MOMENTUM, Jakarta--Judul tulisan di atas terinspirasi dari salah satu dari sekian banyak kutipan pemikiran Kartini. Dalam sebuah karyanya, ditulis demikian: Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan.
Kata Aku tiada dapat! Melenyapkan rasa berani. Kalimata Aku mau! Membuat kita mudah mendaki puncak gunung. Sebuah ungkapan yang menggambarkan semangat untuk berjuang.
Tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini sekaligus juga untuk mengenang hari lahirnya. Penetapan ini dirayakan setelah 2 Mei 1964, usai Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No:108 Tahun 1964.
Dalam keputusan tersebut, Kartini juga ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penetapan seseorang untuk menjadi Pahlawan Nasional tentu saja bukan hal yang biasa.
Penetapan tersebut lahir dari sebuah permenungan yang panjang dan disandingkan dengan perilaku dan peran besar dari tokoh tersebut bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Membicarakan perempuan bernama lengkap Raden Ajeng Kartini hari ini dan yang akan datang tidak terlepas dari pokok-pokok pikirannya yang terus dihidupi seperti memerangi kebodohan, memerangi kemiskinan, dan memerangi ketidakadilan pada perempuan.
Memaknai dan merayakan Hari Kartini dan segala bentuk pemikirannya tentu saja tak bisa hanya sebatas pada euforia memakai batik, membaca puisi dan lain sebagainya. Tetapi lebih dari itu adalah bagaimana berperilaku dan berprinsip “Aku mau!” untuk senantiasa keluar dari cengkeraman kebodohan, kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan.
Kita patut berbangga karena sosok Kartini sudah meletakan fondasi dasar yang kokoh dalam membangun emansipiasi utamanya pada diri kaum perempuan. Tidak sedikit publik utamanya perempuan masih tersandera dalam cengkeraman persoalan gender.
Konsep-konsep yang dibangun seperti perempuan bekerja hanya pada wilayah domestik, lokalitas atau wilayah kerja hanya seputar pada sumur, dapur, dan kasur adalah warisan yang terus dikonstruksi secara sosial. Akibatnya mereka merasa nyaman dan takut untuk senantiasa melampaui prinsip-prinsip kuno tersebut.
Aku mau! Adalah sebuah upaya untuk senantiasa keluar dari cengkeraman penderitaan dan kejahatan sosial baik yang sifatnya kultural maupun struktural.
Perempuan harus berani tampil di panggung publik, menjadi garda terdepan dan membuktikan diri bahwa ia tak selayaknya diberi label nomor dua. Baik perempuan maupun laki-laki harus menempati porsi dan kedudukan yang sama dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan bukan status sosial yang melekat pada diri.
Aku mau! Adalah sebuah wujud pemberontakan terhadap berbagai macam bentuk ketidakadilan yang selama ini masih merajalela di bumi Nusantara. Seseorang harus mau dan mampu untuk senantiasa bangkit dari rasa malas yang berkepanjangan, perbudakan diri serta kungkungan dan komersialisasi tubuh yang selama ini masih menjadi persoalan serius utamanya yang dialami oleh perempuan.
Tidak hanya itu, perempuan dalam banyak kesempatan juga seringkali dijadikan sebagai “obyek kekerasan fisik dan psikis.” Hal ini menjadi preseden buruk dalam kehidupan bersosial kita hingga detik ini.
Akumulasi aneka persoalan utamanya yang mendera kaum hawa sudah sepantas dan seharusnya untuk bisa berakhir. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Meski demikian, bukan hal yang tidak mungkin apabila kerja-kerja perubahan untuk terwujudnya kehidupan yang setara dan adil akan tercapai apabila dilandasi oleh kerja kooperatif. Oleh karena itu, ada beberapa poin penting yang sekiranya menjadi refleksi kita bersama terutama dalam menenun persaudaraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Pertama adalah cara berpikir (mindset). Baik perempuan maupun laki-laki adalah manusia yang memiliki potensinya masing-masing. Oleh karena itu, pada tempat pertama mereka harus memposisikan diri sebagai mitra yang senantiasa saling melengkapi. Baik laki-laki maupun perempuan harus mau untuk keluar dari jiwa egois dan superioritas yang seringkali menjadi cikal bakal lahirnya aneka persoalan dan kriminalitas.
Kedua perempuan dan laki-laki harus mau untuk memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Kerja ini akan terwujud apabila keduanya saling beriringan pada koridor yang sama. Ketiga jadikan Kartini sebagai spirit hidup untuk senantiasa menghidupkan jiwa keberanian, percaya diri, dan optimis dalam menghempas dan memberantas aneka macam produk-produk ketidakadilan dan diskriminasi di republik ini. Selamat merayakan Hari Kartini. (**)
(Epin Solanta Penulis Buku Dialektika Ruang Publik: Pertarungan Gagasan)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com