MOMENTUM-- Kasus dugaan pengancaman dan penghinaan yang dilakukan Walikota Herman HN terhadap wartawan menjadi viral.
Khusus di Bandarlampung, kasus itu kian hangat diperbincangkan karena akan ada hajat politik besar pada 9 Desember 2020.
Terlebih, istri Herman-- Eva Dwiana juga sebagai salah satu kontestan pemilihan walikota (Pilwakot) bersama dua pasangan calon lainnya.
Banyak pihak yang mengecam tindakan Herman. Terutama kalangan pers dan praktisi hukum. Mereka menilai sikap arogansi Herman berpotensi mengancam kemerdekaan pers di Lampung.
Kendati demikian, ada juga pihak yang membelanya. Terutama pejabat struktural di pemkot Bandarlampung yang terkesan mati- matian mencoba ’meluruskan’ persoalan hukum tersebut.
Dalam sebuah berita di media online yang kubaca, pejabat tersebut membantah bahwa Herman HN telah bersikap arogan terhadap wartawan.
Menurutnya, hampir 10 tahun Herman HN memimpin Kota Bandarlampung tidak pernah ada kejadian seperti itu.
Sehingga, dia menganggap peristiwa yang terjadi di kantor DPRD itu tidak bisa dijadikan sebagai refleksi sikap Herman HN sehari-hari.
Pendapat pejabat itu baik. Tapi tidak seutuhnya benar. Sebab, di tahun 2011 lalu, Herman juga pernah mengancam akan mencekik wartawan. Maka kasus kemarin adalah yang kedua.
Meski kemudian ancaman tersebut tidak pernah terlaksana hingga kini, tapi bukan berarti kemudian peristiwa kelam itu bisa hilang begitu saja.
Sebagai pejabat baru di lingkungan pemkot Bandarlampung, tentu saya bisa memaklumi pernyataan tersebut.
Publik boleh saja lupa. Tapi insan pers tidak. Kami akan terus mengingat sikap arogansi pejabat publik terhadap teman se-profesi.
Jika boleh jujur, Herman HN adalah kepala daerah yang paling anti kritik. Hampir semua media besar di Lampung pernah merasakan jurus ’’bredelnya’’.
Sebut saja Lampung Post, Tribun, Radar Lampung, Kupas Tuntas dan banyak media lainnya termasuk Momentum.
Jika berani memberitakan kebijakannya-- terutama soal proyek, dapat dipastikan akan mendapat kado bredel. Benarkan?
Saya juga tidak bermaksud memuliakan kepala daerah lainnya, karena tidak pernah menyakiti insan pers.
Tentu ada juga yang pernah memutus kontrak media. Bahkan arogan terhadap wartawan. Tapi tak seberingas Herman. Jika saya salah mohon dikoreksi.
Tapi, itulah fakta yang saya ketahui selama 12 tahun berjibaku di lingkungan pemkot Bandarlampung. Jauh sebelum Herman HN menjadi walikota, saya sudah liputan di sana sebagai reporter.
Jika boleh memberi saran, cukuplah kasus Dedi Kapriyanto menjadi yang terakhir. Siapa pun nanti yang menjadi walikota selanjutnya agar bisa lebih bijaksana. Itu saja, Tabikpun. (**)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com