MOMENTUM-- Kemarin saya bertemu sahabat lama. Dulu pernah satu almamater saat menimba ilmu di perguruan tinggi swasta.
Lebih sepuluh tahun kami berpisah. Dia menghilang, tak ada kabar berita. Setelah datang kembali ke Lampung ternyata sudah sukses. Banyak duit.
Karena sudah siang, kami berdua memutuskan untuk makan. Dia mengajak saya ke warung masakan khas padang di kawasan Telukbetung, Bandarlampung.
Sembari menyantap nasi rendang dan es jeruk dia berceloteh. Inti obrolannya, dia merasa lucu melihat tingkah laku sebagian orang yang dinilai aneh. Terutama masyarakat kalangan menengah ke atas.
Menurut dia, terkadang orang memilih makan di restoran mewah tapi tak sadar sudah dibodohi.
Dia mencontohkan, saat memesan teh manis panasa di restoran hotel. Yang datang malah air putih hangat, gula dan teh secara terpisah.
Tanpa sadar, kita dipaksa meramu sendiri gula, air hangat dan teh. Kemudian mengaduk sendiri hingga bisa dinikmati.
Pelayanannya dimana? Padahal harganya tiga kali lipat lebih mahal ketimbang di warteg.
Menurut dia, makan di restoran sejatinya untuk menghidari supaya tidak capek memasak, mencuci piring dan seterusnya. Kita bayar mahal supaya datang bisa tinggal makan.
Anehnya justru banyak orang yang suka makan di restoran yang memasak sendiri. Pelayan memberi racikan daging mentah, sayuran, rempah dan rebusan air mendidih.
Lalu kita disuruh masak sendiri, mencicipi sendiri makanan tersebut. Habis itu bayar mahal.
Orang punya uang banyak malah pengen hidup susah. Kelakuan aneh- aneh.
Berbeda dengan makan di warteg, kata dia. Selain harga murah pelayanannya juga luar biasa. Tinggal tunjuk jenis makan dalam lemari kaca, pelayan langsung mengantarnya ke meja kita.
Terkadang, orang yang semakin kaya tingkahnya justru semakin aneh. (**)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com