekuensi dari kebijakan social distancing secara global.
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan langkah kontingensi dengan realokasi dan optimalisasi APBN sebesar Rp405,1 triliun, terutama untuk program pemulihan dampak ekonomi Covid-19 melalui stimulus ekonomi, insentif pajak, relaksasi, pemenuhan kewajiban perusahaan dan kemudian impor bahan baku industri. Alokasi anggaran itu juga meliputi program sosial dalam kerangka perlindungan masyarakat terdampak, termasuk pekeraj yang dirumahkan dan PHK dengan peningkatan program perlindungan sosial melalui pembebasan pemotongan pembayaran listrik, program keluarga harapan, kartu sembako dan program Kartu Prakerja. Kebijakan tersebut tentu memerlukan prioritas dan fokus di lapangan agar tepat sasaran dan berdampak langsung bagi kepentingan masyarakat, terutama pekerja yang di PHK dalam memenuhi akses akan kebutuhan dasar yang memadai.
Aksi Buruh VS Omnibus Law
Hampir seluruh sektor telah terdampak pandemi Covid-19, tidak hanya sektor swasta namun juga pemerintahan. Dalam perspektif kelompok serikat pekerja, situasi saat ini menempatkan pekerja dalam posisi yang paling rentan dan dirugikan. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dianggap kurang memihak dan melindungi kepentingan pekerja dalam situasi pandemi. Kondisi ini makin memperkuat kekhawatiran pekerja bahwa omnibus law Cipta Lapangan Kerja akan semakin memperburuk nasib pekerja dalam situasi yang berpotensi berkembang menjadi resesi ekonomi global.
Sejumlah pasal dalam omnibus law dianggap merugikan pekerja, terutama menyangkut upah, cuti, pesangon, kontrak kerja dan lainnya. Hal inilah yang ikut mendorong sejumlah serikat kerja seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) mengancam menggelar unjuk rasa 30 April 2020 dengan tuntutan penolakan omnibus law, stop PHK, dan liburkan buruh dengan tetap mendapatkan upah dan THR penuh dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Sementara itu, dalam perspektif pemerintah, pembahasan omnibus law justru dimaksudkan untuk mengintegrasikan beragam regulasi yang tersebar dan tumpang tindih serta tidak ramah terhadap kepentingan investasi dan akselerasi pembangunan ekonomi. omnibus law dapat menjadi semacam terobosan hukum dalam reformasi sektor regulasi untuk mengatasi obesitas regulasi. Selain itu, pemerintah juga meyakini bahwa melalui omnibus law, kepentingan dan masa depan pekerja justru lebih pasti dan terlindungi. Perbedaan cara pandang ini melahirkan hubungan yang diametral dan menghalangi komunikasi dan sinergi antara pemerintah dan buruh.
Perlu Cooling Down
Rencana buruh untuk menggelar unjuk rasa May Day merupakan bagian HAM yang dilindungi Konstitusi. Hal ini dapat menjadi momentum buruh untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya merespon perkembangan sektor ketenagakerjaan dan pembahasan omnibus law. Namun, situasi pandemi Covid-19 tentu harus menjadi pertimbangan mendasar mengingat unjuk rasa menimbulkan interaksi massa dalam jumlah besar. Meski serikat pekerja memastikan akan memenuhi kebijakan social distancing dan menerapkan protokol kesehatan, namun dalam situasi psikologis massa hal ini tentu akan menimbulkan tantangan dalam kepastian kepatuhannya di lapangan.
Dalam sejumlah kasus transmisi virus di Indonesia berasal dari kegiatan pengumpulan massa seperti yang terjadi dengan cluster jamaah tabligh di Gowa dan cluster Seminar Bogor. Jika hal ini terjadi, maka ancaman muncul tidak hanya bagi para peserta unjuk rasa, namun juga masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu terobosan komunikasi antara serikat kerja dan pemerintah untuk menemukan solusi bersama dan cara-cara penyampaian pendapat yang lebih efektif dan aman tanpa mobilisasi massa dalam suasana pandemi ini.
Memang dapat dipahami jika langkah untuk tetap membahas omnibus law sesuai dengan target prolegnas di satu sisi menunjukkan bahwa fungsi-fungsi pemerintahan tetap berjalan dan efektif meski dalam situasi pandemi. Hal ini dapat memupus kekhawatiran tentang mandeknya pemerintahan akibat pandemi dan merisaukan publik akan nasib pelayanan publik.
Namun di sisi lain, pemerintah juga perlu menyadari bahwa omnibus law sebagai suatu kebijakan strategis nasional harus mampu mengakomodasi dan mempertimbangkan seluruh aspirasi pihak yang berkepentingan, termasuk pekerja. Agenda setting omnibus law akan merefleksikan kepentingan para pemangku kepentingan secara proporsional jika tetap membuka keran bagi aspirasi publik, termasuk pekerja meski dalam situasi pandemi. Akuntabilitas pembahasan omnibus law tentu tidak hanya menekankan syarat formal saja, tetapi juga materil yang representatif bagi kepentingan para pihak secara equal, serta tetapi makna filosofis dari suatu UU yakni nilai keadilan, kepastian, ketertiban hukum, dan kemanfaatan.(**)
Oleh: DR Ade Reza Hariyadi, penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) dan dosen.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com