Oleh: Aah Sumirah - Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
MOMENTUM--Banyak kontroversi --mulai dari penolakan masyarakat, gugatan hingga unjukrasa, dalam pembuatan regulasi yang berupa undang-undang (UU), peraturan pemerintah pengganti UU (Perpu) sampai peraturan presiden (Perpres).
Namun tidak satupun aspirasi masyarakat didengar atau bahkan dipertimbangkan sebelum disahkannya suatu regulasi. Contohnya, UU Cipta Kerja yang menggunakan konsep Omnibuslaw.
Merujuk catatan Kemenko Perekonomian, setelah melalui 66 kali rapat sejak dijadikan RUU prioritas oleh Baleg DPR pada April lalu, sebanyak tujuh UU dikeluarkan dari omnibuslaw. Tapi empat perundang-undangan dimasukan. Sehingga ada total 76 UU direvisi, jumlah bab tetap 15, tapi pasal bertambah menjadi 185.
Namun, lucunya, sejumlah anggota DPR yang mengikuti sidang paripurna 5 Oktober 2020 tidak menerima naskah fisik maupun digital dari RUU tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu anggota fraksi Demokrat yaitu Didi Irwadi pada 8 Oktober 2020, “Sudah tiga periode kami menjadi anggota DPR, baru kali ini kami punya pengalaman yang tidak terduga. Pimpinan DPR telah mengesahkan RUU yang sesat dan cacat prosedur.”
Disini kita akan fokus untuk mempelajari bagaimana sistem penyusunan peraturan perundang-undangan di indonesia. Sebelumnya, harus mengetahui bahwa Indonesia menggunakan sistem hukum civil law yang berupa peraturan perundang-undangan yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi dan negara yang berdasarkan pada pancasila.
Ketika kita peduli dengan negara kita maka pada saat pembuatan suatu undang-undang harus melihat terlebih dahulu apa yang dibutuhkan masyarakat dan pemerintahan agar dapat menghasilkan UU yang berkualitas dan tepat.
Karena pada asasnya pembuatan peraturan perundang-undangan itu harus didasari oleh kejelasan tujuan dibuatnya UU tersebut dan keterbukaan terhadap masyarakat yang tercantum dalam UU no 12 tahun 2011 tentang pembuatan peraturan perundang-undangan. Jika terjadi banyak penolakan seharusnyanya badan executive dan parlementer mengkajinya kembali sampai selesai. Karena ketika melihat kasus omnibuslaw UU ciptaker ini ada beberapa yang kurang tepat dengan UU No 12 tahun 2011.
Beberapa kesalahan yang terjadi dalam pembuatan RUU Ciptaker ini yaitu (1) sangat terburu-buru dalam penyusunan naskah RUU, (2) ketidak jelasan tujuan dibuatnya RUU , (3) tidak adanya naskah akademik dalam pembuatannya, (4) tidak mendengarkan aspirasi masyrakat dalam penetapan RUU, (5) ketidak jelasan naskah akhir RUU setelah sidang paripurna selesai, (6) Isi dengan judul yang tidak sesuai Karena hal-hal tersebut membuat masyarakat geram dan semakin brontak.
Seharusnya legislator memahami muatan materi yg seharusnya ada dalam suatu Undang-undang seperti yang tercantum dalam pasal 6 UU No 12 tahun 2011 muatan materi dalam pembuatan perundang-undagan yaitu ; (1) Pengayoman, (2) Kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kekeluargaan, (5) Kenusantaraan, (6) Bhineka Tunggal Ika, dan (7) Keadilan, (8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (9) Ketertiban dan Kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Ketika pembuatan perundang-undangan sesuai dengan apa yang tertulis dalam UU No 12 tahun 2011 maka tidak akan terjadi hal-hal yang seperti ini.
Apalagi saat ini ditambah permasalahan baru terkait dihapuskan nya pasal 46 soal minyak dan gas bumi setelah RUU itu disahkan dan diserahkan kepada presiden.
Itu adalah hal yang sangat krusial yang tidak boleh terjadi. Karena ketika sidang paripurna selesai maka tidak boleh lagi adanya pengurangan atau penambahan pasal, ayat atau apapun dalam UU tersebut.
Hal itu tidak boleh dianggap enteng oleh para legislator dan pemerintahan. Karena itu merupakan hal yang fatal, dan memang seharusnya UU Ciptakerja ini ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi dan presiden mengeluarkan PERPU untuk UU ini ditunda.
Dan ketika permasalah tentang UU Hak Cipta Kerja ini menjadi sangat kacau. Seharus nya kita menggunakan sistem Habermas yang menggunakan diskursus untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dengan cara berkomunikasi dengan masyarakat.
Dalam artian ajaklah presiden untuk melakukan dialog terbuka dengan masyarakat langsung baik melalui chanel Televisi maupun chanel yang lainnya.
Kita satukan tujuan kita untuk kemerdakaan bangsa dan negara kita, bukan untuk kepenting salah satu pihak saja. Karena komunikasi yang bagus akan menghasilkan suatu keputusan yang tepat.
Menurut tulisan dari Hasnan Rasyid beliau menuliskan untuk menjalankan diskursus. Habermass menyediakan panduan tertentu berupa peraturan yang harus ditaati bagi siapapun yang mengikuti diskursus yaitu;
(1) Setiap subyek yang bisa bicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus,
(2) Setiap peserta boleh mempertanyakan setiap pernyataan didalam diskursus dan peserta dibolehkan untuk mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keingnan dan kebutuhan-kebutuhannya,
(3) Tidak boleh ada seorang pembicara dihalangi dengan paksaan baik di dalam diskursus maupun di luar diskursus untuk melaksanakan hak-haknya yang dirumuskan pada nomor (1) dan (2).
Tentunya kita berharap permaslahan UU Ciptakerja dapat terselesaikan dengan baik sesuai dengan peraturam perundang-undangan di Indonesisa, dan dapat ditunda terlebih dahulu sampai benar-benar UU tersebut pantas untuk digunakan oleh negaraa. Dan menjadi UU yang membuat rakyat sejahtera dan hidup makmur bukannya menjadi UU yang tidak menyengsarakan. (*)
Aah Sumirah - Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com