MOMENTUM-- Anda tau lupis? Ya, makanan khas Indonesia itu sangat terkenal karena rasanya nikmat.
Pada umumnya lupis dibuat dari beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Kemudian dimasak.
Sebelum disajikan, biasanya dilumuri dengan parutan kelapa lalu disiram menggunakan cairan gula. Hingga rasanya bercampur antara gurih dan manis.
Namun, dalam tulisan kali ini saya tidak ingin membahas makanan itu secara detail. Melainkan sosok penjualnya.
Beberapa bulan terakhir, ada seorang penjual lupis yang sering lewat di depan rumah. Tepatnya setiap hari Minggu. Ketika sebagian besar penghuni komplek perumahan di tempatku berdomisili libur.
Awalnya, aku melihatnya biasa saja. Layaknya pedagang lain yang biasa lewat. Tidak ada yang istimewa. Namun, setelah beberapa kali memperhatikan, gelagat mencurigakan mulai terlihat.
Setiap ada pembeli, dia selalu meneteskan sedikit cairan gula ke tanah. Kemudian menuangkan ke daun, dimana lupis sudah terlumur dengan parutan kelapa. Setelah itu, barulah diserahkan kepada pembeli.
Awalnya aku sempat berpikir itu hanya kebetulan. Ternyata tidak. Dia memang sengaja membuang cairan gula tersebut ke tanah.
Karena penasaran, kutanyakan alasan mengapa dia selalu melakukan hal itu. Dengan santai dia menjawab “Penglaris”.
Hah, apa hubungannya dagangan laris dengan membuang cairan gula ke tanah? Mendengar pertanyaanku yang terkesan mencecar seperti wartawan, dia langsung tersenyum.
Setelah menarik nafas dalam- dalam, wanita paruh baya itu kemudian mengajak berbincang panjang- lebar.
Intinya, setiap tetesan cairan gula yang dia buang ke tanah merupakan bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt. Dia merasa telah diberi rezeki oleh Sang Pencipta melalui pembeli.
Karena rasa syukurnya, dia kemudian membagi rezeki tersebut kepada semut di tanah. Dengan adanya ceceran air gula itu, semut tidak perlu lagi susah payah mencari makanan.
Menurut dia, meski semut berukuran kecil tetapi dia merupakan ciptaan Tuhan yang mesti disayangi.
“Setetes air gula ini tidak akan membuat saya miskin. Tetapi sangat bermanfaat, karena bisa dimakan puluhan semut. Intinya, kita harus saling berbagi terhadap sesama makhluk hidup,” katanya sembari bergegas pergi.
Ya Allah, alangkah mulia hati penjual lupis tersebut. Seandainya semua orang memiliki pemikiran serupa, tidak akan ada lagi rakyat yang kelaparan di negeri ini.
Para miliarder menyisihkan sedikit rezekinya secara rutin kepada fakir miskin, pun begitu dengan para pejabat pemerintah yang berpenghasilan melimpah.
Dari si penjual lupis berhati mulia itu dapat kita petik satu pelajaran berharga. Tidak penting sebesar apa kekayaan yang dimiliki, setinggi apa jabatan yang diduduki, jika keberadaan kita tidak bermanfaat bagi orang lain. Tabikpun (**)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com