MOMENTUM, Yogyakarta--"Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas." –Mohammad Hatta. Kecintaan Mohammad Hatta kepada buku dan literasi sungguh patut untuk dijadikan teladan. Meskipun dalam pengasingan, Hatta tidak pernah sekali pun meninggalkan buku-bukunya. Dengan buku, pikirannya tak terbelenggu, inovasinya tak padam, dan wawasannya tak diam di tempat.
Buku merupakan jendela asa untuk menggapai kemajuan peradaban.Hal itu yang menjadikan buku sebagai kebutuhan bagi generasi calon pemimpin bangsa di masa depan.
Sayangnya, gelora semangat Hatta dalam mencintai buku tidak bisa mencerminkan keadaan yang terjadi pada generasi saat ini. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Alibaca tahun 2019, angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional tergolong dalam aktivitas literasi rendah dengan angka 37,32%.
Terdapat empat dimensi yang menjadi penilaian, yaitu Dimensi Kecakapan (75,92%), Dimensi Akses (23,09%), Dimensi Alternatif (40,49%), dan Dimensi Budaya (28,50%). Permasalahan utama terdapat pada Dimensi Akses dan Dimensi Budaya.
Budaya dan Akses Membaca
Dimensi budaya menunjukkan kebiasaan masyarakat dalam mengakses setiap bahan-bahan literasi seperti buku, koran atau majalah, dan berita di media elektronik.
Budaya ini sangat bergantung pada gerakan dan upaya peningkatan literasi di lingkungan sekitar. Peningkatan budaya membaca dapat berawal dari ruang lingkup terkecil, yaitu keluarga.
Lingkaran keluarga yang mencintai literasi, tentunya, akan melahirkan kebiasaan membaca yang baik pada generasi penerusnya. Orang tua yang menjadi nahkoda dari sebuah kapal keluarga harus sadar bahwa kebiasaan membaca buku perlu ditanamkan sejak anak berusia dini. Tidak sekadar mengajari anak untuk pandai membaca, tetapi juga gemar membaca dan mampu berpikir kritis atas apa yang mereka baca.
Anak seringkali meniru kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya. Menurut Arifin dan Tjahjono (2019), seorang anak akan membawa didikan pertama dari keluarga untuk dipraktikkan di kehidupan bermasyarakat. Maka sudah semestinya, orang tua memberikan contoh positif sebagai sosok yang diidolakan oleh anak. Jangan sampai orang tua hanya pandai berbicara atau ‘no action, talk only’ dalam mengajarkan kebiasaan membaca sehingga target menciptakan generasi candu buku dalam keluarga menjadi tidak tercapai.
Menceritakan Makna
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan pada pasal 7 bahwasannya keluarga berperan penting dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter anak di lingkungan keluarga, memotivasi semangat belajar anak, mendorong budaya literasi, dan memfasilitasi kebutuhan belajar anak.
Hal tersebut membuktikan bahwa keluarga seharusnya mampu menjadi akar dari peradaban bangsa melalui pembudayaan literasi dengan mengaitkan nilai-nilai positifnya.
Berpikir kritis dalam berliterasi sangat penting diajarkan pada anak. Hal ini mampu mencegah anak dari asupan bacaan yang tidak pantas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Orang tua dapat membangun kemampuan berpikir kritis ini dengan menciptakan waktu berkualitas untuk berbincang bersama anak tentang bahan bacaan yang telah dibaca. Anak diberikan kesempatan untuk bercerita segala hal yang ingin diungkapkan.
Dalam kegiatan ini, orang tua berperan sebagai sosok yang mengevaluasi segala informasi yang disampaikan anak sekaligus memancing anak untuk menganalisis informasi tersebut.
Hal ini tentunya juga mempertimbangkan usia dan kematangan proses berpikir sang anak. Orang tua perlu membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan sehingga anak tidak merasa dikurung dalam belenggu kehendak orang tuanya.
Sudah saatnya orang tua memberi perhatian khusus dalam proses membudayakan literasi di lingkungan keluarga. Menjadi bangsa yang melek literasi, tentunya memperbesar peluang generasi bangsa untuk mampu bersaing dengan bangsa lain, memajukan peradaban, dan meningkatkan kontribusi.
Nyatanya, dari hal kecil berupa pembudayaan membaca mampu mengantarkan dampak besar, seperti yang diharapkan pada saat era Indonesia Emas tahun 2045. (**)
Penulis: Alvina Lutviyani (Mahasiswa Prodi Kimia UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Harian Momentum
E-Mail: harianmomentum@gmail.com