Oleh Ragil Jaya Tamara*
MOMENTUM--Pada tahun ini kita dihadapkan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah di Indonesia. Pesta demokrasi ini dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, pesta demokrasi mengalami suasana yang berbeda. Berbagai kebijakan baru dari penyelenggara pemilu sampai strategi para kontestan politik pilkada serentak 2020 sidikitnya mengalami perubahan.
Kredibilitas Komisi Pemilhan Umum (KPU) di pusat dan daerah jelas diuji. Disamping harus memperkuat netralitas dari pengaruh partai politik, KPU harus memikirkan situasi pilkada serentak pada masa transisi ke era new normal pasca pandemi Covid-19.
Begitu pun dengan Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu) pusat dan di daerah harus bekerja ekstra mengawasi pelaksanaan pilkada ditengah situasi seperti ini.
Lampung adalah salah satu provinsi yang akan melaksanakan pilkada serentak di enam kabupaten dan dua kota. Dinamika politik di Bumi Ruwai Jurai sangat kencang. Satu tahun sebelum pilkada dimulai, bakal calon peserta pilkada telah melontarkan ide dan gagasan jika terpilih menjadi kepala daerah.
Sementara partai politik pengusung bakal calon kepala daerah, tarik ulur untuk merekomendasi calon kepala daerah yang akan diusung dalam pilkada.
Belum lagi praktik shadow state yang akan digunakan oleh kontestan politik sebagai political sponsorships yang sudah diketahui modal politik dalam pemilihan kepala daerah ini tidak sedikit.
Modal ekonomi yang dibutuhkan calon kepala daerah tidak slalu berasal dari kantongnya sendiri, bantuan modal juga berasal dari donatur politik yaitu salah satunya dari pengusaha.
Menteri Politik Hukum dan HAM Prof. Mahfud MD mengungkapkan: “Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih itu melahirkan korupsi kebijakan”.
Dalam seminar yang diakan oleh FH Unand, itu Mahfud tak mengatakan para calon yang dibiayai para cukong ini juga ada di pilkada serentak 2020. Tetapi dia hanya mengatakan kerjasama antar calon kepala daerah ini sudah pasti terjadi. Begitu pun di Lampung, tak sedikit donatur politik dari perusahan besar yang mensponsori beberapa calon kepala daerah di kabupaten/kota di Lampung. Dan umum diketahui publik, Lampung terkenal dengan politik gula.
Ibarat sebuah orkestra, dengan bersama-bersama melantun kan sebuah lagu dengan alat musik yang berbeda diperuntukkan bagi penikmatnya berharap dengan hadirnya lantunan suara yang syahdu dari sebuah orkestra.
Begitulah sedikitnya analog sederhana. Apakah orkestra yang ditampilkan para kontestan politik di Bumi Ruwai Jurai ini untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah. Atau untuk kepentingan golongan dan kaum terpilih untuk melahirkan korupsi kebijakan. (*).
Ragil Jaya Tamara - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com