Terima Kasih Ayah

Tanggal 17 Nov 2020 - Laporan - 1509 Views
Andi Panjaitan, Pemred Harian Momentum.

MOMENTUM-- Dulu, aku sangat membenci ayah. Dia selalu memperlakukan ku layaknya seorang buruh. Mau dapat uang ya harus kerja dulu.

Ketika meminta jajan tambahan (di luar jajan ke sekolah), dia selalu meminta dicabutkan uban. Atau mengurut badannya.
Semakin besar nilai permintaan, semakin berat pula tugas yang akan dia beri.

Suatu ketika, aku meminta dibelikan sepasang sepatu bola. Alas kaki di lapangan rumput hijau itu wajib dimiliki setiap pemain yang ingin bergabung di PSGS. Sebuah klub bola ternama di Kabupaten di Labuhanbatu Utara (Dulu Labuhanbatu). 

Berulang kali ku minta ayah tak menggubris. Dia khawatir, masa depan ku akan suram jika menjadi pemain bola.

Kekhawatiran itu cukup beralasan. Karena perhatian pemerintah terhadap para atlet saat itu sangat minim. Tidak seperti sekarang yang berlimpah bonus jika berhasil jadi juara.


Ayah dan Omak.

Tapi, karena aku terus merengek ayah kemudian berjanji akan membelikannya sebulan kemudian. Dengan syarat, seluruh jalan penghubung di kebun karet milik kami harus dibersihkan. Tidak boleh ada sehelai rumput pun berdiri di jalan.

Aku tertegun mendengar ucapan ayah. Tertunduk sambil menangis. Batinku bergejolak. Kenapa dia tega memperlakukan anak semata wayangnya sebagai ’Romusa’.

Perlakuan yang kuterima dari ayah sungguh berbeda dengan teman sekampung lainnya. Begitu mereka meminta sesuatu ayah langsung membelikan. Tanpa ada embel- embel kerja paksa seperti ayah.

Hati ku semakin iri. Tapi, demi terwujudnya hobi bermain bola terpaksa tawaran ayah kuterima. Pekerjaan kasar itu kulakukan setiap hari.

Usai pulang sekolah, aku berangkat ke kebun untuk menunaikan tugas yang seharusnya dilakukan orang dewasa.

Bahkan, menjelang tugas selesai kaki ku sampai terluka akibat tidak sengaja menginjak peralatan pemangkas rumput. Luka lebar menganga di telapak kaki.

Sepanjang jalan menuju rumah, darah segar terus megucur. Aku sampai menggunakan tongkat, karena tak sanggup berjalan normal. Lukanya terlalu dalam.

Sesampai di rumah, omak (panggilan ku pada ibu) berteriak histeris. Dia langsung memapahku untuk kemudian duduk di belakang rumah.

Sambil menangis dia membawaku ke puskesmas terdekat meggunakan sepeda. Maklum, kami tidak punya sepeda motor saat itu.

Setelah diobati aku kembali dibawa pulang ke rumah. Di depan pintu terlihat ayah sudah menanti. Raut wajahnya panik. Selain karena luka serius di kaki ku dia juga pasti khawatir bakal kena damprat omak.

Berbeda dengan ku. Saat dia mengangkat ke kasur, aku hanya diam memasang mimik dingin. Tentu aku dendam. Gara- gara ayah menyuruh membersihkan kebuh kaki ku sampai terluka parah.

Selama tiga hari aku enggan menegur ayah. Batinku belum bisa ikhlas atas musibah yang dialami. Hingga hari keempat akhirnya ayah membelikan sepatu bola merk Adidas.

Kusambar kotak sepatu itu dan langsung mencobanya. Hati senang bukan main. Sepatu yang selama ini kudambakan kini sudah menempel di kaki.

Namun kegembiraan itu hanya sejenak. Beberapa saat kemudian ayah mengatakan jika tugas ku belum selesai. Setelah sehat dia memintaku kembali menyelesaikannya.

Sangking jengkelnya mendengar ucapan ayah, sepatu itu kulempar. Aku berpikir, disaat luka begini masih sempatnya dia berpikir seperti itu. Sejak itu, rasa benciku semakin mendalam. 

Namun, belakangan ini aku sadar. Ayah menyuruhku bukan untuk disiksa. Apalagi menjadi budak pekerja. Tetapi dia ingin menciptakan seorang calon “ayah” yang nantinya mampu bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.

Ayah, seandainya waktu bisa diputar kembali. Jangan kan cuma rumput di kebun kita, milik kebun tetangga pun aku siap membabatnya. Terima kasih atas pelajaran moral yang kau beri.

Sekarang, tanpa membabat rumput pun aku sanggup membeli sepuluh pasang sepatu bola. Tapi, pesan moral yang ayah tanamkan sulit kuraih kembali. semoga ayah dan omak sehat selalu di kampung. Jangan khawatir, kupastikan cucu kalian disini akan mendapat pelajaran serupa.

Dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada ayah yang sempurna. Mungkin cara dia mendidik anaknya berbeda dengan ayah yang lain. Tapi percayalah, dia akan selalu berusaha menyayangi dan mencintaimu dengan sepenuh hati. Tabikpun (**)

Editor: Harian Momentum


Comment

Berita Terkait


Yus Bariah, Tidak Bersalah ...

MOMENTUM -- Di pengadilan, ada sebutan hakim nonpalu. Yaitu, peng ...


Ingat, Pers Bukan Alat! ...

MOMENTUM--Belakangan, Lampung sedang dihebohkan dengan dugaan kor ...


Pilkada Koko ...

MOMENTUM -- Pada tahun ini, seluruh daerah di Indonesia akan memi ...


Gerakan Koko di Tubaba ...

MOMENTUM -- Pelaksanaan pencoblosan pilkada serentak berlangung p ...


E-Mail: harianmomentum@gmail.com