MOMENTUM, Bandarlampung--Walikota atau aparat birokrasi pemerintahan yang memengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih pasangan calon (paslon) tertentu masuk kategori pelanggaran administrasi.
Bila hal tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis
dan massif (TSM) berakibat sanksi pembatalan paslon.
Jika kasus semacam itu dibiarkan, maka akan dengan bebas
paslon menggunakan pihak lain melakukan pelanggaran tanpa tersentuh hukum. Hal
itu dapat mengakibatkan rusaknya negara demokrasi konstitusional dan negara
hukum Indonesia.
Begitulah beberapa pernyataan mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Hamdan Zoelva dalam kapasitasnya
sebagai ahli pelapor di sidang penanganan pelanggaran
administrasi TSM pada Pemilihan Walikota (Pilwakot) Bandarlampung.
Sidang digelar oleh Majelis Pemeriksa dari Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung, bertempat di Ballroom Hotel
Bukit Randu, Senin (28-12-2020).
Hamdan Zoelva menjelaskan, dalam Pasal
135A ayat (1) Undang-Undang (UU) Pilkada, yang dimaksud ‘terstruktur’ adalah
kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun
penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
“Sementara ‘sitematis’ adalah pelanggaran yang direncanakan
secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi dan ‘massif’ adalah dampak
pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya
sebagian-sebagian,” jelasnya, melalui virtual.
Dia pun menjabarkan bahwa pelanggaran TSM kemudian
diuraikan lebih lanjut dalam Pasl 4 ayat (2) Peraturan Bawaslu nomor 9 tahun
2020.
Kemudian Peraturan Bawaslu nomor 9 tahun 2020, yang menegaskan
bahwa laporan pelanggaran administrasi pemilihan TSM untuk pemilihan
bupati/walikota disertai dokumen yang menunjukkan terjadinya pelanggaran di
paling sedikit 50 persen kecamatan dalam satu kabupaten/kota.
Menurut dia, tidak ada keharusan untuk membuktikan adanya
pelanggaran TSM di setiap TPS, cukup menggambarkan betapa masif dan meluasnya
dampak pelanggaran yang dilakukan.
“Perlu ahli tegaskan bahwa hal paling pokok yang menjadi
dasar penilaian suatu pelanggaran TSM, adanya tindakan atau perbuatan yang
dapat dibuktikan bahwa pelanggaran tersebut sejak awal dilakukan untuk
memenangkan pasangan calon dalam Pilkada,” jelasnya.
Perbuatan tersebut, sambung dia, melawan hukum, yaitu
dengan melanggar prinsip-prinsip free and fair election atau prinsip Luber dan
Jurdil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta pelanggaran atas peraturan
pemilihan.
“Tindakan demikian adalah tindakan yang melukai negara
demokrasi konstitusional sekaligus negara hukum, di mana Pilkada adalah salah
satu bentuk pelaksanaan demokrasi. Oleh karena itu pelanggaran demikian juga
adalah pelanggaran atas prinsip-prinsip konsitusi dan prinsip negara demokrasi
konstitusional,” tegasnya.
Dia menyebut, berdasarkan ketentuan Pasal 135A ayat (1) dan
ayat (5) jo Pasal 73 ayat (1) ayat (2) ayat (3) dan ayat 4 UU Pemliukada,
pasangan calon, tim kampanye, atau pihak lain yang melakukan pelanggaran TSM
dapat dikenakan sanksi adminsitrasi pembatalan sebagai calon.
“Pelanggaran TSM dimaksud bukan saja yang dilakukan calon,
tetapi juga pelanggaran yang dilakukan anggota partai politik, tim kampanye,
dan relawan, atau pihak lain. Asalkan terbukti bahwa pelanggaran tersebut dalam
rangka menguntungkan pasangan calaon tertentu,” terangnya.
Untuk itu, sambung Hamdan, walikota atau aparat birokrasi
pemerintahan yang memengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih pasangan
calon (paslon) tertentu masuk kategori pelanggaran administrasi.
“Bila hal tersebut dilakukan secara terstruktur, TSM dapat berakibat pada sanksi pembatalan paslon,” tegasnya.
Baca juga: Sidang Bawaslu, Mantan Ketua MK Jadi Saksi Ahli Yutuber
Lebih lanjut dia menuturkan, pada kasus pelanggaran TSM terdahulu
)merujuk berbagai putusan MK), jelaslah bahwa tindakan aparat birokrasi dan ASN
yang dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu termasuk pelanggaran
TSM.
“Jika kasus demikian tidak dapat dikategorikan sebagai
palanggaran TSM, maka akan dengan bebas pasangan calon menggunakan pihak lain
melakukan pelanggaran tanpa tersentuh hukum,” ungkapnya.
Meski demikian, dia yakin bahwa tidak demikian maksud
pembentuk UU. “Sebab jika pelanggaran TSM tersebut dibiarkan, maka rusaklah
negara demokrasi konstitusional dan negara hukum Indonesia,” ucapnya.(**)
Laporan/Editor: Agung Chandra W
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com